Jakarta, Karosatuklik.com – Perjalanan sepak bola Indonesia telah dimulai berpuluh-puluh tahun lamanya, bahkan Soeratin sudah memulai langkahnya sejak era penjajah.
Namun, kompetisi sepak bola ‘modern’ dan non-amatir baru ada pada akhir 1970-an. Kompetisi itu disebut Galatama, atau Liga Sepak bola Utama.
Ada pun definisi modern dan profesional terletak pada pengelolaan kompetisi dan klub-klub pesertanya. Kompetisi sepak bola yang baik tak bisa lepas dari faktor industri sepak bola itu sendiri.
Kompetisi harus berjenjang dan berkelanjutan serta bisa menjual.
Klub-klubnya pun harus mandiri secara finansial, memiliki struktur organisasi yang jelas, dan berjenjang. Klub profesional tidak diperbolehkan menggunakan anggaran daerah atau negara.
Oleh karena itu, pengelolaan klub selayaknya berorientasi pada keuntungan dan prestasi, sama seperti perusahaan pada umumnya.
“Untuk mengatur nasib sendiri, Liga Utama telah menyiapkan anggaran dasar dan anggaran rumahtangga sendiri.
Yang menarik dari anggaran rumahtangga itu adalah dicantumkannya secara terang-terangan adanya status profesional bagi pemain yang tergabung dalam Liga Utama.
Selama ini ada semacam ketakutan terhadap kata tersebut. ‘Padahal dalam praktiknya mereka sudah profesional,’ kata T.D. Pardede, bos Klub Pardedetex,” tulis artikel di Majalah Tempo terbitan 19 Juni 1982.
Sebelum era Galatama, sudah ada kompetisi sepak bola amatir yang dikenal dengan era Perserikatan.
Bond-bond ternama bermunculan seperti Persija Jakarta, Persebaya Surabaya, PSIM Mataram, Persib Bandung, hingga PSKK Kupang.
Pada perjalanannya, Perserikatan yang sudah melekat dengan rakyat, meski pun berstatus liga amatir, memiliki penikmat yang luar biasa.
Sebab, ada kesan local pride yang mewakili daerah tertentu. Persib misalnya, dinilai mewakili warga Bandung, bahkan cenderung ‘klubnya Jawa Barat’. Kecenderungan serupa juga terjadi di klub Perserikatan lainnya.
Sementara Galatama, meski rapi dan lebih modern pada masanya, terbilang sepi penonton. Artinya, tidak ada fanatisme dan rasa kepemilikan dari orang-orang di mana klub Galatama itu berada.
Beberapa klub Galatama masih eksis hingga kini, sebut saja Arema dan Semen Padang.
Pada 1975, PSSI selaku induk sepak bola Indonesia tengah disibukkan dengan persiapan Turnamen Piala Ratu atau Queens Cup di Thailand.
Mencoba pragmatis, PSSI lalu berencana menggelar turnamen antarklub yang pesertanya berasal dari lima kota besar Tanah Air, seperti Jakarta, Bandung, Makassar, Surabaya, dan Medan.
PSSI, pada 30 Agustus – 4 September 1975, akhirnya menggelar turnamen yang diikuti oleh Bintang Utara (anggota PSMS Medan), Jayakarta (Persija), UNI (Persib), Blitar Putra (PSBI Blitar), Assyabaab (Persebaya), dan PSAD (PSM Makassar). Jayakarta menjuarai turnamen tersebut dan mendapat piala bergilir dari Ketum PSSI saat itu, Bardosono.
Kita belum bisa memastikan apakah turnamen yang kelak diubah menjadi Kejurnas Antarklub Amatir Perserikatan (lalu dikenal dengan mana Galatama) itu ditetapkan pada 1979 atau 1980.
Yang jelas, untuk mengikuti Galatama, klub-klub amatir harus menjadi klub profesional.
Beberapa klub lantas mengubah namanya. UNI misalnya, mengubah nama menjadi Bandung Raya. Ini dilakukan agar tidak ada kebingungan mana UNI yang amatir, mana UNI yang profesional.
Dalam kasus lain, pada Galatama edisi pertama yang dihelat pada 1979-1980, muncul Sari Bumi Raya. Media lokal Bandung menulisnya Sari Bumi Raya 1979. Sebab, ada Sari Bumi Raya amatir yang sudah ada sejak 1976.
