Implementasi Kepemimpinan Tim (Budaya Aron Dan Runggu Suku Karo)

Karo11635 x Dibaca

TUGAS MAHASISWA

  • Nama : Atania Christianti Br Ginting
  • Pekerjaan : Mahasiswa (Prodi Pascasarjana Universitas Negeri Medan)
  • Judul : Implementasi Kepemimpinan Tim (Budaya Aron Dan Runggu Suku Karo)

Kepemimpinan merupakan sebuah dimensi yang harus ada dalam kelompok sosial manusia. Bahkan sebuah rumah tangga pun harus memiliki pemimpin, yang dipegang dan dikendalikan oleh ayah, dan “wakilnya” adalah ibu rumah tangga.

Kepemimpinan akhirnya akan meluas sampai kepada rukun tangga, rukun warga, kepala desa atau lurah, camat, bupati, wali kota, gubernur, sampai tingkat pemimpin tertinggi yakni presiden.

Selain pemimpin eksekutif termasuk juga legislatif dan yudikat. Secara tradisional pula, beberapa kelompok masyarakat di Indonesia memiliki sistem kepemimpinan yang diwarisi dari era sebelumnya. Misalnya kepala suku, ada pula sistem kerajaan seperti sultan, raja, perdana menteri, wazir, orang besar kerajaan, dan lain-lainnya.

Suku Karo adalah suku bangsa yang mendiami wilayah Sumatera Utara dan sebagian Aceh; meliputi Kabupaten Karo, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kabupaten Simalungun, Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang. Suku ini merupakan salah satu suku terbesar di Sumatera Utara.

Nama suku ini dijadikan salah satu nama Kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Tanah Karo yang terletak di Kabupaten Karo. Mayoritas suku Karo bermukim di daerah pegunungan, tepatnya di daerah Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak yang sering disebut sebagai “Taneh Karo Simalem”.

Kabupaten Karo merupakan wilayah agraris religus dengan pertanian yang unggul. Hal ini tentu saja menunjukkan bahwa mata pencaharian suku Karo adalah dengan mengandalkan sektor pertanian, didukung alamnya yang subur dan iklim udara yang sejuk sepanjang musim.

Keberhasilan dari sektor pertanian tentu saja ada bentuk campur tangan dari sistem bekerja suku Karo yang menjadi warisan leluhur budaya. Dalam suku Karo dikenal sebagai “Budaya Aron”.

Aron adalah tradisi budaya yang sudah melekat pada masyarakat suku Karo sejak zaman dahulu hingga sekarang, yakni sebuah konsep pola kerjasama dan tolong menolong pada masyarakat Suku Karo di Sumatera Utara, baik dalam menghadapi ancaman dari pihak lain atau dalam mengerjakan sesuatu.

Rumah adat budaya Karo yang dikenal “Rumah Siwaluh Jabu” lahir lewat semangat budaya Aron. Bahkan, pesta budaya Kerja Tahun menjadi semacam perwujudan prinsip gotong royong dalam masyarakat Karo. Setelah satu tahun disibukkan kegiatan bertani atau berladang yang juga dilaksanakan secara gotong royong, maka hasil dari aktivitas pertanian itu juga harus disyukuri dan dinikmati secara gotong royong pula.

Pesta budaya “Kerja Tahun” dalam masyarakat Kabupaten Karo adalah simbol kedaulatan pangan, ucapan syukur dan penghargaan kepada alam dan penciptanya. Budaya agraris masyarakat Karo ini adalah sebuah social heritage yang perlu dijaga.

Kerja tahun adalah sebuah ritual atau upacara penyembahan kepada Sang Pencipta, Beraspati Taneh (yang dalam kepercayaan Pemena, kepercayaan asli Suku Karo, sebagai penguasa tanah). Tujuannya, agar setiap aktivitas pertanian yang dilakukan bisa menghasilkan panen yang berlimpah.

Istilah Aron berasal dari Bahasa Karo yaitu sisaro-saron (saling membantu) yang diwujudkan dalam bentuk kelompok kerja orang muda atau dewasa. Sistem Budaya Aron sendiri merupakan suatu bentuk dari kepemimpinan TIM. Kolaborasi dan gotongroyong adalah menjadi ciri khas dari semangat budaya Aron.

Tim adalah suatu unit yang terdiri atas dua orang atau lebih yang berinteraksi dan mengoordinasi kerja mereka untuk tujuan tertentu. Definisi ini memiliki tiga komponen, yaitu:

(1) dibutuhkan dua orang atau lebih

(2) orang/individu-individu dalam sebuah tim memiliki interaksi regular, dan

(3) orang/individu-individu dalam sebuah tim memiliki tujuan kinerja yang sama.

Dalam Budaya Aron terdapat seseorang yang seperti pemimpin yang menjadi penengah dalam melaksanakan pekerjaan, biasa dikenal dengan istilah “Nande Aron”.

