Pematang Siantar, Karosatuklik.com – Di Siantar, beca bukan sekadar alat transportasi. Di kota kelahiran Adam Malik, mantan wakil Presiden Indonesia, kendaraan roda tiga ini telah naik derajat sebagai ikon kota. Bagaimana ceritanya?
Beca legendaris ini punya histori panjang terhadap kemajuan kota Siantar. Kehadiran beca memberi perubahan besar dalam tatanan kehidupan masyarakat Siantar. Besarnya kontribusi itulah yang menjadikan beca didaulat sebagai ikon Siantar.
Secara geografis, topografi Siantar berupa daerah berbukit-bukit rendah. Itu sebabnya, jalanan tidak rata alias naik atau turun. Keadaan topografi begituan membutuhkan transportasi yang kuat, ringan tapi tahan banting. Kendaraan berupa angkutan umum masih sedikit ketika itu. Masyarakat mengandalkan sado dan beca. Kehadiran beca dengan motor berkapasitas CC besar menjadi jawaban.
Dulu, sebelum Indonesia merdeka, wilayah Kota Siantar adalah jantung kerajaan etnis Simalungun yang bernama Kerajaan Siantar. Yang terakhir memimpin adalah Raja Sang Nawaluh Damanik (1906). Wilayah kekuasaannya meliputi: Pulau Holing yang kemudian menjadi Kampung Pematang, Siantar Bayu menjadi kemudian menjadi pusat kota, Suhi Haluan yang menjadi Kampung Sipinggol-pinggol, Suhi Kahean yang menjadi Kampung Melayu, Martoba, Bane, Sukadame, Suhi Bah Bosar menjadi Kampung Karo, Kristen, Pantoan, Tomuan, Toba dan Martimbang.
Daniel Perret dalam buku Kolonialisme dan Etnisitas Batak Melayu Si Sumatera Timur (2010) menulis, pada 1906, Belanda membuang Raja Siantar ke Bengkalis karena dianggap tidak kooperatif. Sejak kekuasaan raja Siantar ditaklukkan, Belanda kemudian memindahkan Controleurnya dari Perdagangan ke Siantar. Tahun 1910 Belanda membentuk Badan Persiapan Kota Pematangsiantar. Tujuh tahun berikutnya, Siantar berubah status menjadi Gemeente (Kota) yang memiliki wilayah otonomi sendiri.
Perubahan status dan perkembangan wilayah Siantar menjadi magnet yang menyedot banyak perantau Etnis Tionghoa dan Mandailing. Arus imigrasi menguat berkat rampungnya infrastruktur jalan yang menghubungkan Sibolga, Parapat, Siantar hingga Medan pada 1929. Etnis Tionghoa yang suka berniaga memilih mendiami pusat kota (Siantar Bayu) sedangkan etnis Mandailing mendiami Timbang Galung dan Kampung Melayu.
Semakin pesatnya perkembangan kota, Belanda kemudian mendongkrak status Kota Siantar menjadi Dewan Perwakilan Kota Besar. Namun di masa pendudukan Jepang, status kota diganti menjadi Siantar State dan Dewan kota dihapuskan. Baru pasca kemerdekaan Indonesia, Siantar kembali memiliki otonomi. Statusnya resmi sebagai Ibukota Kabupaten Simalungun dengan Bupati Simalungun merangkap sebagai walikota.
Namun tahun 1957, Siantar berubah menjadi Kotapraja dengan pemerintahan mandiri sendiri, terpisah dari Kabupaten Simalungun. Waktu itu, Siantar membawahi dua kecamatan yakni Siantar Timur dan Siantar Barat, dengan setiap Kecamatan membawahi beberapa kampung.
Tiga tahun sejak resmi berstatus Kotapraja, populasi penduduk Siantar mencapai 114.900 jiwa yang tersebar di wilayah seluas 1.248 Km². Populasi meledak dua kali lipat pada 2016 yakni mencapai 247.837 jiwa dengan luas wilayah 7.997 Km². Pertumbuhan penduduk yang terbilang drastis inilah yang melatarbelakangi pemerintah pusat perlu memperluas wilayah administratif Siantar .
Selain itu, membengkaknya angka populasi turut mempengaruhi peralihan kota Siantar bukan lagi sekadar pusat kota tapi juga berfungsi sebagai pusat pendidikan, industri, pemerintahan, pelayanan jasa dan distribusi serta pengembangan wilayah. Pertumbuhan kota otomatis diikuti dengan mobilitas masyarakat. Transportasi mengambil peran sentral untuk mendukung pergerakan masyarakat dan kemajuan kota.
Motor Veteran Perang
Nah, beca sebagai salah satu moda transportasi mulai digunakan sekitar tahun 1960. Kala itu desain beca masih berupa sampan terbuka. Sedekade kemudian, orang-orang Siantar mulai memanfaatkan motor veteran perang merek BSA sebagai mesin menggandeng beca. Birmingham Small Arms (BSA) adalah perusahaan sekaligus penyedia senjata api untuk pemerintah Inggris tahun 1861. Perusahaan ini awalnya hanya memproduksi senjata api untuk kebutuhan perang. Namun pada1903, BSA mulai melirik bisnis produksi sepeda motor.
