Jalan Terjal Menjadi Dokter Spesialis

Catatan Redaksi728 x Dibaca

Jakarta, Karosatuklik.com – Teguh Priyanto (45), seorang dokter spesialis dermatologi dan venereologi di Kota Semarang baru bisa bernafas lega. Setelah hampir 6 bulan mengurus perpanjangan surat tanda registrasi (STR), akhirnya ia berhasil menyelesaikan permasalahan perizinan yang turut menganggu praktiknya dalam melayani kesehatan masyarakat setempat.

Sebagai dokter yang berpraktik di tiga tempat, yaitu RSUD Wongsonegoro, RS Siloam, dan Klinik Bayi Jenius, Dokter Teguh mengalami keterbatasan waktu untuk memenuhi berbagai persyaratan yang perlu dikumpulkan untuk mengurus perpanjangan STR yang habis tahun ini.

“Pengurusan STR ribet karena syaratnya banyak. Semua sertifikat simposium, jumlah pasien, serta aksi sosial, harus terekam dan ter-upload. Itu butuh waktu,” ungkapnya kepada Beritasatu.com.

Dokter Teguh pun menyambut baik dengan segera disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. Pasalnya, salah satu transformasi yang dibawa dalam RUU yang disusun dengan metode omnibus law itu ialah terkait pengurusan STR dan Surat Izin Praktik (SIP). Nantinya proses perpanjangan STR dokter tidak perlu dilakukan setiap 5 tahun sekali, dimana dokter hanya perlu mengurus STR sekali untuk teregistrasi dan berlaku seumur hidup

“Saya setuju dengan usulan menkes bahwa STR cukup sekali seumur hidup. Ini memudahkan dokter sehingga tidak terlalu disibukkan dengan urusan perizinan. Dokter bisa fokus memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Kebutuhan untuk meningkatkan kompetensi dokter dapat dilakukan melalui pelatihan yang diwajibkan,” katanya.

Kesulitan dalam mengurus perizinan praktik kedokteran juga diakui oleh dokter Sutrisno. Dokter yang juga menjabat dekan Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) Kota Cimahi, dan Dewan Pakar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengungkap, keterbatasan akses kegiatan yang harus diikuti para dokter muda, terutama di daerah, membuat banyak dokter mengambil jalan pintas dengan menggunakan jasa calo demi mendapatkan SIP. Hal ini tentunya melanggar etika, sekaligus persoalan.

“Kalau menggunakan calo, tentunya ada biaya ekstra. Ini sebenarnya tidak benar juga ya,” katanya.

Dokter Sutrisno menjelaskan, seorang dokter harus mengumpulkan ratusan satuan kredit profesi (SKP) agar bisa mendapatkan rekomendasi dari IDI yang menjadi syarat pembuatan surat izin praktik (SIP) dari Dinas Kesehatan setempat. SKP IDI merupakan bukti keikutsertaan seorang dokter dalam Program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB).

Untuk memenuhi persyaratan ini, seorang dokter harus mengumpulkan SKP dari kegiatan klinis maupun non-klinis, seperti pengabdian masyarakat, penelitian, dan seminar.

“Rekomendasi diberikan apabila persyaratannya sudah terpenuhi. Persyaratan paling berat kan mengumpulkan SKP. Kalau enggak salah dalam lima tahun 250 SKP atau dalam setahun 50 SKP,” ungkapnya.

Kesulitan pengurusan izin praktik menjadi hambatan dalam meningkatkan jumlah dokter di Indonesia, terutama dokter spesialis. Menurut Direktur Jenderal Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan, Arianti Anaya, Indonesia masih kekurangan 30.000 dokter spesialis.

Menghambat Apoteker

Rumitnya mengurus STR dan SIP tidak hanya dialami dokter, juga apoteker. Sejumlah apoteker harus membayar calo ada dapat berpraktik. Koordinator Kesatuan Aksi Memperjuangkan Profesi Apoteker Kuat (KAMPAK), Merry Patrilinilla Chresna, menjelaskan para apoteker dipaksa bergabung dengan suatu organisasi profesi demi mendapatkan STR. Selain itu, para anggota juga harus mengeluarkan biaya saat masa pengenalan.

Untuk dapat bergabung dalam ikatan apoteker, seorang calon anggota wajib membayar uang pangkal Rp 50.000, iuran anggota tahun pertama Rp 120.000, dan biaya advokasi per tahun Rp 10.000. Selain itu, terdapat pula biaya pengembangan profesi untuk lima tahun pertama Rp 500.000, biaya sertifikasi (bobot poin 4 SKP) Rp 100.000, biaya pengenalan organisasi dan pembinaan calon anggota (POPCA) daring sebesar Rp 50.000, dan biaya layanan aplikasi untuk 3 tahun sebesar Rp 100.000. Bahkan setelah bergabung, mereka harus mematuhi aturan yang ditetapkan, terutama yang memerlukan biaya dan tidak memiliki pilihan lain.