Pada 23 Maret 1976, Bardosono menyatakan bahwa PSSI akan menelurkan klub-klub profesional di Indonesia. Lima bulan berselang, tepatnya 15 Agustus, Bardosono meresmikan delapan klub profesional pertama di Indonesia pada upacara peresmian di kantor PSSI, Senayan, Jakarta.
Delapan klub itu adalah:
- Pardedetex (Medan)
- Bangka Putra (Sungailiat, Bangka)
- Jayakarta (Jakarta)
- Buana Putra (Jakarta)
- Tunas Jaya (Jakarta)
- Warna Agung (Jakarta)
- Palu Putra (Palu)
- Beringin Putra (Makassar)
Menariknya, pemain-pemain di delapan klub tersebut harus menunggu setahun lamanya sebelum mendapat predikat pemain profesional.
Pada 15 Oktober 1975, setelah PON IX/1977, Bardosono, melalui Direktur Kompetisi, Soebronto, diminta untuk mengesahkan hal tersebut.
Akan tetapi, Ali Sadikin yang terpilih sebagai ketua umum PSSI periode 1977-1981, dalam sebuah Kongres Luar Biasa (KLB) batal mengesahkan status pemain profesional.
Alasannya, Ali melihat pelaksanaan kompetisi profesional di Indonesia terlalu tergesa-gesa. Selain itu, dinilainya rencana pembentukan kompetisi yang kelak bernama Galatama itu mengindahkan garis birokrasi.
Seharusnya, hal itu dibicarakan lebih dulu dengan KONI Pusat dan Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Olahraga Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Lalu, pada 1978, PSSI dalam Sidang Paripurna Pengurus membentuk prorgam Gala, yakni Galatama, Galasiswa, Galakarya, dan Galanita.
Pada kurun waktu 1976 hingga 1979, klub-klub profesional itu sudah melangsungkan banyak pertandingan meski belum ada wadah kompetisi profesionalnya.
Tahun 1977 misalnya, ada laga antara Pardedetex kontra Warna Agung di Stadion Teladan, Medan. Laga itu disebut-sebut sebagai pembukaan liga sepak bola profesional.
Galatama lantas terselenggara pada 1979. Ketika itu, baru ada delapan klub yang mengikuti Galatama edisi pertama. Galatama dianggap sebagai kompetisi sepak bola profesional pertama bersama Liga Hong Kong.
Bahkan, Jepang yang memiliki J-League disebut-sebut belajar pada kompetisi Galatama.
Klub-klub Galatama juga sempat mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional. Kramayudha Tiga Berlian pernah menjadi juara tiga Liga Champions Asia.
Pelita Jaya, Pupuk Kaltim, dan Semen Padang juga serupa. Pelita Jaya dan Pupuk Kaltim misalnya pernah melaju hingga empat besar Liga Champions Asia.
Pro Kontra Penggabungan Galatama dengan Perserikatan
Meski banyak klub Galatama meraih prestasi membanggakan di pentas internasional, selama 13 musim penyelenggaraan, kompetisi ini tetap tak bisa menyamai popularitas kompetisi perserikatan.
PSSI lalu memutuskan untuk menggabungkan keduanya menjadi Liga Indonesia (Ligina) pada 1994-1995.
Ada beberapa pro dan kontra terkait penggabungan ini. Perserikatan yang dianggap lebih menyedot animo masa namun pengelolaannya tidak profesional, digabung dengan Galatama yang punya nasib sebaliknya, minim fanatisme namun digarap secara profesional.
Ketua Umum PSSI ketika itu, Azwar Anas, diterpa banyak isu tak sedap, mulai dari jalan pintas menyelamatkan muka Perserikatan.
Namun, ia tetap bergeming dan melanjutkan proyek Ligina yang sebetulnya belum matang-matang amat.
Klub-klub Perserikatan ‘dipaksa’ menjadi klub profesional dengan tempo yang relatif sangat singkat. Padahal, untuk menuju ke sana tidaklah mudah meski tim-tim Perserikatan sudah memiliki pondasi profesional.
