Kabanjahe, Karosatuklik.com – Pembangunan monument pahlawan bukan semata-mata mengkultuskan pahlawan tersebut, melainkan menunjukkan jati diri kepada generasi muda bahwa bangsa kita adalah bangsa pejuang.
Untuk itu, pembangunan Monumen Pahlawan Nasional Kiras Bangun yang sebelumnya sudah direncanakan pembangunanya di Simpang Selayang Medan, diharapkan dapat segera direalisasikan.
Nilai-nilai perjuangan pahlawan nasional Kiras Bangun yang dijuluki Garamata (mata merah) masih dianggap relevan sampai saat ini sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa, terlebih disaat kondisi negeri ini terancam disintegrasi. Indonesia memiliki sejarah ratusan tahun lalu dan satu diantaranya sejarah tentang perlawanan terhadap kolonial Belanda.
Kita mengenal Pahlawan Pangeran Doponegoro, Imam Bonjol, Patimura, Walter Mongonsidi, Raden Ajeng Kartini, Gatot Subroto, Jenderal Sudirman, Sisingamangaraja XII, Amir Hamzah, Ratulangi. Kini dari Sumatera Utara kelahiran Tanah Karo, Kiras Bangun telah diangkat pemerintah menjadi Pahlawan Nasioanal Bangsa Indonesia sesuai Keputusan Presiden Nomor 082/TK/Tahun 2005 tanggal 7 Nopember 2005.
Demikian dikatakan tokoh muda Tanah Karo, yang juga Ketua Pengembangan dan Pemberdayaan Potensi Daerah Indonesia (PPPD) Kabupaten Karo, Hendra Ginting, Jumat petang (06/11/2020) di Kabanjahe.
Menurutnya, bangsa yang besar, generasi mudanya tahu menghargai dan mengaktualisasikan semangat dan nilai-nilai kepahlawanan dalam mengisi kemerdekaan ini.
Untuk itu, pembangunan monumen tersebut sangat layak dan patut di dukung semua elemen masyarakat di Sumatera Utara. Fungsi monumen pahlawan adalah sebagai wujud penghargan dan penghormatan terhadap jasa-jasa para pahlawan/pejuang, sarana pelestarian nilai kepahlawanan, keperintisan dan kejuangan, sebagai obyek studi dan ziarah wisata.
Lebih lanjut dikatakan, Kiras Bangun yang popular dengan sebutan Garamata (mata merah) mengadakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda di Tanah Karo, Langkat, Deli Serdang, Dairi, dan Aceh Tenggara pada tahun 1901-1905.
Simbol Perlawanan Terhadap Kebodohan
Kiras Bangun simbol perlawanan terhadap kebodohan dan kezaliman bagi masyarakat Karo. Sejak Belanda menguasai Tanah Karo 1905, Kiras Bangun sadar akan perlunya belajar. Kenyataan mereka yang pintarlah yang akan menang.
Ia pun segera belajar menulis tulisan latin dan belajar bahasa Indonesia, sehingga ia cepat tahu bagaimana Belanda sebagai penjajah.
Sampai akhir hayatnya Kiras Bangun tidak menyetujui penjajahan Belanda dan dia sering menekankan, “kami dapat mengurus diri sendiri, sesuai adat istiadat kami. Tidak ada masalah yang tidak dapat kami selesaikan,” Kiras Bangun.
Ucapannya yang masih sangat relevan sampai saat ini, bahwa penjajahan itu sangat pahit sekali, untuk itu jadilah kamu pintar agar tidak dijajah.
Dengan caranya sendiri, dia menanamkan rasa cinta kemerdekaan kepada anak-anaknya, dan salah satu cucunya bernama “Merdeka”. Sebuah ungkapan yang sangat langka pada zamannya.
Pada tanggal 20 Nopember 1942, dalam usia 90 tahun, kurang lebih tiga tahun sebelum kemerdekaan RI yang turut diperjuangkannya, Kiras Bangun meninggal dunia.
Dari bukti-bukti sejarah, ia sering mengatakan “dijajah itu sangat sakit, hilang semua martabat dan harta. Rebut kembali negeri kita dan tegakkan kedaulatan bangsa, jangan pernah putus asa. Suatu kali kemenangan (kemerdekaan-red) akan dicapai,”.
Ia telah mengalami pahitnya penjajahan, tapi tidak sempat menikmati hasil perjuangannya. Untuk itulah, pembangunan monumen nasional Garamata di Medan sangat diharapkan bisa terealisasi dibawah kepemimpinan Gubsu Edy Rahmayadi yang sudah ditabalkan marga Ginting. (R1)