Identitas Indonesia

Catatan Redaksi927 x Dibaca

Opini: Yanto Bashri

Jakarta, Karosatuklik.com – Bagi intelektual Indonesia dan peneliti luar negeri, Indonesia adalah negara kepulauan dengan beragam suku, bahasa, agama, budaya, dan adat. Pengunaan simbol ke-Indonesia-an bukan sekadar persoalan kultural, juga atribut kebangsaan dan kesalehan. Identitas Indonesia dipandang memiliki makna metafisika yang memberikan arti pencarian kedudukan seseorang dalam konteks menyatukan alam dan keanekaannya untuk memahami hakikat kehidupan dan menggali kearifan lokal yang berkembang.

Sebagian masyarakat kita secara salah menganggap Indonesia merupakan negara agama yang harus diperjuangkan seperti Arab Saudi, Iran, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Dengan pandangan ini, mereka menempatkan khilafah sebagai sistem untuk diterapkan menggantikan Pancasila, UUD 1945, demokrasi, dan sistem pemerintahan. Tak jarang di antara mereka merasa memiliki otoritas agama dan merasa benar, meski tidak pernah menempuh pendidikan agama atau setidaknya memiliki latar belakang pesantren.

Clifford Geertz menggambarkan Indonesia sebagai great tradition yang menerangi kota dan desa-desa sebagai little tradition dengan cahaya nasionalisme. Geertz, seorang antropolog, menggambarkan hal ini dalam The Interpretation of Cultures. Buku yang diterbitkan pada 1973 oleh Basic Books, Inc New York, melengkapi karya-karyanya yang terbit sebelumnya, seperti The Religion of Java (1960), Agricultural Involution (1963), dan Islam Observed (1968).

Dalam buku itu diceritakan ada seorang anak laki-laki berumur 10 tahun yang meninggal mendadak. Laki-laki ini tinggal bersama pamannya di Mojokuto. Alih-alih menyegerakan pemakamannya, sang paman justru melaksanakan penguburan dengan tidak mengindahkan budaya-budaya Jawa, sehingga menimbulkan ketegangan sosial dan psikologi berkepanjangan di masyarakat.

Menurut Geertz, Indonesia mengalami perubahan sosial dan budaya akibat konflik (benturan) antarbudaya, reorientasi struktural, dan reintegrasi budaya, sebagai ciri masyarakat Indonesia kontemporer. Perubahan ini tampak pada pengetahuan dan pemahaman masyarakat yang memengaruhi perilaku kehidupan mereka. Perubahan yang bersumber dari eskatologi dan metafisika ini dapat menjadi sumber konflik dan perpecahan bangsa jika tidak ditemukan tradisi sebagai titik temu. Budaya Indonesia dibangun di atas tradisi agama besar, seperti Hindu, Buddha, Islam, Katolik, Protestan, dan Konghucu. Desa-desa atau kota-kota di Indonesia sekarang ini memiliki kesamaan dengan kondisi Jawa era 1950-an dan 1960-an.

Pada 1950-an, patriotisme dan nasionalisme terlihat sangat kuat. Kedua nilai budaya ini beririsan dengan semangat revolusioner untuk sebuah bangsa mandiri dan kontribusi kepada negara, serta memiliki kaitan erat dengan karakter laki-laki yang berbudi pekerti luhur, heroisme, dan revolusioner.

Kondisi sinkronik dan diakronik budaya masyarakat Indonesia tahun 1950-an terhadap laki-laki menempatkannya sebagai tokoh berkemampuan menghadapi berbagai tantangan dan peluang dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi. Laki-laki adalah makhluk kuat yang mampu membina rumah tangga dan mempertahankan budaya. Meminjam istilah Masdar Hilmy (2013), Indonesia pada era ini disebut pedang bermata dua (double-edged sword), yakni laki-laki memiliki peran dalam gerakan kebudayaan (cultural movement) dan menghasilkan ruang kerukunan yang pada gilirannya membuahkan kreativitas.

Pada 1960-an, gerakan pembaruan kebudayaan ini secara masif mulai diperankan oleh para intelektual, politikus, sastrawan, seniman, dan aktivis. Mereka adalah motor yang menumbuhkan ide dan kreativitas. Orang-orang yang hidup masa ini memahami pentingnya peletakan dasar kebudayaan kehidupan masyarakat Indonesia. Era ini merupakan masa kegemilangan kaum intelektual. Ronald A Lukens-Bull (2001) menyebutnya sebagai two sides of the same coin (dua sisi dari koin yang sama). Mereka melakukan banyak hal untuk bangsa dan negara meski profesinya berbeda.