Misalnya, tim Perserikatan adalah produk dari kompetisi internal yang ada di daerah masing-masing. Pembinaan pemain muda juga berjalan.
Daftar Juara dan Pencetak Gol di Galatama
- 1979–80, Warna Agung
- 1980–82, Niac Mitra
- 1982–83, Niac Mitra
- 1983–84, Yanita Utama
- 1984, Yanita Utama
- 1985, Krama Yudha
- 1986–87, Krama Yudha
- 1987–88, Niac Mitra
- 1988–89, Pelita Jaya
- 1990, Pelita Jaya
- 1990–92, Arseto
- 1992–93, Arema
- 1993–94, Pelita Jaya
Top Scorer
- 1979–80, Hadi Ismanto, Indonesia Muda, 22
- 1980–82, Syamsul Arifin, Niac Mitra, 30
- 1982–83, Dede Sulaeman, Indonesia Muda, 17
- 1983–84, Bambang Nurdiansyah, Mercu Buana, 16
- 1984, Bambang Nurdiansyah, Yanita Utama, 13
- 1985, Bambang Nurdiansyah, Krama Yudha, 9
- 1986–87, Ricky Yacob, Arseto, 9
- 1987–88, Nasrul Koto, Arseto, 16
- 1988–89, Mecky Tata- Dadang Kurnia, Arema-Bandung Raya, 18
- 1990, Ricky Yacob, Arseto, tidak diketahui
- 1990–92, Singgih Pitono, Arema, 21
- 1992–93, Singgih Pitono, 16
- 1993–94, Ansyari Lubis, Pelita Jaya, 19
Klub Peserta Galatama dari Tahun ke Tahun
- Aceh Putra (Lhokseumawe, Aceh) 1990-1994
- Pardedetex (Medan) 1979-1984
- Mercu Buana (Medan) 1980-1984
- Medan Jaya (Medan) 1987-1994
- Semen Padang (Padang) 1983-1994
- Pusri Palembang (Palembang) 1987-1989
- Jaka Utama Lampung/Yanita Utama (1983)
- Tiga Berlian (1985) Krama Yudha Tiga Berlian (1986), (1979 Lampung,1983 Bogor,1986 Palembang,1990 Bekasi) 1979-1991
- Lampung Putra (Lampung) 1987-1989
- Warna Agung (Jakarta) 1979-1994
- Jayakarta (Jakarta) 1979-1982
- Indonesia Muda (Jakarta) 1979-1984
- BBSA (Bangka Billiton Sports Association) Tama (Jakarta) 1979/1980 1 musim
- Buana Putra (Jakarta) 1979-1982
- Cahaya Kita (Jakarta) 1979-1982
- Tunas Inti (Jakarta) 1979-1987
- Angkasa (Jakarta) 1980-1984
- UMS ’80 (Jakarta) 1980-1984
- Arseto (1979 Jakarta, 1983 Solo/Surakarta ) 1979-1994
- Pelita Jaya (Jakarta) 1986-1994
- Perkesa ’78/Perkesa Mataram(1987)/Mataram Putra(1992)(1979 Bogor, 1980 Sidoarjo,1987 Yogyakarta) 1979-1994
- Sari Bumi Raya (1979 Bandung, 1980 Yogyakarta) 1979-1984
- Tempo Utama (Bandung) 1983/84 1 musim
- Bandung Raya (Bandung) 1987-1994
- Bintang Timur (Cirebon) 1980-1983
- Tidar Sakti (Magelang) 1979-1982
- Gajah Mungkur Muria Tama (Kudus) 1990-1992 1 musim
- B.P.D. Jateng (Semarang) 1988-1994
- Niac Mitra/Mitra Surabaya(1990) (Surabaya) 1979-1994
- ASGG Assyabaab Salim Grup Galatama/1992 ASGS (Surabaya) 1990-1994
- Petrokimia Putra (Gresik) 1988-1994
- Arema (Malang) 1987-1994
- Bentoel Galatama (Jember) 1990/1992 1 musim
- Caprina (Denpasar) 1983/84 1 musim
- Bali Yudha (Denpasar) 1984 1 musim
- Gelora Dewata (Denpasar) 1990-1994
- Barito Putra (Banjarmasin) 1988-1994
- Pupuk Kaltim (Bontang) 1989-1994
- Putra Mahakam/1993, Putra Samarinda (Samarinda) 1990-1994
- Makassar Utama (Makassar) 1980-1989
- Bima Kencana (Makassar) 1983/84 1 musim
- Palu Putra(Palu) 1987-1989
- BPD Jateng (Semarang) 1988-1994
Galatama Mulai Rontok
Sejak penggabungan kompetisi Perserikatan dan Galatama pada 1994, terjadilah seleksi alam di sepak bola Indonesia. Satu per satu klub eks Galatama mulai rontok.
