RUU Pemasyarakatan Dibahas Sejak 2019 Selangkah Lagi Disahkan!

Politik609 x Dibaca

Jakarta, Karosatuklik.com – Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemasyarakatan yang kontroversial kemungkinan tak lama lagi bakal disahkan menjadi undang-undang.

Sebab pemerintah dan Komisi III DPR sepakat tidak ada persoalan yang menjadi hambatan untuk mengesahkan RUU itu menjadi undang-undang.

Pangkal perdebatan RUU Pemasyarakatan adalah soal mempermudah pembebasan bersyarat terhadap narapidana kasus kejahatan luar biasa, termasuk kasus korupsi. Maka dari itu, upaya untuk mengesahkan RUU itu pada 2019 silam mendapat penolakan keras dari pakar hukum dan aktivis antikorupsi.

Sebab, RUU Pemasyarakatan meniadakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan sehingga aturan mengenai pemberian pembebasan bersyarat kembali ke PP Nomor 32 Tahun 1999.

Akan tetapi, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkum HAM) Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan saat ini tidak ada permasalahan dalam RUU Pemasyarakatan.

Sama sekali tidak ada masalah. Jadi, tidak ada perubahan apapun bapak ibu yang mulia. Diharapkan itu tinggal disahkan saja,” kata Edward dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi III DPR, Rabu (25/5/2022) lalu.

Terkait Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang dicabut oleh Mahkamah Agung (MA), Eddy mengaku pemerintah juga tidak mempersoalkannya.

“Justru dengan putusan Mahkamah Agung terkait PP 99 itu memperkuat RUU yang ada ini,” terangnya.

Setelah mendengarkan hal tersebut, Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond Mahesa meminta persetujuan kepada peserta sidang agar RUU Pemasyarakatan dibawa ke tingkat paripurna. Adapun para peserta sidang seluruhnya menyetujui hal tersebut.

“Tidak ada catatan, semuanya? Dengan demikian RUU pemasyarakatan akan kita lanjutkan kepada tahapan selanjutnya, setuju ya? Setuju,” ucap Desmond diiringi ketukan palu tanda persetujuan.

Desmond melanjutkan, setelah ini Komisi III akan menindaklanjuti hasil rapat dengan membawa kepada pimpinan DPR. Selanjutnya, pimpinan DPR akan menyerahkan surat pemberitahuan terkait hasil rapat Komisi III dan Pemerintah itu kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk meminta persetujuan agar RUU Pemasyarakatan disahkan sebagai UU.

Di dalam PP 99/2012 mengatur syarat rekomendasi dari aparat penegak hukum yang selama ini memberatkan pemberian pembebasan bersyarat bagi napi korupsi. Pasal 34A PP 99/2012 mengatur syarat bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya atau dikenal istilah justice collaborator dan membayar lunas pidana denda dan uang pengganti kerugian negara.

Kemudian, dalam Pasal 43B Ayat (3) mensyaratkan adanya rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pertimbangan Dirjen Pemasyarakatan dalam memberikan pembebasan bersyarat.

Syarat-syarat tersebut tidak tercantum dalam PP Nomor 32 Tahun 1999. Belakangan, pada Oktober 2021 lalu, Mahkamah Agung mencabut PP 99/2012 karena tidak sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakaran yang menjadi induknya.

Pada 2021, Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah menyampaikan pandangan mereka soal pembatalan PP 99/2012. Menurut mereka, meski negara wajib melindungi hak asasi manusia napi koruptor, tetapi pemerintah juga harus menerapkan cara-cara luar biasa dalam menangani perkara rasuah yang tergolong sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

Alasan pembatalan PP 99/2012 menurut MA adalah tidak sejalan dengan model pemidanaan keadilan restoratif (restorative justice), diskriminatif karena membedakan perlakuan kepada para terpidana, dan menyebabkan kondisi lembaga pemasyarakatan penuh (overcrowded).

ICW beralasan, dengan membatalkan PP 99/2012 berarti MA tidak konsisten terhadap keputusan mereka sebelumnya. Dalam putusan Nomor 51 P/HUM/2013 dan Nomor 63 P/HUM/2015 MA menyatakan perbedaan syarat remisi merupakan konsekuensi logis terhadap adanya perbedaan karakter jenis kejahatan, sifat bahayanya, dan dampak kejahatan yang dilakukan oleh seorang terpidana.

Sedangkan soal argumen pengetatan syarat remisi tidak sesuai dengan semangat keadilan restoratif menurut ICW juga keliru. Sebab, pemberian remisi memang menjadi hak narapidana, tetapi syarat pemberiannya harus menitikberatkan pada pemberian efek jera (detterent effect) bagi koruptor.

Maka dari itu, kata ICW, MA seharusnya tidak memandang korupsi sama dengan kejahatan umum lainnya.

Kemudian soal alasan menyebabkan penjara penuh juga dikritik oleh ICW. Sebab sebagian besar napi terlibat kasus narkotika. Sedangkan menurut ICW, jumlah terpidana korupsi per Maret 2020 mencapai 1.906 orang (0,7 persen) dari total warga binaan sebanyak 270.445 orang. (R1/Kompas.com)