Adapun tugas utama Nande Aron sebagai pemimpin Tim adalah sebagai berikut :

1. Mencari dan menentukan ladang tempat bekerja

2. Nande aron sebagai pemandu pekerjaan dan berada di posisi depan ketika bekerja

3. Nande Aron akan mengatur bagian-bagian pekerjaan untuk setiap anggota, jika semua memiliki pekerjaan yang sama, anggota yang lemah berada didepan agar anggota yang lain dapat menyetarakan kekuatan sehingga tidak ada anggota pekerja yang tertinggal. Sebuah tatanan kerjasama yang saling mengisi, bahu membahu dan saling membantu.

Masyarakat Karo sangat menjunjung rasa kebersamaan dan bergotong royong. Dalam penerapannya selalu didasarkan pada hasil perundingan atau sering disebut dengan istilah “Runggu”.

Dalam pola kerjanya terdapat keteraturan antara sesama anggota dengan tujuan agar tetap terjaga hubungan yang baik. Pola kerja dilakukan secara bergiliran, sesuai dengan kebutuhan dalam mengerjakan sawah maupun ladang para anggota.

Seperti contoh, ketika anggota A akan menanam padi, maka anggota aron yang lainnya wajib datang ke ladang/sawah si A untuk mengerjakan sawahnya. Demikian seterusnya hingga selesai secara bergilir bagi setiap anggota Aron.

Bila salah satu anggota ingin mendahulukan sawahnya atau ladangnya tetapi belum pada gilirannya, maka anggota tersebut dapat meminta supaya sawahnya didahulukan dikerjakan oleh anggota aron lainnya. Hal ini disebut dengan pinjam tenaga (petangkapken atau biasa juga disebut dengan istilah pinjam gegeh).

Dalam hal ini tentu saja dibutuhkan sebuh perundingan untuk mencapai kesepakatan bersama agar tidak terjadi perselisihan. Disaat inilah peran Nande Aron sebagai pemimpin dibutuhkan baik dalam penengah maupun pengambil keputusan.

Sistem budaya Aron sangat membantu masyarakat dalam mengerjakan pekerjaan di ladangnya, dimana Aron ini berganti-ganti bekerja antara satu ladang yang satu ke ladang lainnya dengan silih berganti, sehingga dari tradisi Aron ini mempunyai manfaat dalam efisiensi waktu, tenaga, dan semakin eratnya rasa kebersamaan dan kekeluargaan.

Seiring dengan perkembangannya, sistem budaya Aron mulai berubah seiring dengan perkembangan zaman. Misalnya, jika dulu sistem budaya Aron diganti dalam bentuk tenaga namun sekarang berganti dengan sistem gaji (Uang).

Namun meski begitu eksistensi dan esensi budaya Aron tidak lepas dari sistem dan nilai-nilai budaya yang berlaku. Dimana untuk segala sesuatu nya diputuskan dari hasil perundingan “Runggu”.

Dalam memutuskan gaji dan jam bekerja misalnya. Sebelum membuat undang-undang untuk pekerja Aron terlebih dahulu diadakan rapat bersama “Rapat Balai Kuta” dalam membuat keputusan. Sehingga pekerja (Aron) dan pemilik ladang bersama-sama mengambil keputusan yang terbaik tanpa memberatkan sepihak.

Adanya pekerja (Aron) sangat membantu dalam mengolah pertanian di daerah Tanah Karo, selain dari pada itu eksistensi budaya Aron mengurangi pengangguran dan mampu menstabilkan perekonomian di Taneh Karo itu sendiri.

Bentuk kepemimpinan TIM yang dapat kita lihat dalam budaya Aron suku Karo merupakan kepemimpinan demokratis.

Dimana dalam pengambilan keputusan selalu berdasarkan dengan adanya perundingan (musyawarah) dalam mengambil sebuah keputusan.

Nande Aron sebagai pemimpin kelompok atau penengah bersedia menerima dan menghargai saran-saran, pendapat, dan nasehat dari anggota melalui perundingan untuk mencapai kata sepakat. Hal ini bertujuan agar mengurangi perselisihan anggota dan setiap orang merasa nyaman dalam bekerja.

Gotong royong merupakan konsep yang mempunyai nilai sangat tinggi serta erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat Indonesia terutama masyarakat suku Karo yang dalam segala kegiatan kemasyarakatannya selalu didasarkan pada asas kekeluargaan yang demokratis.

Ide dasar demokratis ini berupa pengikutsertaan rakyat dalam persetujuan umum untuk mencapai keputusan bersama. Pada dasarnya gotong royong merupakan bentuk kerja sama masyarakat desa dalam mencapai tujuan bersama.

Sejatinya itulah nilai yang bisa dibilang mempersatukan bangsa kita, sehingga kedepan kearifan lokal masyarakat suku Karo perlu terus dirawat dan diwarisi oleh generasi muda. Bahwa solidaritas dan sikap gotong royong masyarakat sebagai suatu pertumbuhan ke arah yang positif dan produktif.

Dengan demikian, tradisi dan kearifan lokal ini diharapkan menimbulkan kecintaan dan rasa bangga terhadap budayanya, sehingga rasa nasionalismenya juga semakin kuat. Disamping untuk membentuk karakter generasi muda dalam mewarisi budaya leluhurnya.