Jakarta, Karosatuklik.com – Pandemi diindonesia sudah mendekati hari ulangtahunnya, artinya satu tahun sudah masyarakat Indonesia hidup dalam serba terbatas. perekonomian menurun, proses pendidikan terhambat, kantor-kantor sepi, namun rupanya kantor Pengadilan Agama tidak pernah mengalami sepi pengunjung.
Pengajuan perceraian terus meningkat. Akibatnya banyak perempuan-perempuan muda yang menjadi kepala keluarga.
Rupanya, ini bagian dari dampak pernikahan dini yang masih banyak terjadi dimasyarakat, banyaknya orang yang menikah padahal belum matang secara mental dan pengetahuan untuk mengarungi bahtera rumah tangga sehingga ketika dihadapkan pemasalahan dalam rumah tangga, seperti permasalahan ekonomi, yang menjadi rata-rata alasan perceraian, maka keputusan berpisah dijadikan sebuah solusi.
Mirisnya, diantara perempuan-perempuan yang menjadi kepala keluarga ini adalah perempuan muda, bahkan tak sedikit yang seharusnya masih di usia pendidikan.
Menyandang status janda muda sepertinya tidaklah mudah. karena beban menjadi berkali-kali lipat.
Selain harus menghidupi keluarga, membesarkan dan mendidik anak, mereka juga harus memikul beban ketidak adilan sosial di masyarakat.
Sebab, kata janda selalu menjadi kata dengan konotasi yang negative.
Berbeda dengan laki-laki yang berstatus duda yang padahal duda ataupun janda memiliki arti yang serupa, yaitu orang yang sudah tidak memiliki istri/suami. kendati demikian, dalam realitasnya status duda lebih bernilai positif dibandingkan status janda.
Hal ini bisa jadi bukti, bahwa budaya patriarki masih melekat dimasyarakat kita, dimana perempuan masih dipandang sebatas fisik, dan janda dianggap tidak memiliki nilai tawar lain selain selain tubuh dan seksualitasnya. Ibaratnya perempuan yang sudah tidak bersuami menjadi buangan pria yang nilainya begitu rendah.
Emansipasi wanita yang digaungkan sejak puluhan tahun yang lalu, belum sepenuhnya berhasil. seharusnya ini menjadi perhatian pemerintah, membangun nilai-nilai yang setara anatara laki-laki dan perempuan dalam mendapatkan hak, kesempatan dan penghargaan.
Membuka kesempatan yang sama untuk berkontribusi dalam masyarakat, entah itu dibidang ekonomi, politik ataupun pendidikan.
Jika dalam budaya patriarki peran domestik adalah kodrat perempuan dan menjadikannya kelas kedua, maka pemerintah bisa menghilangkan subordinasi terhadap perempuan tersebut salah satu contohnya dengan menetapkan gajih PRT dan Pengasuh Anak dengan ketentuan diatas UMK/UMR.
Dengan begitu sekalipun perempuan sudah tidak bersuami tetap terhormat, karena memiliki nilai jual dengan kepandaiannya dalam mengurus pekerjaan domestik, apalagi mendidik anak adalah hal yang sangat mulia. (xnews.id)