Korupsi Pajak Berjemaah, Sri Mulyani Diminta Tanggung Jawab

Nasional1982 x Dibaca

Jakarta, Karosatuklik.com – Kasus dugaan sindikat korupsi pajak Rafael Alun Trisambodo (RAT) ditengarai hanya merupakan puncak gunung es. RAT dinilai tak bisa melakukannya sendirian. Karena itu, Dirjen Pajak Suryo Utomo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati wajib diselidiki.

“Kasus Rafael Alun hanya puncak gunung es. Rafael Alun tidak bisa bekerja sendiri atau hanya dengan beberapa pegawai pajak saja. Seluruh Tim pemeriksa dan kasubdit wajib diselidiki. Termasuk sampai ke atasannya yang tertinggi, yaitu Dirjen Pajak dan Menteri Keuangan,” kata Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) di Jakarta, Rabu (8/3/2023).

Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), Rabu (8/3/2023) membocorkan laporan Rp300 triliun transaksi mencurigakan di lingkungan Kemenkeu.

Menurutnya, bukan saja di Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai juga wajib diselidiki. “Menurut info yang beredar di media sosial, kepala Bea Cukai Jogja juga mempunyai kekayaan fantastis, sampai ada pesawat pribadi. Apakah benar? Wajib diusut!” timpal dia.

Anthony mendesak agar Menteri Keuangan bertanggung jawab atas korupsi kolektif pajak tersebut. Bukan hanya pegawai pajak, tapi juga perusahaan penyuap yang tidak tersentuh hukum.

Ia mencontohkan hasil pemeriksaan Tim Pemeriksa Direktorat Jenderal Pajak (DJP), PT Bank Pan Indonesia Tbk (Bank Panin) yang harus membayar pajak tahun 2016 sebesar Rp926,26 miliar. Tetapi, Bank Panin sepertinya ‘keberatan’ alias tidak mau bayar semua (hanya sebagian) kewajibannya.

Bank Panin, sambung Anthony, mengutus seseorang bernama Veronika, pihak ketiga, untuk negosiasi dengan petugas pajak. Veronika minta kewajiban pajak Bank Panin diturunkan menjadi sekitar Rp300 miliar, dan berjanji akan memberikan fee kepada tim pajak sebesar Rp25 miliar.

Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ketika itu, Angin Prayitno Aji, menyetujui negosiasi tersebut. Angin Prayitno juga membuat ‘kebijakan’ untuk bagi-bagi hasil korupsi dari pemeriksaan pajak.

Angin meminta kepada para supervisor tim pemeriksa pajak agar pada saat melaporkan hasil pemeriksaan sekaligus juga melaporkan fee untuk pejabat struktural (direktur dan kasubdit) serta untuk jatah tim pemeriksa pajak.

Pembagiannya, 50 persen untuk pejabat struktural yang terdiri atas direktur dan kepala subdirektorat, sedangkan 50 persen untuk jatah tim pemeriksa.

“Artinya, korupsi pajak tidak dilakukan oleh satu tim pemeriksa saja, tetapi dilakukan bersama-sama, secara institusi. Hasil korupsi pajak kemudian dibagi-bagi kepada banyak pihak di internal DJP, korupsi berjamaah?” timpal Anthony.

Karena itu, dia mengaku tidak heran dengan banyaknya pegawai pajak yang mempunyai gaya hidup mewah lantaran hasil dari korupsi pajak kolektif.

“Ini melibatkan semua tim pemeriksa dan kepala subdirektorat, di bawah naungan Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, atau bahkan DJP? Setelah uang korupsi dibagi-bagi, apakah tidak ada yang mengalir ke atas? Atau yang di atas pura-pura tidak tahu ada bagi-bagi uang korupsi?” tukasnya.

Singka cerita Angin Prayitno dan dua pegawai pajak lainnya tertangkap KPK bersama penyuap Veronika. Kerugian negara mencapai Rp600 miliar hanya untuk satu kasus, PT Bank Panin. Angin Prayitno juga terlibat kasus suap pajak lainnya.

Sementara penyuap Veronika hanya dihukum 2 tahun penjara dan denda Rp100 juta (subsider 3 bulan kurungan). “Hukuman ini relatif sangat ringan. Tidak akan menimbulkan efek jera,” ucap Anthony.

Sedangkan pihak perusahaan penyuap yang bertanggung jawab, misalnya direksi Bank Panin, tidak tersentuh hukum.

Korupsi pajak kolektif juga dapat dibuktikan pada kasus Gayus Tambunan pada 2010-2011. “Tak kurang ada 27 nama yang terseret kasus Gayus dan menegaskan banyaknya pegawai pajak di DJP yang terlibat korupsi pajak,” imbuhnya. (Inilah.com)