Selanjutnya, 1970-an merupakan era pemerintah mengendalikan pembangunan kebudayaan. Pada era ini, kita mengenal program pembangunan terpusat di kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan. Banyak orang melakukan urbanisasi, pindah dari desa ke kota, untuk mencari pekerjaan dan menetap. Mereka cenderung memilih bekerja dan hidup di kota dibanding di desa. Sedikit demi sedikit, mereka melepaskan ikatan tradisi hidup, bahkan meninggalkan kerabat-kerabatnya di desa. Pola ini memengaruhi tradisi agama dan kehidupan sosial.

Perubahan Sosial

Pertumbuhan ekonomi, politik, sosial, bahkan eskalasi pendidikan, masif dirasakan masyarakat. Pada masa ini, Indonesia mengalami perubahan sosial relatif tinggi setelah masuknya investasi dunia ke tengah ekonomi nasional. Banyak perusahaan baru berdiri lewat penanaman modal asing dan dalam negeri. Kondisi ini terus berkembang pada 1980-an.

Memasuki 1990-an dan 2000-an, muncul ide dan cita-cita pluralisme. Ide yang disodorkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini tidak hanya sebagai upaya revitalisasi negara kepulauan Indonesia yang terdiri dari 17.000 lebih pulau, ragam istiadat, budaya, suku, agama, dan kepercayaan, tetapi pada saat bersamaan pula untuk memayungi perbedaan sosial dan politik.

MC Ricklefs dalam Religious Reform & Polarization in Java (2008) menggambarkan situasi ini sebagai polarisasi (polarization), yakni masyarakat Indonesia pada masa ini mengalami polarisasi menurut garis agama dan sosial dengan cara yang tampaknya belum pernah ada sebelumnya. Polarisasi mulai muncul menjelang akhir abad ke-19.

Ricklefs menggambarkan Budi Utomo sebagai organisasi awal yang mewakili kelompok priayi, yang kemudian melahirkan organisasi-organisasi baru dan menjadi tempat afiliasi kaum abangan dan Islam. Di bidang politik ada PNI, Sarekat Islam, Masyumi, dan lainnya, sementara organisasi agama, seperti Muhammadiyah dan NU (Nahdlatul Ulama) mewadahi aspirasi masyarakat modern di Indonesia.

Pada dekade awal abad ke-20, polarisasi ini semakin menguat. Polarisasi pun mulai mengarah pada persaingan identitas budaya (cultural identity) yang terlembagakan dalam organisasi modern, baik agama maupun–khususnya–politik. Yang muncul kemudian ialah perilaku sosial lebih kaku dan memicu potensi konflik, sehingga lahirlah sistem politik aliran. Dalam sistem politik aliran, identitas politik, agama, sosial, dan budaya, ditentukan oleh aliran vertikal, bukan oleh kelas sosial.

Kembali ke persoalan awal, pertanyaan yang dapat diajukan, seperti apa nasib masyarakat Indonesia di masa depan? Apakah masyarakat bisa menghilangkan identitas sosial, agama, dan politik, untuk hidup harmonis di bawah bendera Pancasila dan UUD 1945? Ataukah identitas ini harus terus dimunculkan untuk tujuan tertentu? Zaman memang sudah berubah, tetapi membangun harmoni masyarakat untuk hidup berdampingan satu dengan lainnya seperti pada era 1950-an dan 1960-an masih terbuka.

Penting diperhatikan bahwa sejumlah tokoh nasional dan intelektual yang menonjol sekarang ini sebagian besar lahir pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Meski tidak mengalami secara langsung harmonisasi masyarakat berbeda agama dan ideologi masa itu, mereka memiliki kesempatan yang cukup untuk membangun tatanan sosial dan peradaban damai.

Dalam artikel Indonesian Politics in 2020 yang terbit di Rouledge dan ANU (Australian National University), Greg Fealy menggambarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai pemimpin transformatif karena mampu mempercepat pembangunan antara 2019 dan 2024. Meski sempat terhalang pandemi Covid-19, Jokowi konsisten dengan agenda-agenda besarnya, seperti meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menjaga kerukunan umat beragama, serta membangun pluralisme.

Dalam konteks membangun keberagamaan, seperti digambarkan Geertz, jika masa 1950-an dan 1960-an harmoni masyarakat tercipta karena tradisi slametan yang mencairkan sekat identitas agama, ideologi, sosial, dan politik dianut masyarakat, maka moderasi beragama dapat diajukan sebagai tradisi bersama untuk membangun harnomi dan mempertahankan identitas Indonesia masa sekarang. Saatnya: think act moderate! (Penulis Adalah Anggota Pokja Moderasi Beragama Ditjen Pendis Kemenag)