Mulihlah kena bage nina rusur
mulih me aku ningku ngaloisa
Tapi turang
gundari tading kune-kunena
(Jusup Sitepu – Yogjakarta)
Demikianlah sebait syair lagu bertajuk “Yogjakarta” yang pernah sangat populer di masyarakat Karo. Tahun 70-an hingga 80-an, seluruh warga Karo dijamin pasti mengenalnya.
Kontemplasi penciptaannya untuk blantika musik tidak hanya mewarnai ranah seni suara di Tanah Karo, tetapi juga memberi inspirasi abadi sampai kini.
“The Giant Group” adalah nama bendera kelompok musik Jusup Sitepu dalam mengitari berbagai arena hiburan. Personel grup ini yakni, Jusup Sitepu (vokal dan melodi gitar), Akum Tarigan (bass), Fransius Surbakti (Rithem), Metehsa Surbakti (drum), Elia Rosa br Bangun dan Karolina br Purba (vokal) dan Riwanda Sebayang sebagai MC.
Tahun 1977, “The Giant Group Band” sempat tampil di panggung hiburan rakyat (PHR) Pancur Gading di Desa Sidomulyo Pasar I, Kecamatan Biru-biru sekira 4 kilometer dari kota kecil Delitua ke arah Selatan.
Sejak sore, saya sudah bersiap untuk menyaksikan pertunjukannya, namun tiba-tiba sesorang menyapa dan menanyakan rencana ini. Singkatnya, dialog kami membuat keinginan saya makin memuncak di ubun – ubun sesegera mungkin menikmati sajian kelompok musik bertalenta tersebut.
“Masa kau tonton musik keteng – keteng,” ujar seseorang kepada saya, sembari menjelaskan kualitas musik yang bakal ditonton dengan memberi bandingan dengan alat musik tradisional Karo yakni keteng – keteng.
Lagu-lagu yang dilantunkan kelompok musik ini memang menggunakan judul yang unik dan bahkan sangat kondisional di masyarakat saat itu.
Misalnya, Yogjakarta, Magdalena, Haranggaol, Lawes Erlajang, Dareh Tinggi, Aku Tanggung Jawabna, Salam, Surat Undangen, Sura-Surandu Sura-Surangku, Muas Teruh Sampuren atau Terdaram – Daram.
Tema dan pesan lagu – lagu ini umumnya berkisar pada cinta, duka atau gembira dibalut dengan syair sederhana, komposisi dan alur musik yang mudah di tebak tata gramatika dan idiomnya.Tidak kalah uniknya susunan, struktur harmoni, ide garapan dan perhitungan nilai matematis dan struktur rancangan bangunannya.
Perspektif pecinta musik memang tidak mungkin bisa disamakan dalam menyimak sebuah karya seni musik. Bahwa, saat diklasifikasikan mirip “keteng – keteng” tidak perlu di bantah atau di setujui.
Namun, dalam keterbatasan sarana dan prasarana instrumen musik, minimnya referensi dan usia masih terpaut 22 tahun maka sangat arif menyebut Jusup Sitepu,TIDAK “tading kune-kunena” (tinggal kenangan).
Seandainya, ia sezaman dengan gitaris mancanegara Michael Angelo Batio, maka tidak tertutup kemungkinan karakter petikan gitar mereka di mungkinkan rada mirip. Jusup Sitepu selalu bermain gitar tanpa menekan fret atau sering disebut open string.
Teknik Slide yang kondang sekarang ini sudah menjadi kebiasan pria gondrong kelahiran Desa Batukarang 25 Desember 1947, putra pasangan Mangsi Sitepu dan Tandangen Br Perangin-angin tersebut. Teknik apa itu ?
Jemari Jusup Sitepu memencet snar gitar pada not tertentu dan begerak cepat dari fret satu ke fret lainnya. Selalu ‘mbercit’ atau lincah dalam progres pemilihan nada, baik ke arah maju atau mundur pada neck gitarnya.
Teknik ini dikenal dengan ascending slide atau descending slide. Kini, gitaris – gitaris dunia banyak memainkan teknik – teknik demikian guna pemilihan nada serta gaya manggung. Kemampuan ini semakin disempurnakan dengan talenta seniman fenomenal dan legendaris, Jusup Sitepu dalam olah vokal sekaligus menciptakan lagu.
Tahun 90-an merupakan akhir karir sang maestro gitar Jusup Sitepu. Album berbahasa Indonesia yang merupakan terjemahan lagu ciptaannya mendapat tempat di hati penikmat musik termasuk di luar komunitasnya.
