Bukan Teknologi, Pertanian 4.0 Diawali dengan Inovasi Sumber Daya Sosial

Nasional814 x Dibaca

Yogyakarta, Karosatuklik.com – Dosen Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM, Lilik Sutiarso, menyampaikan, makna perkembangan teknologi 4.0 adalah untuk mengembalikan hakikat manusia dalam satu sistem. Hal itu lebih penting dari sekedar memaknai 4.0 sebagai teknologi modern. Kesenjangan nilai sosial di anatara masyarakat perlu diperhatikan dalam perkembangan dan pemanfaatan teknologi modern.

Dalam era 4.0, Lilik menginkan untuk bisa mendigitalisasi kekayaan lokal yang ada. Hal itu perlu dipirkirkan terlebih dahulu, sebelum membahas teknologi apa yang akan dikembangkan. Pada industru 5.0 misalnya, yang menjadi titik tengahnya adalah manusia itu sendiri. Sementara, keberadaan teknologi, ai, robot, big data, dan sebagainya adalah hal penunjang.

“Kita memaknai era industri 4.0 itu sebetulnya mengembalikan kembali hakikat manusia itu di dalam satu sistem industri,” kata Lilik dalam webinar yang diselenggarakan Pustek UGM, Selasa (16/2/2021).

Sektor pertanian menjadi salah satu sektor potensial yang masih bisa bertahan. Program strategis sektor pertanian pada masa new normal, salah satunya yaitu pengembangan pertanian modern. Mulai dari pengembangan smart farming, screen hous, food estate dan korporasi petani. Artinya, masyarakat tidak lagi bisa melakukan praktik pertanian tradisional.

Seiring dengan adanya transformasi digital, perlu ada transisi dalam hal pertanian. Pertanian modern ditandai dengan adanya perubahan paradigma dan pola pikir dari pembangunan pertanian tradisional ke modern.

Tidak ada yang harus diindikasikan dengan penggunaan teknologi modern. Namun, lebih kepada meningkatkan produktivitas, menjamin kemanan pangan secara mandiri dan berkelanjutan.

Masyarakat Indonesia memiliki sumberdaya sosial yang masing-masing wilayah memiliki karakteristik yang berbeda. Hal yang sangat penting dalam pertanian adalah adanya sumberdaya sosial.

Kemampuan kondisi sosial yang sangat berbeda, tidak bisa digeneralisir begitu saja. Masyarakat dengan interaksi sosial yang luwes, dinilai lebih mudah untuk menerima perubahan. Pola interaksi ini yang perlu diidentifikasi dalam satu wilayah.

Tidak mudah memberikan inovasi, ada tahapan yang masyarakat lalui. Mulai dari memberikan motivasi, meningkatkan kemampuan hingga akhirnya masyarakat berpartisipasi dalam pemecahan masalah.

Dalam indikator pembanganan pedesaan berkelanjutan, setidaknya ada tiga aspek yang harus dimasukkan, yakni sosial, ekonomi, dan lingkungan.

“Bahwa aspek ekonomi tadi perlu menjadi indikator yang kemudian bisa kita hitung before dan afternya,” kata Lilik.

Hal pertama yang perlu dirubah adalah pola pikir, jika bicara mengenai artefak, teknologi dan sebagainya itu nomor sekian. Transisi dari pertanian tradisional menuju modern adalah pola pikirnya.

Lilik menilai, pendekatan sosio kultural masyarakat masuk ke dalam era digital adalah hal yang penting. Ada beberapa hal dalam pembangunan pertanian 4.0 yang kemudian ia sebut sebagai teknologi pertanian berkemanusiaan.

Di daerah tertinggal atau pinggiran dipaksa mengaplikasikan teknologi modern. Karena, titik fokusnya adalah manusia, maka program diawal dengan pengembangan SDM.

Selanjutnya baru ditunjang dengan infrastruktur di hilirnya. Kelembagaan yang berbasis organisasi pembelajaran dinilai sangat tepat. Tidak bisa hanya berbicara pada teknologi dan infrastruktur.

Hal yang penting adalah adanya inovasi yang bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Perlu ada keselarasan dalam pendekatan dari atas ke bawah serta sebaliknya.

Kawasan perkotaan dan pedesaan tidak bisa dipisahkan saat membahas mengenai kawasan pertanian terpadu.

Jika petani sudah merasakan kenikmatan teknologi, hal itu menjadi sesuatu yang membahagiakan untuk Lilik. (suara.com)