Friedrich Silaban, Pemeluk Protestan Arsitek Masjid Istiqlal

Nasional3675 x Dibaca

Jakarta, Karosatuklik.com – 37 tahun setelah tutup usia, nama Friedrich Silaban masih saja terus diingat, khususnya di benak para pecinta arsitektur dan sejarah Indonesia.

Dia adalah pria di balik bangunan-bangunan bersejarah di Indonesia, mulai dari Monumen Nasional (Monas), Stadion Utama Gelora Bung Karno, sampai Masjid Istiqlal.

Kreatifitas beliau nampaknya paling dikenang saat pembangunan tempat ibadah sekaligus sejarah yang terakhir disebut.

Friedrich lahir di Bonandolok, Sumatra Utara pada 16 Desember 1912. Dia lahir dari keluarga yang memeluk agama Protestan dan merupakan anak ke-5 dari seorang pendeta.

 

Panogu Silaban, anak Friedrich berkisah, ayahnya lahir bukan dari keluarga kaya raya. Namun, beruntungnya, sang ayah masih bisa mengenyam Pendidikan di HIS Narumonda, Tapanuli, Sumatra Utara dan Koningin Wilhelmina School, sebuah sekolah teknik di Jakarta.

Pada tahun 1950 Friedrich terbang ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan di Academic van Bouwkunst Amsterdam dan mendapatkan gelar arsiteknya.

Sepulang dari Belanda, ia bekerja sebagai Kepala DPU Kotapraja Bogor. Suatu hari ia ditemui Presiden Soekarno dan berbincang-bincang cukup lama. Lebih sering membahas soal arsitektur.

“Ternyata obrolannya cocok,” kata Panogu saat diwawancara oleh CNNIndonesia.com pada pekan lalu.

Mulai saat itulah, Friedrich akrab dengan Bapak Bangsa. Ia sering diundang datang ke acara yang digelar Istana Kepresidenan dan makin sering bertemu dengan Soekarno.

Bahkan, Panogu bercerita, ayahnya itu bisa bebas bercanda sampai mengeluarkan kata ‘bodoh’ dengan Soekarno.

Namun kedekatannya dengan Soekarno bukanlah alasan utama mengapa Friedrich dipercaya sebagai perancang Masjid Istiqlal.

 

Awalnya adalah sayembara. Tahun 1955, Soekarno mengadakan sayembara membuat desain maket Masjid Istiqlal. Ada 30 orang yang mendaftar. Namun, hanya 22 orang yang lolos di tahap pertama.

Kemudian pada tahap berikutnya dipilih lima nominasi. Friedrich lolos pada kedua tahapan itu. Lima orang terpilih ini tidak diketahui identitasnya oleh Soekarno.

Setiap peserta hanya boleh mengirim tema rancangannya. Para juri memilih tema ‘ketuhanan’ yang kemudian diketahui milik Friedrich Silaban.

“Kalau dibilang menang sayembara karena akrab tidak juga, karena saat mengirim karya tidak pakai nama,” ucap Panogu.

Setelah diketahui sosok pemenang sayembara tersebut, sontak banyak orang yang kaget.
Pasalnya, Friedrich adalah seorang Protestan dan akan membuat rumah ibadah untuk orang Islam. Tak sedikit yang meragukan dirinya.

Bahkan, Panogu menyebut pada 1962 rancangan yang dibuat ayahnya mendadak hilang. Akhirnya Friedrich harus membuat ulang dan sama persis.

Namun, kata Panogu, banyak juga tokoh agama dan ulama yang meyakinkan masyarakat bahwa Masjid Istiqlal akan menjadi masjid yang nyaman dan membanggakan umat Islam Indonesia, meski arsiteknya seorang Protestan.

“Waktu itu ayah sampai dipeluk oleh Buya Hamka,” kenang Panogu.

Selain itu, rancangan milik Friedrich telah mendapat pujian dari pangeran Arab. Lama kelamaan, semakin banyak orang yang menerima karyanya.

Tapi yang paling meyakinkan dari semuanya adalah kesungguhan Friedrich dalam membuat rancangan.

Sebelum merancang, ia melakukan riset dan berdiskusi dengan berbagai ulama. Sehingga, ia bisa menjawab apa kebutuhan umat Islam.