Saat perang dunia pertama dan kedua, BSA kembali memproduksi senapan, peluru dan sepeda motor dalam jumlah banyak untuk kebutuhan prajurit di medan perang. Sejak 1937, BSA tercatat telah menyediakan 126.000 unit sepeda motor tipe M20 dengan kapasitas 550 CC. Mesinnya yang tangguh, motor ini didesain untuk daerah “habis-habisan” di medan perang.
Edy J. Harto, dalam artikel berjudul “Becak Siantar Si Veteran Perang” menulis, BSA masuk ke Indonesia pada masa peralihan tentara Jepang ke tentara sekutu (Belanda-Inggris). Belanda memasok ribuan motor BSA untuk digunakan di setiap daerah jajahannya.
Akan tetapi ketika penjajah angkat kaki dari Indonesia, motor-motor BSA ini menjadi besi tua dan ditinggalkan begitu saja. Pada 1958, orang-orang Siantar yang terpikat dengan kekuatan mesin motor tentara Inggris ini berinisiatif mendatangkan banyak BSA tipe M20 dari Jawa dengan menggunakan Kapal Tampomas II.
Presiden BSA Owner Motorcycles Siantar (BOM’S) Erizal Kesuma Ginting menceritakan, awalnya motor BSA teronggok di kandang ayam, lalu oleh anak muda Siantar, mesin motor itu diotak-atik hingga menyala. Dengan kreativitas, motor BSA itu kemudian disulap menjadi beca penumpang. Beca BSA kemudian mulai dimanfaatkan sebagai moda transportasi umum di Siantar sejak 1970.
Melihat kualitas mesin dan daya tahannya menjajal topografi Siantar yang naik turun, mendadak banyak orang Siantar terpikat dengan motor BSA ini. Tahun 1971, sedikitnya 3000 motor BSA tipe M20 telah berhasil dibawa ke Siantar. “Pernah juga Harley dibikin jadi becak, tapi gagal. Lalu dicoba BMW gagal. Hanya BSA yang sesuai,” kata Erizal.
Kualitas mesin BSA yang dianggap kuat ini menjadi alasan bagi banyak orang untuk memburunya. Sehingga jumlah motor BSA yang beredar di Siantar pun laun-laun berkurang. Apalagi, pabrik di Inggris berhenti memproduksi BSA karena munculnya kompetitor baru asal Jepang yaitu Honda.
Perusahaan Honda mampu menciptakan sepeda motor yang ringan dan irit bahan bakar. Munculnya Honda disambut antusias masyarakat dunia. Berhentinya produksi BSA, maka semakin sulitlah menemukan onderdilnya.
Kelangkaan itu membuat suku cadangnya tidak lagi dijual di pasar. Perawatannya pun kian sulit. Tetapi, kelangkaan itu justru membuat motor BSA menjadi barang koleksi yang menarik dan mahal.
“Selain langka, rata-rata usia motor sudah mencapai 60 tahunan. Motor yang saat ini berjumlah sekitar 400 unit itu ada yang dibuat tahun 1941, 1948, 1952, dan yang lebih gres buatan tahun 1956,” terang Erizal.
Meski beca BSA ini punya historis dan dampak bagi masyarakat Siantar, Pemerintah Kota Siantar kurang mempedulikannya. Bahkan, Pemko Siantar berencana menghapuskan beca sebagai moda transportasi umum pada 2006. BOM’S mewakili suara tukang beca menolak tegas rencana itu. Dia didatangi ratusan abang becak dan meminta sebagai perwakilan mereka menolak rencana itu.
“Syukurlah, perjuangan kami berhasil. Malah, aku minta agar pemerintah melindungi Becak Siantar,” kenang Rizal.
Cagar Budaya
Tak sampai di situ, Rizal bertekad mengajukan Beca Siantar ke UNESCO menjadi warisan budaya. Langkah awal, dengan mengusulkan pada Pemko Siantar agar mendapuk Beca Siantar sebagai benda cagar budaya. Mengingat beca BSA termasuk saksi bisu perubahan sejarah dan peradaban di Kota Siantar.
Sembari menanti respon Pemko Sianta, Erizal pun mendirikan Tugu Beca Siantar, di Jl. Merdeka berhadapan dengan areal Perkantoran Pemko Siantar. Tugu ini kemudian diresmikan Gubernur Sumut Erry Nuradi sebagai ikon kota Siantar pada 15 Oktober 2016.
Menurut Subandi, penarik beca di Siantar, pelestarian beca BSA adalah langkah tepat. Sebab, sangat jarang ada daerah yang memiliki sarana transportasi berusia tua dan unik serta langka. Ia sendiri tidak mau menjual beca BSA-nya kepada siapapun meski ditawar dengan harga tinggi.
Alasannya, memiliki beca BSA berarti menghargai sejarah dan budaya Siantar. “Kami menilai keberadaan beca BSA tetap perlu dijaga kelestariannya sebagai salah satu ciri khas Kota Siantar,” ujarnya. (Dedy Hutajulu)
Baca juga: