Kabanjahe, Karosatuklik.com – Berita duka pagi ini, Pastor Leo Joosten, OFM.Cap dikabarkan berpulang setelah berjuang melawan sakit di RS Elisabeth Medan, Minggu (28/2/2021) Misionaris Belanda yang spirit ke-Karoan-nya tidak diragukan, sehingga dicintai dan dihormati masyarakat Karo dan Katolik Batak pada umumnya itu berpulang dalam usia 78 tahun.
Pastor Leo yang oleh masyarakat Karo diberi merga Ginting, adalah satu dari sedikit Pastor yang peduli dengan kebudayaan.
Berkat jasanya, upaya pelestarian budaya Karo bisa sedikit mengimbangi kerasnya arus exodus pengabaian budaya lokal. Berkat kearifannya, misi keagamaan dapat beriringan dengan pelestarian budaya warisan maha karya leluhur suku Karo yang sejatinya menyimpan banyak keagungan luhur.
Penghormatannya pada budaya lokal mewujud pada gaya inkulturasi gereja Katolik di mana ia bertugas. Di tempat ia bertugas, pembangunan gereja ia sesuaikan sungguh dengan arsitektur dan kearifan lokal.
Mulai dari gereja Katolik di Pangururan di Kabupaten Samosir hingga gereja Katolik di Berastagi Kabupaten Karo.
Pria kelahiran Nederwetten, Belanda yang sejak 1994 menjadi WNI itu mewariskan keagungan. Keagungan budaya yang akan disaksikan banyak generasi lewat indahnya arsitektur dan simbol budaya leluhur mereka di rumah ibadah.
Keagungan budaya dia suntik agar kelak tetap lestari dan membumi sepanjang masa. Membuat banyak generasi muda dapat menaruh hormat pada budaya mereka sendiri meski setiap waktu kian tergerus.
Sungguh mulia napak tilas Pastor Leo juga menghasilkan banyak karya buku yang kebanyakan adalah soal budaya. Termasuk kamus budaya Indonesia-Karo yang di susunnya pada 2006 silam.
Sebuah usaha yang bahkan kala itu, dari kalangan masyarakat Karo sendiri belum banyak yang memperhatikan urgensinya untuk pelestarian bahasa dan budaya sebagai kompas dan jati diri masyarakat Karo.
Karya agungnya yang lain adalah pembangunan Museum Pusaka atau Museum Pusat Kebudayaan Karo di Berastagi, Karo. Memanfaatkan bekas gereja Katolik lama, Pastor Leo mengumpulkan barang-barang milik masyarakat adat Karo dan memajangnya di sana untuk edukasi dan misi pelestarian budaya. Banyak barang dibawa dengan biaya sendiri dari Belanda untuk misi besar tersebut.
Sejujurnya, tidak cukup hanya mengapresiasi karya besar sang Pastor, namun dengan doa dan harapan, kelak goresan tinta emas Pastor Leo Ginting tetap abadi dan lestari.
Sebagai seorang misionaris, mewartakan kebaikan Tuhan tak melulu dengan memaksakan kebaikan dalam satu versi. Apalagi memberangus kebaikan lainnya yang bertentangan dengan ajaran kasih.
Lewat kebudayaan, Pastor Leo sepertinya menggali dan merekonstruksi kebaikan dari kearifan lokal dan memberinya keagungan dari perspektif iman.
Membuat orang-orang yang dilayani dapat melihat bahwa sejak semula pun, pada mereka Tuhan memberikan kebaikan-kebaikan lewat rupa kebudayaan.
Kini penerima Anugerah Kebudayaan dan Maestro Kategori Pencipta, Pelopor, dan Pembaru dari pemerintah itu sudah berpulang.
Masyarakat Katolik di Sumatera Utara dan Kalak Karo yang mencintai budayanya, kehilangan besar dan berduka sungguh.
Kehilangannya meninggalkan warisan tanya besar. Siapa lagi Pastor dan umat yang akan punya kegigihan sebesar Ginting Mergana yang berpulang? Sampai kapan Budaya Karo akan bertahan tanpa adanya kekuatan-kekuatan besar yang berusaha mempertahankannya dalam mimbar-mimbar pelayanan keagamaan?
Pastor Leo mungkin termasuk beruntung hidup di zaman investasi belum begitu serakahnya seperti hari ini. Beliau barangkali tak mengalami tantangan besar berhadapan dengan ketidakpedulian ganda penguasa dan pengusaha seperti terjadi di banyak tempat hari ini.
Di mana hari ini, era genjotan investasi membuat para Pastor tak hanya berhadapan dengan rendahnya kecintaan pemerintah daerah pada budaya lokal, tapi juga pada tekanan investasi yang merambah hutan serta lahan masyarakat adat.
Situasi ini akan membuat tantangan misi para Pastor yang bermisi di kelompok masyarakat adat, menjadi makin berat. Pun sudah semestinya hirarki gereja makin sadar serta sudah harus siap membangun strategi besar ke depan. Agar ketika bicara soal Laudato Si, tak hanya rantai rosario yang bekerja, tapi juga rantai jaring kepedulian bergerak di akar rumput menjaga pemberangusan hutan dan kebudayaan.
Selamat jalan Pastor Leo Joosten. Namamu tetap abadi bagi masyarakat Karo. Terima kasih telah menginspirasi dan membuat kami bangga memiliki kebudayaan kami sendiri.
Selamat jalan menuju rumah Pemilik Karya Budaya Agung Dunia, Mejuah-juah. (Thom Sembiring, Koordinator Gerakan Jangkar Nusantara)