Catatan Redaksi, Pers Sepanjang Sejarah di Kota Solo

Solo, Karosatuklik.com – Gedung Monumen Pers Nasional, Surakarta (Solo) merupakan tempat bersejarah lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), 9 Februari 1946, saat pendudukan Jepang di Hindia Belanda.

Pada akhirnya, setiap 9 Februari diperingati sebagai hari lahir PWI juga sebagai Hari Pers Nasional (HPN) yang tahun 2021 ini, DKI Jakarta sebagai tuan rumah yang dihadiri Presiden Jokowi dan duta besar negara sahabat, Ketua PWI Pusat Atal Sembiring Depari, Ketua Dewan Pers M Nuh juga wartawan luar negeri di Istana Negara.

Diorama Monumen Pers

Narasi dan diorama Monumen Pers Nasional yang berada di Jalan Gajah Mada, Surakarta itu, terlihat menggambarkan perkembangan komunikasi dan pers sepanjang sejarah Indonesia dari masa prakolonial hingga kondisi pers setelah dimulai era reformasi pada tahun 1998 yang melonggarkan kebebasan pers.

Monumen Pers Nasional merupakan tempat Kongres Pertama PWI setelah resmi dibuka tanggal 9 Februari 1978 oleh Presiden Soeharto.

Dalam pidatonya ketika itu, Presiden Soeharto memperingatkan pers akan bahaya kebebasan. Ia menyatakan, “menikmati kebebasan demi kebebasan itu sendiri adalah keistimewaan yang tak mampu kita dapatkan”.

Redaksi Karosatuklik.com, Robert Tarigan, SH yang beberapa waktu lalu mengunjungi Gedung Monumen Pers Nasional di Solo sempat menemui Kepala Monumen Pers Nasional Widodo Hastjaryo.

Museum bersejarah bagi insan jurnalis di Indonesia saat dikunjungi sedang tahap renovasi itu, memiliki 20 ribu judul bahan pustaka, 16 ribu di antaranya berupa buku dan selebihnya berupa buletin dan koran.

Lantai dua halaman berisi arsip koran digital. Koran dari lini masa tersebut disuguhkan dalam bingkai yang ditempel di dinding-dinding bangunan monumen pers.

Koran tersebut tercatat mulai dari koran yang diterbitkan pada pemerintahan Hindia Belanda hingga koran yang masih eksis saat ini.

Selain arsip koran digital, berbagai informasi sejarah mengenai pers seperti pakaian para wartawan, rekaman pers pada masa lampau, berbagai foto, serta berbagai wawasan sejarah pers lain pun ditampilkan.

Monumen pers menyediakan ruang baca di lantai dua bangunan, tempat bagi para pelajar, mahasiswa, dan keluarga menambah khasanah keilmuan melalui aktivitas membaca.

 

“Koleksi lain yang memiliki daya tarik ialah pemancar radio yang dulu dimiliki Solosche Radio Vereeniging (SRV). Pemancar radio ini pernah digunakan untuk menyiarkan musik gamelan dari Keraton Mangkunegaran untuk mengiringi Gusti Nurul menari di Den Haag pada acara pernikahan Putri Juliana dengan Pangeran Berhnard pada tahun 1936,” Widodo.’

Museum Pers Nasional menempati gedung yang dibangun sekitar tahun 1918 atas perintah Mangkunegaran VII. Dulunya, bangunan itu bernama “Societeit Sasana Soeka”.

Kompleks monumen terdiri atas gedung societeit lama dan digunakan untuk pertemuan pertama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Selain itu, ada pula beberapa gedung yang ditambahkan sekitar tahun 1970.

Widodo mengungkapkan total jumlah koleksi artefak di museum yang didirikan pada tahun 1978 tersebut hingga saat ini sekitar 100 unit.

Sementara itu, untuk pemeliharaan gedung maupun koleksi, pihaknya bekerja sama dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah dan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI.

Cagar Budaya Nasional

Gedung Monumen Pers Nasional telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya tingkat Nasional.

Selain itu, ada pula koleksi berupa artefak, di antaranya mesin ketik milik tokoh pers nasional Bakrie Soeriaatmadja dan pakaian yang digunakan oleh wartawan senior Hendro Subroto saat melakukan peliputan masa integrasi Timor Timur ke Indonesia.

“Demikian juga, kamera milik wartawan Harian Bernas Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin yang terbunuh secara misterius,” kata Widodo mengakhiri.

Pers dibenci tapi juga dirindu, Selamat Hari Pers Nasional, dan Selamat HUT PWI. “BANGKIT DARI PANDEMI, PERS SEBAGAI AKSELERATOR PERUBAHAN DAN PEMULIHAN EKONOMI,”. (Redaksi)