Bukan hanya itu, ia juga tak ingin melupakan konteks ke-Indonesia-an dalam Masjid Istiqlal.

“Dalam beberapa kali kesempatan pidato, ayah mengatakan kalau ini bukan hanya soal membangun masjid. Ini juga soal membangun masjid yang sesuai dengan karakter Indonesia,” ujar Panogu menirukan ayahnya.

Ada banyak contoh bangunan peribadatan yang megah dan modern di negara lain. Namun, Friedrich menolak untuk sekadar ikut-ikutan.

Panogu mengingat ayahnya saat itu berpandangan bahwa kalau beragama Kristen jangan jadi orang Yahudi, kalau beragama Hindu jangan jadi orang India, kalau beragama Islam jangan jadi orang Arab. Sehingga ia membuat Istiqlal dengan karakter Indonesia.

Pandangan itu sebenarnya ia dapat dari Presiden Soekarno juga. Tapi, terlepas dari itu, Friedrich benar-benar menerapkannya ke dalam rancangan masjid Istiqlal.

“Eksterior dan interior yang dibuat ramah iklim tropis juga sekaligus merespon iklim Indonesia, sehingga seperti tidak terlalu panas saat berada di dalam Istiqlal,” ujar Panogu.

“Tidak cuma lantai yang perlu atap, dinding juga perlu. Ada overhang, jadi sinar matahari tidak langsung masuk ke ruangan. Tapi mempersilahkan angin berhembus ke dalam Istiqlal. Sistem tropisnya ada ventilasi, menghindari hujan,” jelas dia.

Pembangunan Istiqlal kemudian selesai pada 1978. Masjid ini kemudian mendapat predikat sebagai menjadi masjid terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 200 ribu orang.

Enam tahun kemudian, yaitu tahun 1984, Friedrich tutup usia. Ia dilarikan ke di RSPAD Gatot Subroto karena mengalami komplikasi kesehatan.

Sepeninggal Friedrich, Masjid Istiqlal masih berdiri dengan gagah dan menawan.

Arsitekturnya terbukti tak lekang oleh zaman, seakan menua dengan sejarahnya yang membanggakan sekaligus mempersatukan bangsa.

Saat diwawancarai terpisah, Wakil Kepala Bidang Peribadatan Masjid Istiqlal, Abu Hurairah bahkan menjuluki Friedrich sebagai ‘Bintang Istiqlal’.

Kedekatan jarak antara Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta juga sering mencari cerita kerukunan tersendiri setiap hari raya.

Saat Lebaran, biasanya Gereja Katedral Jakarta membuka gerbangnya untuk tempat parkir pengunjung masjid, begitu sebaliknya saat Natal tiba.

Berikut daftar lengkap karya arsitektur Friedrich Silaban yang membanggakan:

  • Gedung Universitas HKBP Nommensen – Medan (1982)
  • Stadion Utama Gelora Bung Karno – Jakarta (1962)
  • Rumah A Lie Hong – Bogor (1968)Monumen Pembebasan Irian Barat – Jakarta (1963)
  • Markas TNI Angkatan Udara – Jakarta (1962)
  • Gedung Pola – Jakarta (1962)
  • Gedung BNI 1946 – Medan (1962)
  • Menara Bung Karno – Jakarta 1960-1965 (tidak terbangun)
  • Monumen Nasional / Tugu Monas – Jakarta (1960)
  • Gedung BNI 1946 – Jakarta (1960)
  • Gedung BLLD, Bank Indonesia, Jalan Kebon Sirih – Jakarta (1960)
  • Kantor Pusat Bank Indonesia, Jalan Thamrin – Jakarta (1958)
  • Rumah Pribadi Friderich Silaban – Bogor (1958)
  • Masjid Istiqlal – Jakarta (1954)
  • Gedung Bentol – Jawa Barat (1954)
  • Gerbang Taman Makam Pahlawan Kalibata – Jakarta (1953)
  • Kampus Cibalagung, Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP)/Sekolah Pertanian Menengah Atas
  • (SPMA) – Bogor (1953)
  • Rumah Dinas Wali kota – Bogor (1935)
  • Kantor Dinas Perikanan – Bogor (1951)
  • Tugu Khatulistiwa – Pontianak (1938).

(R1/cnnindonesia.com)