Ahli Kritik Uji Klinis Vaksin Nusantara Tak Transparan

Kesehatan1082 x Dibaca

Jakarta, Karosatuklik.com – Ahli mengkritisi pengembangan Vaksin Nusantara untuk mengatasi Covid-19 yang dinilai tidak transparan membuka data hasil uji klinis mereka.
Padahal, menurut ahli biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo, publikasi hasil uji klinis jamak dilakukan dalam pengembangan vaksin Covid-19 lain. Fungsi pelaporan hasil uji klinis agar bisa dianalisa oleh ilmuwan lain.

“Data tidak transparan. Hingga kini ilmuwan independen seperti saya tidak bisa mengakses data hasil uji klinis fase 1,” tulis Ahmad dalam cuitan di akun @PakAhmadUtomo, Kamis (15/4/2021).

Lebih lanjut, Ahmad juga memberikan sejumlah catatan beberapa hal yang tidak dijelaskan oleh tim pengembang Vaksin Nusantara ini.

Pertama terkait antibodi yang dihasilkan lewat metode sel dendrintik vaksin nusantara. Ia pun menambahkan respon imun vaksin dendrit cenderung menimbulkan imunitas seluler bukan imunitas humoral (pembentukan antibodi). Padahal antibodi penting untuk menyergap virus corona SARS-CoV-2.

“Dalam tahap uji klinis fase 1 yang lalu, tidak jelas berapa persentase relawan yang memunculkan antibodi,” jelasnya.

Kedua, Ahmad mencatat keanehan lantaran vaksin nusantara disebut memunculkan neutralizing antibodi
pada mayoritas relawan uji klinis fase I.

“Ini menjadi tidak lazim karena umumnya produksi vaksin dendrit memunculkan respon seluler bukan humoral (antibodi) maka tentu perlu penjelasan kok bisa berbeda dari kelaziman,” tambah Ahmad.

Sebelumnya, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K.Lukito sempat menyebut beberapa temuan yang diperoleh pihaknya menunjukkan bahwa vaksin Nusantara tidak memenuhi kaidah klinis dalam proses penelitian dan pengembangan vaksin.

“Komitmen correction action atau prevention action sudah diminta dari awal, tapi diabaikan, diabaikan, diabaikan,” ujar Penny dalam keterangan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, Rabu (14/4).

Menurut Penny, Vaksin Nusantara belum memenuhi berbagai standar pengembangan vaksin yang baik seperti good clinical practice (praktik klinis yang baik) dan good manufacturing practice (praktik pembuatan yang baik).

Sehingga, BPOM menyatakan vaksin Nusantara belum lulus uji klinis fase I sehingga belum bisa mendapatkan persetujuan untuk fase II.

Beberapa hal terkait uji klinis Vaksin Nusantara yang menjadi sorotan BPOM:

  1. Vaksin Nusantara tak melalui uji praklinik terhadap binatang, dan langsung masuk uji klinis I terhadap manusia. Gagasan untuk uji pre-klinik pada hewan bahkan ditolak oleh tim peneliti.
  2. Uji non-klinis vaksin Nusantara menurutnya hanya dilakukan pada satu jenis hewan uji yakni mencit, sehingga tidak dapat diambil kesimpulan terkait keamanan dan imunogenisitas produk uji.
  3. Kajian BPOM terhadap hasil kajian uji klinis fase I kepada tim peneliti vaksin Nusantara. Hasil evaluasi itu di antaranya terkait produk vaksin dendritik tidak dibuat dalam kondisi yang steril.
  4. Produk antigen SARS CoV-2 yang digunakan sebagai bahan utama pembuatan vaksin Nusantara ini bukan merupakan pharmaceutical grade. Menurut Penny, antigen tersebut penggunaannya hanya untuk riset di laboratorium bukan untuk diberikan kepada manusia.
  5. Produk akhir dari vaksin Nusantara ini tidak dilakukan pengujian kualitas sel dendritik. Peneliti, kata Penny, hanya menghitung jumlah sel saja. Namun, hasil uji pun tidak konsisten karena ada 9 dari 28 sediaan yang tidak diukur, dan dari 19 yang diukur terdapat 3 sediaan yang di luar standar tetapi tetap dimasukkan.
  6. Semua komponen utama yang digunakan dalam pengembangan Vaksin Nusantara diimpor dari Amerika Serikat. Komponen yang dimaksud berupa antigen,Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor(GM-CSF), medium pembuatan sel, dan alat-alat persiapan.
  7. Tim peneliti vaksin nusantara didominasi orang asing. Tim peneliti Universitas Diponegoro dan RSUP dr. Kariadi Semarang tak banyak andil dalam proses uji klinis I Vaksin Nusantara ini.

(cnnindonesia.com)