Jakarta, Karosatuklik.com – Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri mengungkap kasus Bahan Bakar Minyak atau BBM Pertamax palsu hasil oplosan Pertalite dan pewarna di empat SPBU wilayah Jakarta, Depok dan Tangerang.
Dirtipidter Bareskrim Polri Brigjen Nunung Syaifudin mengatakan lima tersangka berhasil ditangkap dalam kasus ini. Mereka yakni RHS (49), AP (37), DM (41), RY (24), dan AH (26). RHS, AP dan DM merupakan manajer SPBU. Sedangkan RY dan AH selaku pengawas SPBU.
“Barang bukti yang kami sita sejumlah total dari empat SPBU ini ada 29.046 liter BBM Pertamax yang diduga palsu,” kata Nunung di Bareskrim Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (28/3/2024).
Nunung menuturkan dalam perkara ini pihaknya awalnya menangkap RHS selaku manajer di SPBU wilayah Kecamatan Karang Tengah Kota Tangerang dan AP selaku manajer SPBU di Kecamatan Pinang, Kota Tangerang, Banten pada 7 Maret 2024.
“Kita kembangkan pada hari Senin tanggal 25 Maret 2024, kita lakukan lagi penindakan terhadap SPBU yang ada di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, serta SPBU yang ada di Cimanggis, Kota Depok,” imbuhnya.
Dari hasil penyidikan, empat SPBU ini diketahui menggunakan modus yang sama, yakni mengoplos BBM Pertalite dengan pewarna agar menyerupai Pertamax. Kemudian mereka menjual dengan harga Pertamax.
“Diberi pewarna hijau dengan yang mirip dengan Pertamax, sehingga komposisinya 10.000 liter Pertalite dibanding 10.000 liter Pertamax per pemesanan atau per PO,” ungkapnya.
Selain menyita 29.046 liter BBM Pertamax palsu, dalam perkara ini penyidik Dittipidter Bareskrim Polri turut menyita bukti pewarna yang dipakai untuk mengoplos Pertalite. Kemudian juga uang senilai Rp111 juta hasil penjualan Pertamax palsu di empat SPBU tersebut.
Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya kelima tersangka kekinian telah ditahan. Mereka dijerat Pasal 5 Juncto Pasal 28 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 2002 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
“Pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling tinggi Rp60 miliar,” pungkasnya. (Suara.com)