Jakarta, Karosatuklik.com – Telegram Kapolri Listyo Sigit Prabowo yang di antara isinya melarang media menampilkan arogansi dan kekerasan aparat serta ikut serta dalam kegiatan penangkapan direspons Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Ilham Bintang.
“Saya pikir Telegram Kapolri itu salah alamat kalau ditujukan kepada media pers. Mungkin itu memang buat media-media Polri yang selama ini bekerjasama dengan terutama stasiun TV, membuat program seperti buser dan kawan-kawannya. Jadi, menurut saya bukan untuk media pers,” ujar Ilham dalam pernyataan tertulis, Selasa (6/4/2021).
Menurut Ilham, sumber hukum media massa di Tanah Air adalah UU No 40/1999 tentang Pers, sebuah produk hukum dari reformasi. Seandainya benar ditujukan untuk pers secara umum, maka jelas derajat telegram kapolri jauh di bawah UU Pers.
”Mustahil peraturan yang berada di bawah, seperti Telegram Kapolri, mengalahkan UU yang berada di atasnya,” kata Ilham.
Meskipun demikian, Ilham memaklumi bila wartawan atau organisasi media pers mengklarifikasi telegram kapolri tersebut kepada kepolisian agar diperoleh penjelasan yang lebih terang.
”Tidak disalahtafsirkan nanti oleh petugas polisi di lapangan yang berpotensi menimbulkan kegaduhan baru,” tuturnya.
Ihlam menjelaskan bahwa UU Pers tahun 1999 tersebut tidak memiliki aturan turunan berupa peraturan pemerintah atau peraturan menteri yang bisa ditasirkan eksekutif.
Hal ini bereda dengan UU Pers sebelumnya, yaitu UU Pokok Pers bisa ditafsirkan sekehendak penguasa. Desain UU Pers No 40 memang ditujukan agar pers mengatur dirinya sendiri. Pengaturannya ditangani oleh Dewan Pers.
”Salah satu butir di Telegram itu menyebutkan dilarang menyiarkan tindakan polisi yang arogan. Kalau buat pers justru itu penting diberitakan sebagai koreksi kepada polisi.”
“Yang benar, Kapolri harus melarang polisi bersikap arogan dalam melaksanakan tugas. Sudah pasti tidak ada video yang merekam peristiwa itu untuk disiarkan,” kata Ilham. (sindonews.com)