Catatan 100 Hari Kapolri Jenderal Listyo, Kontras: Praktik Kekerasan Masih Terjadi

Nasional1293 x Dibaca

Jakarta, Karosatuklik.com – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) memberikan catatan 100 hari kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit.

Dalam catatan Kontras, setidaknya ada sejumlah hal yang dikritisi. Salah satunya terkait praktik kekerasan yang masih dilakukan kepolisian dalam proses penyelidikan.

“Praktik penyiksaan masih menjadi bagian dari cara polisi guna mendapatkan pengakuan dalam proses penyelidikan,” kata Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti dikutip dari laman Kontras, Jumat (7/5/2021).

Kemudian, selama 100 hari kepemimpinan Listyo Sigit, kasus pembunuhan di luar proses hukum (unlawful killing) juga menjadi persoalan kepolisian yang tak kunjung diperhatikan.

“Mekanisme pengungkapan peristiwa dalam kasus pembunuhan di luar proses hukum (unlawful killing) turut menjadi deret masalah yang tidak menjadi perhatian dalam memperbaiki kinerja kepolisian,” ujar Fatia.

Kondisi itu, kata Fatia, semakin diperparah dengan mekanisme yang lemah dan tidak adanya komitmen menurunkan angka pelanggaran.

“Komitmen Kapolri dalam menguatkan fungsi pengawasan juga tidak tercermin dari carut-marutnya penegakan etik kepolisian. Kondisi yang carut marut ini terlihat dari angka pelanggaran baik itu disiplin, etik maupun pidana yang terus mengalami kenaikkan,” jelas

leh karenanya, Kontras mendesak Listyo Sigit segera membenahi kinerjanya selama 100 hari terakhir dengan mengedepankan sisi humanis dalam penegakan hukum.

“Mengedepankan langkah-langkah yang humanis dalam mencapai tujuan hukum dan ketertiban. Tindakan humanis Kepolisian harus terefleksi saat bertugas di lapangan bukan dengan cara membatasi media untuk tidak meliput tindakan kekerasan aparat,” tegasnya.

100 Hari Tak Ada yang Membaik

Sebelumnya juga, Komisi untuk orang hilang dan korban tindak kekerasan (Kontras) mengkritisi 100 hari kepemimpinan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo tidak adanya perubahan signifikan dalam memperbaiki kinerja institusi Korps Bhayangkara.

“Catatan ini berangkat dari hasil analisa dan pemantauan terhadap 16 program prioritas 100 hari yang telah disusun oleh Jenderal Listyo Sigit,” kata Peneliti Kontras Rozy Brilian dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (6/5/2021).

Ia memaparkan, pertama program perubahan teknologi kepolisian modern di era police 4.0. Kapolri justru merealisasikan ‘virtual police’ yang menjadi alat represi baru di dunia digital.

Menurut Rozy, operasi virtual police justru bersifat menindak dan mengatur ekspresi warga negara. Padahal penindakan seharusnya dilakukan kepada mereka yang melakukan tindakan kriminal lewat media sosial.

“Kedua, program pemantapan kinerja Kamtibmas, Kapolri justru melakukan simplifikasi dengan penjagaan pada program investasi negara yang tidak memerhatikan dampaknya ke masyarakat,” katanya.

Dampak ke masyarakat yang dimaksudkan Rozy, yaitu munculnya ruang kriminalisasi terhadap warga yang bersuara. Seperti yang terjadi di Desa Wadas, Jawa Tengah.

Berikutnya yang ketiga, program dukungan dalam penanganan COVID-19, menurut dia, kepolisian justru sangat diskriminatif dalam penanganan kerumunan.

Jenis pelanggaran baik itu disiplin, etik dan pidana terus mengalami kenaikkan. Belum sampai 4 bulan, sudah terjadi sebanyak 536 pelanggaran disiplin, 279 pelanggaran KEPP, dan 147 pelanggaran pidana.

Kelima, prioritas Kapolri untuk meminimalisir public complaint juga tak membaik dalam 100 hari ini.

Rozy menambahkan selama 100 hari kepemimpinan Jenderal Listyo, kondisi penegakan hukum dan HAM yang dilakukan oleh kepolisian tak kunjung membaik.

Kontras melihat praktik-praktik tersebut semakin masif dilakukan, baik di ruang publik maupun digital.

“Hal ini kami khawatirkan sebagai pola yang akan terus kembali terjadi sepanjang kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit selama beberapa tahun ke depan,” ujar Rozy.

Melalui keterangan tertulisnya, Kontras memberikan beberapa rekomendasi, yakni segera melakukan perbaikan institusi Polri secara signifikan dan revolusioner menuju kepada konsep kepolisian demokratis (democratic policing).

“Konsep ini akan membantu kepolisian untuk menjadi institusi yang lebih menghargai demokrasi dan hak asasi manusia,” kata Rozy.

Rekomendasi berikutnya, mengedepankan langkah-langkah yang humanis dalam mencapai tujuan hukum dan ketertiban. Tindakan humanis Kepolisian harus terefleksi saat bertugas di lapangan bukan dengan cara membatasi media untuk tidak meliput tindakan kekerasan aparat.

Selanjutnya meningkatkan profesionalisme institusi Kepolisian dengan cara mengedepankan akuntabilitas serta transparansi dalam penegakan hukum.

“Selain itu, kepolisian juga harus memperketat pengawasan di setiap satuan tingkatan guna mempersempit ruang pelanggaran dan kesewenang-wenangan,” kata Rozy. (suara.com)