Jakarta, Karosatuklik.com – Meski termasuk negara tetangga yang berbatasan langsung, hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Papua Nugini mungkin termasuk yang tidak banyak terekspose selama ini. Setidaknya, publik masih jarang yang tahu bagaimana sebenarnya hubungan diplomatik RI dengan negara luas yang berada satu pulau dengan Provinsi Papua dan Papua Barat itu, bahkan mungkin tidak tahu siapa nama Duta Besar (Dubes) RI di sana, apalagi persoalan apa saja yang perlu menjadi perhatian di negara itu.
Belum lama ini, di sela-sela sebuah acara di Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) di Jakarta, Suara.com berkesempatan berbincang dengan Andriana Supandi, sosok yang saat ini menjabat sebagai Dubes RI untuk Papua Nugini dan Kepulauan Solomon. Ada beberapa hal yang sempat disampaikan oleh pejabat yang bertugas di sana sejak tahun 2019 tersebut.
Berikut petikan wawancara khusus Suara.com dengan Dubes Indonesia Andriana Supandi pada kesempatan itu:
Bagaimana kabarnya, Pak?
Alhamdulillah sehat.
Kalau boleh tahu, berapa lama ya, perjalanan dari Papua Nugini ke Jakarta?
Kemarin kami terbang dari Port Moresby, ke Singapura dulu, hampir 6 jam. Kemudian bermalam di Singapura, kemarin pagi ke sini (dengan penerbangan) satu jam 20 menit.
Bagaimana hubungan diplomatik RI di Papua Nugini saat ini?
Alhamdulillah, Indonesia dengan Papua Nugini dan juga Solomon Islands hubungan kerja samanya antara kedua belah pihak sangat baik. Demikian juga, dari kami menjalin hubungan yang baik dengan badan, pemimpin, pejabat, tokoh-tokoh masyarakat, dunia usaha, dan tentunya dengan seluruh masyarakat Indonesia yang berada di Papua Nugini dan Kepulauan Solomon.
Apa saja tantangan yang harus dihadapi di Papua Nugini dan Kepulauan Solomon itu?
Papua Nugini kan negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia di bagian timur. Kita ada dengan Malaysia di barat, (dengan) Timor Leste. Nah, Papua Nugini ini berbatasan langsung baik darat maupun laut.
Dalam suasana yang normal-normal saja, tentu (hubungannya) berjalan dengan lancar. (Tapi) Ini tentunya (dengan) intensitas jalur lalu lintas orang, barang, jasa, suka ada banyak permasalahan. Ini satu tantangan tersendiri bagi kami, maupun juga (bagi) konsulat kita, dalam rangka memperlancar hubungan, menangani berbagai permasalahan, baik antara dua negara di wilayah perbatasan dan lain-lain.
Tentunya, upaya kita harus (berusaha) meningkatkan hubungan kerja sama di bidang politik, pertahanan keamanan, ekonomi pembangunan, sosial budaya, pendidikan, (juga) antar masyarakat, antar dunia usaha. Banyak sekali kesempatan yang bisa kita laksanakan dalam rangka hubungan kerja sama dengan Papua Nugini maupun Solomon Islands ini.
Berapa sih, jumlah penduduk RI di kedua negara itu?
Perkiraan, menurut catatan Kementerian Imigrasi Papua Nugini dan juga pendataan kita di lapangan, (ada) sekitar 7.000 WNI di Papua Nugini, dan di Solomon Islands mungkin sekitar 2.000.
Bekerja sebagai apa saja WNI di Papua Nugini dan Solomon Islands itu?
Kebanyakan pekerja migran Indonesia (PMI) bergerak di bidang konstruksi, logging, pariwisata, resort. Ada juga di (bidang pekerjaan) engineering, perusahaan pertambangan, agriculture, (itu) banyak yang kerja (begitu) di Papua Nugini maupun Solomon Islands sendiri.
Dalam pelaksanaan tugas sebagai Duta Besar, apa saja strategi Anda dalam mengurangi konflik?
Kita perlu terus menjaga dan meningkatkan hubungan kerja sama dengan semua stakeholder di Papua Nugini maupun Solomon Islands, baik dengan kalangan pemerintahan, parlemen, tokoh-tokoh masyarakat, dunia usaha, dunia pendidikan, (pendeknya) semua stakeholder baik di pusat maupun di provinsi-provinsi (dan) daerah. Dan kita tingkatkan kerja sama, kita raih juga, memberikan pemahaman tentang pentingnya hubungan kerja sama, arti penting strategisnya hubungan antara Indonesia dengan Papua Nugini atau Solomon Islands.
Kami pernah dengar, Anda menggunakan apa yang disebut strategi “tenis meja” di sana? Bisa dijelaskan tentang itu?
Kebetulan kami punya hobi yang sama (dengan Perdana Menteri Papua Nugini). Buat kami, olahraga satu hobi; tenis meja, voli, badminton, (sama-sama) hobi olahraga. Dan Perdana Menteri ini senangnya tenis meja. Dan di kalangan pemerintahan sana, Perdana Menteri Papua Nugini dikenal sebagai pemain tenis meja yang andal.
