Perubahan Kedua UU ITE Disahkan, Pemerintah Kini Siapkan 3 PP

Nasional1268 x Dibaca

Jakarta, Karosatuklik.com – DPR telah resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Selanjutnya, pemerintah akan menyiapkan tiga peraturan pemerintah (PP) guna mendukung pelaksanaan perubahan kedua UU ITE tersebut

Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Dirjen Aptika Kemenkominfo) Semuel Abrijani Pangerapan menyampaikan, tiga PP yang sedang dipersiapkan secara ketat berkaitan dengan pembentukan ekosistem digital, pengaturan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), serta perlindungan anak di ruang digital.

“Ketiga PP ini akan dirancang secara lintas sektor dan lembaga untuk memastikan tercapainya regulasi yang komprehensif, mencakup semua aspek yang perlu diatur di ruang digital dengan lebih optimal,” kata Semuel Abrijani, dilansir dari Antara, Selasa (5/12/2023).

Semuel menyampaikan, tim yang ada di Ditjen Aptika Kemenkominfo saat ini sedang memelajari studi kasus di negara-negara yang telah menerapkan aturan serupa.

“Revisi UU saat ini masih pada dasar konsep, sedangkan detailnya akan diatur dalam PP. Kami sedang mempelajari pengalaman negara-negara di Eropa dan Inggris yang telah memiliki regulasi serupa,” katanya.

Dalam Perubahan Kedua UU ITE, panitia kerja untuk RUU ITE telah mengubah substansi dari 14 pasal yang sudah ada dan menambahkan lima pasal baru. Salah satu pasal baru yang diutamakan adalah terkait pelindungan anak, khususnya mengenai kewajiban PSE untuk melindungi anak-anak di platform digital.

Poin Penting Revisi Kedua UU ITE Menjamin Kebebasan Berpendapat

Pertama, terdapat penambahan pasal yang melindungi anak di ruang digital. Kedua, ada pengecualian yang diatur dalam Pasal 27 UU ITE. Hal ini disebabkan dalam beberapa kasus di masyarakat, terdapat interpretasi yang berbeda yang dapat membuat seseorang yang seharusnya melaporkan kasus penghinaan justru menjadi tersangka. Contohnya dalam kasus Baiq Nuril.

Usman menjelaskan, dengan adanya pasal pengecualian tersebut, seseorang dapat dikecualikan dari sanksi UU ITE jika tindakan tersebut dilakukan untuk membela diri dan dapat dibuktikan.

“Sebelumnya tidak ada pengecualiannya. Orang dilarang menghina, mencemarkan nama baik, atau menurunkan martabat orang, tetapi sekarang ada pasal pengecualian yang memperbolehkan jika dilakukan untuk pembelaan diri dan dapat dibuktikan,” ujar Usman Kansong dilansir dari Antara, Selasa (5/12/2023).

Usman menegaskan, revisi UU ITE dilakukan untuk menjaga kebebasan berpendapat di ruang publik sambil tetap mempertimbangkan hak dan kebebasan individu lainnya. Dengan adanya perubahan ini, diharapkan ruang digital di Indonesia dapat menjadi tempat yang aman dan sehat.

“Revisi Undang-Undang ITE ini juga bertujuan untuk memberikan kepastian hukum. Kehadiran pasal pengecualian memberikan kepastian hukum dalam situasi tertentu,” tandas Usman.

DPR Sahkan Revisi Kedua UU ITE

DPR resmi mengesahkan revisi kedua Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pengesahan ini dilakukan dalam rapat paripurna ke-10 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2023-2024 di gedung Nusantara II, kompleks parlemen, Senayan, pada hari ini, Selasa (5/12/2023).

“Apakah rancangan undang-undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?” kata Wakil Ketua DPR Lodewijk F Paulus saat memimpin sidang rapat paripurna DPR.

“Setuju,” jawab anggota dewan yang hadir dalam rapat paripurna tersebut.

Ketua Panja Revisi UU ITE Abdul Kharis mengatakan DPR dan pemerintah sepakat bahwa revisi UU ITE dilakukan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan setiap orang sehingga memenuhi rasa keadilan.

“Sesuai dengan pertimbangan keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis,” tanda Abdul.

Terdapat 24 poin perubahan subtansi dalam revisi UU ITE. Lalu, ada penambahan muatan Pasal 27 dan 28 di mana kedua pasal tersebut kerap menjadi polemik karena termasuk pasal karet.

“Penambahan ketentuan mengenai larangan kepada setiap orang yang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain, dengan cara menuduhkan sesuatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik diatur dalam Pasal 27a,” jelas Abdul.

Lalu, pada Pasal 27b diatur soal melakukan perbuatan hukum dengan mentransmisikan informasi berbasis elektronik. Pasal 27b ini mengatur mengenai larangan kepada setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan ancaman kekerasan untuk mendapatkan suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain atau memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang.

Lalu, Pasal 28 ayat (1) mengenai ketentuan tentang larangan kepada setiap orang yang dengan sengaja mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi pemberitahuan bohong atau informasi menyesatkan yang mengakibatkan kerugian materiil bagi konsumen dan transaksi elektronik.

Selanjutnya, Pasal 28 ayat (2) soal larangan perbuatan yang sifatnya menghasut, mengajak, atau mempengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik. (R1/BeritaSatu)