Jakarta, Karosatuklik.com – China meminta hak kepemilikan Natuna Utara dari Indonesia. Apa pasal China meminta Natuna Utara milik Indonesia yang bukan merupakan haknya. Cuma berdasar klaim historis, China meminta sebagian ZEE Indonesia di Natuna Utara diberikan kepadanya.
Memang fakta sejarah menyebutkan dari Dinasti Han hingga Dinasti Ming, pulau Natuna berada dibawah koloni keduanya.
Dinasti Ming lah yang mengurus Natuna dengan dinamai Anbuna sebagai pulau pintu masuk ke Nusantara melalui utara.
Adalah Laksamana Cheng Ho yang mendirikan pangkalan angkatan laut di Natuna untuk mengatur hilir mudik kapal di sana.
Ketka Dinasti Ming ambruk dan digantikan Song, 300 orang dari China pengikut setia Zhang Jiexu yang merupakan klan Ming hijrah ke Natuna.
Zhang bersama pengikutnya melarikan diri ke Natuna karena semua klan Ming dibunuhi oleh Dinasti Song. Untung Song belum tahu banyak soal Natuna dan ini jadi pelarian bagi Zhang bersama 300 pengikutnya. Di Natuna, Zhang lantas mendirikan kerajaan kecil yang bisa disebut Majapahitnya dinasti Ming.
Di sana Zhang memonopoli lalu lintas laut, perdagangan ikan hingga mendirikan resort tempat isi logistik bagi kapal-kapal niaga.
Tapi sekali lagi klan Ming di Natuna harus digusur oleh bangsa barat tepatnya penjajahan Belanda.
Usai Natuna direbut Belanda maka lenyap sudah riwayat dinasti Ming hingga pulau itu jadi milik Indonesia setelah 17 Agustus 1945.
Memang sedari awal faktor sejarah digaungkan China sebagai alasan mereka mengklaim Natuna Utara.
“Dalam hal ini, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang berkomentar bahwa tidak peduli apakah pihak Indonesia menerimanya atau tidak, itu tidak dapat mengubah fakta objektif bahwa China memiliki hak dan kepentingan di perairan yang bersangkutan,” jelasnya dikutip dari 163.com pada 26 Mei 2021.
Meski demikian publik pasti merasa ada yang aneh kenapa China cuma berlandaskan faktor sejarah saja mengklaim Natuna Utara.
Media asing Eurasian Times pada 12 Februari 2022 kemudian menerangkan bahwasanya ada maksud lain menyoal klaim China di Natuna Utara.
Eurasian Times menyebut saat ini China tengah mengalami apa yang disebut ‘Peak Power Trap’
Penjelasan sederhannya ialah China saat ini tengah berada di puncak kejayaannya berkat kemajuan pesat dibidang ekonomi. Atau kasarannya ia sedang berada di puncak kariernya. Maka tak heran China akan mempertahankan performanya ini.
Tapi seperti peribahasa semakin tinggi pohon semakin kencang pula anginnya, berada di puncak kejayaan membuat China paranoid akan kegagalan dan kemunduran.
Padahal trend perekonomiannya lambat laun mulai melambat belakangan ini dan China tak mau itu terjadi.
Mereka juga mulai kehabisan sumber daya alam sehingga ingin mengambil milik negara lain demi mempertahankan perekonomiannya agar tetap jalan.
Mirip-mirip yang dilakukan AS di Timur Tengah sedari dulu.
“Peak Power Trap, mengacu pada situasi ketika kekuatan signifikan yang telah mencapai puncaknya dengan pertumbuhan dramatis, menjadi agresif terhadap negara lain ketika mulai mengalami perlambatan.
Perangkap itu terungkap ketika sebuah negara yang tidak puas mulai meningkatkan kekuatannya dan memperluas cakrawala geopolitiknya.
Namun, ketika negara seperti itu mendekati penurunan, karena alasan seperti ekonomi yang melambat atau munculnya koalisi saingan yang gigih, bangsa tersebut mengalami rasa bahaya yang akan segera terjadi.
Dalam situasi seperti itu, kekuatan revisionis dapat bertindak dengan berani, tidak menentu, dan bahkan agresif, untuk merebut apa yang dia bisa.
Logika di baliknya adalah bahwa pertumbuhan yang cepat mendukung ambisi suatu negara, meningkatkan harapan warganya dan membuat para pesaing dan tetangganya gelisah.
Kemudian, pertumbuhan mencapai puncaknya dan mulai melambat,” jelas Eurasian Times.
Oleh sebab itulah China membuat klaim Nine Dash Line sebagai penjamin jika perekonomian mereka baik dari lalu lintas perdagangan hingga mendapatkan SDA.
Tapi salahnya mereka mengklaim wilayah milik negara lain, bukan malah melakukan kerja sama.
“Ini merupakan tantangan bagi kepemimpinan negara karena semakin sulit untuk membuat publik tenang.
Secara bersamaan, tantangan ekonomi membuat negara ini rentan terhadap para pesaingnya,” jelasnya. Apalagi perekonomian Indonesia, Taiwan, Vietnam hingga India terus mengalami pertumbuhan pesat. Padahal mereka merupakan pengganjal klaim Nine Dash Line. Dan China khawatir tentang hal ini.
“Mereka mencoba untuk menjauhkan musuh geopolitik, sebagian besar melalui upaya militer. Ekspansi kemudian menjadi solusi yang layak untuk memerangi krisis sumber daya.
Karena faktor-faktor ini, dan dalam konteks khusus Tiongkok, ada kemungkinan Partai Komunis China menjadi semakin berat dalam mengamankan jalur pasokan yang panjang dan rentan.
Beijing juga dapat menjadi lebih tegas dengan negara-negara seperti Jepang, Filipina, dan negara-negara lain yang menentang klaimnya atas Laut China Selatan dan Timur.
Untuk mendapatkan keuntungan sebelum menurun, atau untuk mencegah penurunan itu, China dapat tergoda untuk menggunakan kekuatan militernya untuk menyelesaikan permasalahan Taiwan, dan mungkin Hong Kong,” katanya.
China semakin hari nampaknya melemah, sedangkan Indonesia bertambah kuat.
Perbedaan Indonesia jadi kuat karena cita-cita luhur menegakkan kedaulatannya sedangkan China kuat lantaran ingin merebut Natuna Utara. (R1/ZJ)