Suatu saat, kami diajak main. Perdana Menteri bilang, “Kita main sebagai atlet tenis meja.” (Saat itu) Tiga jam main tenis meja; minum, ngobrol, main lagi, akhirnya hampir 3 jam. Ya, alhamdulillah kami berhasil mengalahkan Perdana Menteri.
Kebetulan, Perdana Menteri ini merasa impressed sekali. (Saya) Satu-satunya mungkin waktu itu yang mengalahkan beliau, pertandingan 3 jam itu, sehingga sangat-sangat teringat terus (olehnya). Dan beliau sampaikan ke para menteri, (para) duta besar di sana, “Ini Duta Besar Indonesia, satu-satunya yang bisa mengalahkan saya (main tenis meja).”
Dan setiap ketemu, ya, kita ketemu lagi. Sering juga makan bareng, baik dengan beliau atau keluarga, dan dengan teman-teman KBRI. Ya, alhamdulillah sih, hubungan-hubungan seperti itu bisa mendukung kerja sama hubungan resmi, dalam rangka mendekatkan. Karena kita mengandalkan birokrasi (kan) kadang-kadang kita perlu waktu ya.
Termasuk waktu itu persiapan kunjungan beliau ke Indonesia, dalam waktu yang singkat, semua kita koordinasikan dengan Perdana Menteri dalam waktu yang cepat. Sehingga lancarlah semuanya itu.
Itulah yang awalnya mendekatkan hubungan kami yang sangat baik dengan Perdana Menteri Papua Nugini James Marape. Dan juga (dengan) teman-teman KBRI. Beliau sangat memudahkan kami untuk koordinasi kontak bantuan, dan juga dalam rangkat meningkatkan kerja sama antara Indonesia dan Papua Nugini.
Setiap saat, kita bisa kontak lewat WA, telepon. Termasuk saat kunjungan beliau ke Jakarta kemarin, ketemu dengan Presiden Joko Widodo, ini juga beliau sampaikan juga kepada Bapak Presiden, tentang hubungan yang sangat baik antara kedua negara, melalui stakeholder kedua negara.
Lalu, apa saja kesepakatan yang dicapai lewat strategi diplomasi “tenis meja” ini?
Antara lain di bidang perlindungan warga negara, ini yang sangat banyak membantu kami di sana. Kita ada WNI, contohnya WNI yang 13 orang, tertangkap pada saat memasuki wilayah Papua Nugini, (karena) mengambil ikan di wilayah Papua Nugini. Kemudian, (mereka) ditahan, ditangkap dibawa ke Port Moresby.
Pada saat datang itu, (kita) nggak bisa langsung rapat, karena harus ada karantina kesehatan waktu itu, karantina bea cukai, imigrasi. Semua yang memerlukan kapal WNI merapat, dua kapal (denggan) 13 ABK, merapat ke pelabuhan di Port Moresby di tengah (situasi) itu, memerlukan waktu 2 minggu.
Pada saat itu kami dengar teman-teman KBRI perlu ketemu langsung dengan ABK ini, untuk meyakinkan, pertama keselamatannya, kedua bagaimana makanan-minumannya, kondisi kesehatannya. Karena waktu itu kan era pandemi, 14 hari harus menunggu itu kan sulit.
(Waktu itu) Saya sampaikan kepada Perdana Menteri: “Pak Perdana Menteri, saat ini saudara-saudara kami datang, ditangkap sama aparat keamanan di tengah laut, belum bisa merapat. Saya minta akses kekonsuleran supaya dimudahkan.”
Itu disampaikan ke Perdana Menteri, (lalu diteruskan ke) imigrasi, (dan) kepada Kepolisian Papua Nugini. Saya dan teman-teman KBRI dengan akses itu (akhirnya) bisa ketemu dengan 13 orang di dua kapal, yang (saat itu) masih ada di luar Pelabuhan Port Moresby.
Jadi, pendekatan-pendekatan (yang) seperti itu. Kalau kita mengandalkan pendekatan birokratis, (tentu) perlu waktu, jadi lama juga. Tapi giliran (melalui) bantuan beliau, langsung dimudahkan. Dan rekan KBRI punya teman-teman baik, (bisa) bekerja sama untuk mengatasi permasalahan.
Selain itu, dalam kerja sama di bidang ekonomi, (juga) memudahkan. Beliau (Perdana Menteri) ingin sekali Papua Nugini memandang Indonesia sebagai mitra yang bertindak strategis. Dalam pertemuan dengan Presiden, saya sampaikan upaya-upaya dalam bidang politik, keamanan, ekonomi pembangunan, budaya, pendidikan, termasuk juga ya, keinginan Papua Nugini untuk kerja sama yang lebih closer, stronger. Ini adalah buat hubungan Papua Nugini-Indonesia, satu-satunya negara yang berbatasan langsung di darat; selebihnya (kan) yang lain-lain itu (berbatasan) laut semua. (Sumber: Suara.com)