Ada yang bubar ketika Galatama masih aktif, ada pula yang baru dibubarkan pasca berakhirnya Galatama. Beberapa klub Galatama masih bertahan, namun hanya sedikit saja yang mampu menjaga eksistensi.
Di Shopee Liga 1 2020 misalnya, hanya ada Arema FC dan Barito Putera yang masih bertahan.
Madura United memang bermula dari Pelita Jaya, namun secara struktur klub, Madura United adalah Madura United.
Sama dengan Bali United yang semula adalah Putra Samarinda. Putra Samarinda lantas mereker dengan tim Persisam Samarinda pada 2002-2003, lalu pada 2009 menjadi Persisam Putra Samarinda.
Masalah klasik, yakni finansial, akhirnya membuat Herbiansyah Hanafiah melegonya ke pengusaha muda, Yabes Tanuri.
Tanuri lantas mengubah klub menjadi Bali United Pusam dan memindahkan lokasi ke Gianyar Bali. Pasalnya, suporter Putra Samarinda memilih lari ke klub baru, Pusamania Borneo FC.
Selain dua klub tersebut, masih ada Semen Padang, tim kebanggaan warga Padang yang kini bermain di Liga 2.
Klub asal Sumatera Barat yang berdiri pada 30 November 1980 ditopang BUMN, PT Semen Padang. Pencapaian tertinggi klub berjulukan Tim Kabau Sirah adalah menjadi juara Galatama 1 (kasta kedua) pada 1982.
Di era Liga Indonesia, Semen Padang mengalami pasang-surut prestasi. Pada musim 2008-2009 (musim pertama penggunaan nama ISL), klub dengan kostum kebanggaan warna Merah tersebut merasakan pahitnya degradasi ke Divisi Utama.
Namun, dengan kegigihan dan konsistensi pembinaan, Pasukan Urang Awak kembali ke kompetisi kasta utama pada musim 2009-2010.
Pada musim pertamanya di ISL Semen Padang langsung menghentak dengan menduduki posisi empat besar 2010-2011.
Saat prahara dualisme kompetisi mengguncang sepak bola nasional 2011, Semen Padang memilih keluar dari ISL.
Mereka ikut kompetisi baru garapan PSSI, Indonesia Primer League. Sementara itu, ISL berjalan di luar payung PSSI.
Pada musim 2012 Semen Padang jadi kampiun IPL. Pencapaian ini jadi tertinggi bagi Tim Kabau Sirah sepanjang sejarah.
Pasca rekonsiliasi PSSI di tahun 2013, Semen Padang kembali berkiprah di ISL, yang kembali diakui sebagai kompetisi resmi PSSI.
Di ISL 2014 mereka finis di urutan ketiga klasemen akhir wilayah barat musim 2014 di bawah Arema Cronus dan Persib Bandung.
Sayang, meski lolos ke babak 8 besar, Semen Padang gagal menyentuh semifinal.
Semen Padang yang dilatih Jafri Sastra, yang di penyisihan babak 8 besar tergabung dalam grup 1, hanya mampu merebut posisi ketiga di bawah Persipura Jayapura dan Arema Cronus. Hanya dua besar dari grup 1 dan 2 yang lolos ke empat besar.
Terlepas dari semua itu, Semen Padang layak berbangga. Mereka sedikit klub di Indonesia yang memiliki fasilitas latihan dan mes sendiri.
Mereka memiliki akademi pembinaan usia dini berjenjang yang banyak melahirkan pesepak bola berbakat.
Nasib serupa dijumpai Mitra Kukar, klub kaya raya asal Kutai. Mereka kini bermain di Liga 2 usai terdegradasi pada Liga 1 2018. (yahooberita)