Modus Baru Peredaran Obat Keras, Libatkan Oknum Asisten Dokter hingga Pegawai Apotek

Nasional1060 x Dibaca

Jakarta, Karosatuklik.com – Polda Metro Jaya membongkar modus baru kasus peredaran obat keras atau obat daftar G di wilayah hukumnya. Yakni dengan melibatkan oknum tenaga kesehatan (nakes).

“Dalam hal ini adalah asisten dokter, asisten apoteker maupun pedagang obat yang dilakukan melawan hukum, ” kata Dirreskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Ade Safri Simanjuntak, Selasa (22/8/2023).

Modus kedua adalah, oknum nakes terdaftar yang membuat resep obat. Namun tidak memiliki izin praktik dan tidak sesuai dengan kompetensinya.

“Selanjutnya, modus lainnya adalah oknum karyawan apotek, membuat resep obat namun tidak terdaftar sebagai tenaga kesehatan dan tidak memiliki izin praktik, ” ucapnya.

Ade menjelaskan selain modus baru tersebut, sebelumnya Polda Metro Jaya telah melakukan ungkap kasus lainnya dengan modus operandi yang telah diungkap.

“Yaitu melalui pabrikan atau pabrik yang tidak sesuai ketentuan, kemudian impor, yang kemudian diperdagangkan dan diedarkan di Indonesia tanpa izin resmi dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) dan terakhir adalah rekayasa kemasan, ” katanya.

Kemudian Ade menjelaskan untuk jumlah tersangka yang telah diamankan dalam kasus peredaran obat keras tanpa izin sebanyak 26 tersangka dari 24 lokasi di wilayah Jakarta, Depok, dan Bekasi pada periode Januari-Agustus 2023.

“Dari 26 tersangka yang merupakan tenaga kesehatan ada empat orang yang berprofesi sebagai nakes (tenaga kesehatan),” ucapnya.

Ade juga menyebutkan, sejak periode Januari-Agustus 2023, Polda Metro Jaya telah menyita 231.662 butir obat keras seperti Tramadol, Hexymer dan Alprazolam.

Kasus peredaran obat keras ini terbongkar karena berkaitan dengan aksi premanisme dan tawuran yang sering terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya.

“Karena obat obat yang dimaksud mempunyai beberapa efek. Baik efek psikomotorik, pengaruh psikologis maupun resiko overdosis apabila digunakan dalam jangka panjang, ” ucapnya.

Para tersangka dikenakan Pasal 196 jo Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 60 angka 10 jo angka 4 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Atas Perubahan Pasal 197 jo Pasal 106 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

“Dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak Rp1,5 miliar, ” kata Ade Safri. (Antara)