Catatan yang ada, lagu bertajuk Ole ole dan Magdalena diantara lagu yang kondang di dalam album itu.
Dinihari 24 November 1997, Jusuf Sitepu meninggalkan semua karya serta jalan panjang yang dilaluinya dengan menghadap kepada “Sang Pemilik Nada”, Tuhan Yang Maha Esa.
Anak bungsu dari tiga bersaudara ini menyisakan kesan dan kenangan abadi bagi dunia seni di Bumi Turang dengan menempa generasi artis beken Karo seperti Ulina Br Ginting, Bahagia Surbakti, Elia Rosa Br Bangun, Ermawati Br Karo, Rusti Br Sembiring, dan putrinya Mery Susanna Br Sitepu.
“Berbahagialah dengan ketiadaanmu,” ini konon pesan yang terngiang abadi bagi rekan – rekan dekatnya.
Mengabadikan
La tading kune-kunena (bukan tinggal kenangan) melainkan terjadi revitalisasi semangat dan inspirasi pasca kepergian Sang Legend Jusup Sitepu. Pekan lalu, sejumlah tokoh di Batukarang Tanah Karo menyatukan semangat untuk mendirikan monumen seniman sejati ini.
Memang, semangat yang sama pernah juga dikemas oleh para tokoh namun kali ini tampaknya lebih berkemajuan. Peran serta warga Karo dan panitia, mengerucut dalam mendukung suksesnya pembangunan secara terbuka dan dalam konteks kekeluargaan.
Panitia menterjemahkan kedalam wujud apresiasi dan pengakuan karya besar seniman. Sekaligus ungkapan terimakasih lagu “O Batukarang,..” yang pernah dikumandangkan Jusuf Sitepu tahun 70-an.
Hal ini dibuktikan dengan ditayangkannya secara live acara sehari ini melalui media sosial untuk konsumsi masyarakat secara lokal dan global.
Sebagai asset budaya Karo, maka program pembangunan monumental tersebut selayaknya menyita perhatian seluruh elemen terkait. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Karo misalnya, rasanya tidak elok manakala hanya berperan sebatas dukungan formalitas.
Sewajarnya atensi dukungan dengan anggaran dana dan semestinya proyeksi yang boleh diusulkan ke DPRD Karo serta direalisasikan kelak. Sebab dari keberadaan monumen ini, nantinya menorehkan kesan abadi bahwa pemerintah kabupaten sangat empati dengan kehidupan seni budaya warganya.
Sehingga pada waktunya, monumen itu bisa dikemas sebagai ikon wisata seniman, hal yang sama telah duluan dilakukan pemerintah dan pelaku seni di daerah-daerah lain, diantaranya Yogyakarta. Menghargai karya dan sosok seniman lokal mereka dalam bentuk objek wisata. Tidak salah, hal yang baik juga patut ditiru oleh Pemkab Karo.
Misalnya, di kawasan titik nol kilometer Yogyakarta, beberapa patung menghiasi titik-titik tertentu. Itulah arti penting seni untuk sebuah kota yang pada akhirnya menjadi daya tarik wisatawan datang berkunjung.
Ole – ole
Inspirasi yang mencuat dari karya kreatif Jusup Sitepu juga sangat dirasakan sekelompok anak muda yang berkibar lewat bendera Mejile Family.
Kelompok rapper kondang tersebut tergoda dengan tembang bertajuk Ole-ole sertan segala kemungkinannya.Bagi mereka dinamika nada, genre serta alternatif kemasan keberlanjutannya, menjadi pertimbangan untuk di re- produksi.
Anak – anak muda ini, Aldo,Yoka, Wisnu Bangun, Emady Bangun, Gean, Jeremy menggandeng vokalis perempuan terdepan versi tayangan Youtube, Intan Br Ginting.
Garapan mereka, menawarkan sajian berbeda memperkokoh kekondangan Jusup Sitepu bersama suguhan materi yang berwarna.
Bagi Wisnu Bangun DKK, karya seni tidak akan lapuk diterpa hujan dan tidak lekang tertimpa terik mentari, sebagaimana wujud Ole-ole sejak lahir sampai kini. Setidaknya kalangan milenial bakal memiliki referensi baru dalam memuaskan dahaga mereka dengan konsep musik serba lengkap ini.
Syair lagu Yogjakarta di bait, ‘mulihlah kena bage nina rusur / mulih me aku ningku ngaloisa / tapi turang / gundari tading kune-kunena’ akan berubah pada bagian akhir ‘gundari (lanai) tading kune – kunena’. Karya Jusup Sitepu is never die. (Jenda Bangun, Budayawan dan Jurnalis Senior)