Merry menilai izin praktik apoteker sangat rumit dan mahal. Akibatnya, banyak apoteker yang terpaksa memilih untuk tidak berpraktik atau beralih ke profesi lain, seperti membuka usaha.

Apoteker juga harus mengurus STR sebagai persyaratan untuk berpraktik. Mereka melakukan segala cara untuk mendapat STR, termasuk lewat calo.

“Dalam prosesnya, mereka meminta bantuan dari orang lain, baik sesama apoteker maupun calo. Mereka melakukan hal itu agar dapat berpraktik. Ujung-ujungnya duit semua,” kata Merry kepada Beritasatu.com.

Belum adanya undang-undang yang melindungi praktik apoteker menyebabkan kurangnya perlindungan hukum bagi apoteker dalam menjalankan profesinya. Oleh karena itu, KAMPAK mendorong agar RUU Kesehatan segera disahkan untuk mewujudkan pelayanan keapotekeran kepada masyarakat.

Transformasi Kesehatan

Transformasi penting dalam bidang kesehatan membutuhkan terobosan, khususnya menyangkut praktik perizinan kedokteran. Hal ini terkait organisasi profesi yang memiliki kekuasaan melebihi negara.

Oleh karena itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan dengan metode omnibus law diharapkan dapat memperbaiki kekurangan UU 36/2009 tentang Kesehatan, sekaligus meningkatkan pelayanan kesehatan di Indonesia.

Kurangnya tenaga dokter spesialis di berbagai daerah merupakan salah satu persoalan besar dalam dunia kesehatan nasional. Penyebabnya, proses penerbitan izin praktik yang rumit, bahkan sering diwarnai persaingan tidak sehat. Selain itu, jumlah lembaga pendidikan yang mencetak dokter spesialis juga terbatas dan membutuhkan biaya tinggi.

Melalui RUU Kesehatan, kewenangan untuk menerbitkan STR dan SIP akan menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan tanpa perlu rekomendasi organisasi profesi. Hal ini akan mempercepat penambahan jumlah dokter guna memenuhi kebutuhan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia.

Sekretaris Umum Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI), dokter Erfen Gustiawan Suwangto menyatakan RUU Kesehatan memudahkan proses mencetak dokter spesialis. Masyarakat akan lebih muda mendapat akses ke dokter dan dokter spesialis, lantaran jumlahnya lebih banyak.

Selain itu, RUU Kesehatan juga menghapus praktik pungutan liar dalam pengurusan STR dan SIP yang membebani para dokter.

Membuka Jalan Dokter Muda

Sementara itu, Jaringan Dokter Muda Indonesia (JDMI) menganggap RUU Kesehatan memiliki potensi untuk mendorong minat para dokter muda, karena dirancang untuk mempermudah pengembangan karier serta menambah perlindungan hukum.

Koordinator JDMI, dokter Koko Khomeini menjelaskan RUU Kesehatan sangat bermanfaat bagi para dokter muda. Salah satunya terkait perlindungan hukum. RUU ini menambahkan pasal-pasal perlindungan baru bagi dokter yang sedang menjalani program internship dan dokter yang sedang menempuh program spesialis.

RUU Kesehatan juga mendorong adanya pendidikan spesialis yang lebih terjangkau dan transparan yang diatur melalui pendidikan universitas dan pendidikan di rumah sakit. Hal ini akan memberikan kesempatan yang lebih luas bagi dokter muda untuk mengikuti program pendidikan lanjutan.

Selain itu, RUU Kesehatan juga mempermudah proses perizinan praktik. Dokter Koko menjelaskan bahwa dokter hanya akan membutuhkan satu izin praktik dalam jangka waktu 5 tahun dan STR yang berlaku seumur hidup.

Kehadiran UU Kesehatan yang baru diharapkan dapat mengatasi kesenjangan kesehatan antardaerah, meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan melalui penerapan standar yang lebih ketat, serta mendorong penggunaan teknologi dalam pelayanan kesehatan. Selain itu, sistem pelayanan kesehatan akan lebih transparan untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan dan kolusi.

RUU Kesehatan juga memberi kemudahan bagi warga negara Indonesia yang menempuh pendidikan kedokteran di luar negeri untuk berpraktik di Tanah Air. Selain itu, izin bagi dokter asing untuk mendampingi alih teknologi kepada dokter Indonesia juga menjadi lebih mudah.

Pemberian izin kepada dokter asing yang dikaitkan dengan liberalisasi industri kesehatan dibantah Wakil Ketua Komisi IX DPR, Melkiades Laka Lena.

“Tidak ada liberalisasi dan kapitalisasi dalam dunia kedokteran. Kami sangat membatasi kemudahan bagi dokter asing untuk berpraktik di Indonesia,” tegasnya.

Senada dengannya, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Irma Suryani Chaniago menyatakan RUU Kesehatan bertujuan memperbaiki tata kelola peraturan kesehatan secara komprehensif yang memberikan manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia. Segera sahkan RUU Kesehatan menjadi undang-undang! (Sumber: BeritaSatu)