Densus: Pandemi Covid Jadi Ajang Teroris Bangun Kekuatan

Nasional858 x Dibaca

Jakarta, Karosatuklik.com – Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror mengungkap pandemi covid-19 menjadi ajang kelompok teroris meningkatkan sumber daya dan kekuatan guna menyiapkan serangan.
“Kelompok teroris melihat krisis pandemi sebagai peluang untuk lebih banyak perekrutan, dukungan, simpatisan untuk menyerang lebih keras,” kata Analis Utama Intelijen Densus 88 Antiteror Polri Brigjen Pol Ibnu Suhendra dalam diskusi virtual yang digelar The Habibie Center, Senin (22/2/2021).

Analisis ini menurutnya sesuai dengan pernyataan pemimpin Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) Abu Ibrahim al-Hashimi al-Quraishi yang meminta pengikutnya melakukan serangan lebih keras di penjuru dunia selama pandemi.

Ibnu mengatakan fatwa tersebut berdampak pada kelompok teroris di Indonesia yang banyak berafiliasi dengan ISIS.

Contohnya, ujar Ibnu, kegiatan pengajian kelompok teror Jama’ah Ansharut Khilafah tetap berlangsung meskipun seluruh siswanya sempat terpapar covid-19.

Kini pengajian dilakukan dengan platform zoom sembari menyebarkan ajaran-ajaran.

Mujahidin Indonesia Timur (MIT), sambungnya, masih eksis di tengah pandemi dengan menyebarkan video berisi pemenggalan korban melalui media sosial.

Aksi ini mencontek kelompok ISIS di Timur Tengah guna menunjukkan kekuatan mereka.

Sementara itu Jama’ah Al Islamiyah (JI) menggunakan jejaring sosial. JI juga didapati memiliki pedoman dan strategi intelijen dengan nama Pedoman Umum Pergerakan Jama’ah Islamiyah (PUPJI) dan Total Amniyah System Total of Solution (TASTOS).

Jamaah Ansharut Daulah (JAD) didapati melakukan aktivitas dengan pola pergerakan jangka pendek dan berskala kecil.

Seperti melakukan serangan kecil, pelatihan militer, dan melakukan penguasaan wilayah. Kegiatan tidak terorganisasi dan dilakukan dengan bantuan media sosial.

Sementara, Jama’ah Ansharut Syariah (JAS) mulai aktif dalam kegiatan sosial dan politik dengan memberi bantuan medis dan aksi-aksi kemanusiaan lainnya.

Kegiatan antar-anggota dilakukan menggunakan konferensi video selama pandemi.

Ibnu mengatakan kegiatan-kegiatan ini perlu diperhatikan. Terlebih, ia mengungkap aktivitas terorisme di Indonesia terbilang meningkat seiring waktu.

Mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Vision of Humanity, kata dia, Indonesia menempati posisi ke-35 negara terdampak terorisme pada 2019, naik dari posisi ke-42 pada 2017.

“Harapan kita semua harus menjauh dari angka kecil, jangan mendekat. Harapannya kita harus lebih dari (peringkat) 50. Ironisnya sekarang kita malah mendekat ke arah kecil,” pungkas Ibnu.

Menurutnya, kondisi ini juga diakibatkan oleh perkembangan media sosial yang menjadi salah satu tunggangan kelompok teror. Ia menggambarkan dalam 10 tahun, kelompok teror Afghanistan merekrut 20 ribu simpatisan. Sementara ISIS merekrut jumlah yang sama dalam waktu setahun dengan bantuan media sosial.

Latar belakang pelaku terorisme di Indonesia saat ini juga mulai meluas. Ibnu membeberkan 11 pelaku teroris adalah perempuan, dua di antaranya merupakan polisi wanita (polwan). Kemudian 12 pelaku lainnya dari kalangan anak-anak.

Setidaknya 24 aparatur sipil negara tertangkap sebagai pelaku teror. Ada yang berprofesi sebagai pegawai sipil negara (PNS), anggota Polri, dokter, pilot, sampai mahasiswa di perguruan tinggi negeri.

Penelitian yang dilakukan oleh The Habibie Center pada Agustus-Desember 2020 menemukan pandemi covid-19 bisa mendorong kekuatan radikalisme dan perekrutan simpatisan kelompok teror. Ini juga didukung oleh studi yang dilakukan Institute of Development Studies di Inggris pada Mei 2019 yang berupaya mengantisipasi potensi dampak pandemi terhadap radikalisasi.

“Banyak kelompok-kelompok (teror) yang menawarkan peluang usaha. Orang-orang di-PHK, dipecat dari pekerjaannya, bergabung dengan mereka, diberi materi, ruang untuk berusaha,” kata peneliti The Habibie Center Sopar Peranto dalam diskusi yang sama.

Pandemi juga diketahui meningkatkan sikap intoleran karena munculnya sentimen-sentimen terhadap covid-19 yang diduga berasal dari China.

Kondisi ini, menurutnya, tidak memperbaiki sentimen serta pelanggaran kebebasan beragama dan beribadah di Indonesia. (cnnindonesia.com)