Tak Cukup Maaf Yasonna

Nasional1469 x Dibaca

Jakarta, Karosatuklik.com – Permintaan maaf Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly terkait insiden kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang dinilai bentuk pengakuan pemerintah atas kelalaian dalam pengelolaan penjara.

Penerapan pidana selain penjara pun didorong dalam kasus-kasus pasal karet UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), hingga penyalahgunaan narkotika.

Rabu (8/9) pukul 01.45 WIB, yang dihuni oleh 122 narapidana. Api berkobar sekitar 2 jam. Akibatnya, 40 orang meninggal di tempat, satu wafat dalam perjalanan ke rumah sakit, dan dua tewas saat dirawat.

Dugaan sementara, kebakaran ini disebabkan oleh korsleting alias hubungan arus pendek listrik.

 

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly pun meminta maaf kepada seluruh pihak, khususnya korban dan keluarga korban atas insiden ini.

“Atas nama Kemenkumham secara khusus Direktorat Jenderal Pemasyarakatan,

Maaf untuk seluruh keluarga baik yang meninggal dan juga korban luka akibat dari musibah yang terjadi,” kata Yasonna dalam acara Newsroom yang disiarkan di CNNIndonesia TV, Rabu (8/9/2021) sore.

Selain itu, ia sempat mengakui baru akan menyiapkan mitigasi bencana di dalam lapas kala ditanya soal penguncian napi di dalam sel saat kebakaran terjadi.

Padahal, sejumlah pakar sudah berulang kali mengingatkan potensi ricuh dan bencana akibat kelebihan kapasitas di lapas dan rutan.

Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat Ma’ruf Bajammal mengatakan permintaan maaf ini sudah semestinya diucapkan oleh pemerintah.

“Karena permintaan maaf ini bisa jadi sebuah pengakuan kesalahan,” kata dia, saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (8/9) malam.

 

“Permintaan maaf sebagai wujud bahwa pemerintah di sini pihak yang salah secara jelas, karena bisa terjadi tragedi seperti ini di lapas yang kemudian di situ keamannya harusnya dijaga dengan ketat namun bisa kecolongan sampai kebakaran dengan memakan korban sebegini banyak,” imbuhnya.

Permintaan maaf ini, kata dia, bisa menjadi langkah awal untuk mengevaluasi kinerja. “Agar kesalahan yang dilakukan sebelumnya tidak terulang kembali di masa yang akan datang,” ujarnya.

Dihubungi terpisah, kriminolog Josias Simon juga menyampaikan permintaan maaf ini menunjukkan pengakuan pemerintah soal ketidaksiapan dalam menghadapi insiden di dalam lapas.

“Kalau itu memang ada unsur kelalaian ya, ada unsur kemudian tidak terdeteksi ya, artinya sesuatu yang tidak terduga dan tidak disiapkan antisipasinya ya. Memang harusnya pemerintah mengakui [kesalahan],” ucap dia.
Over Kapasitas Lapas

Sejumlah pihak menilai salah satu kelalaian utama dalam pengelolaan lapas dan rumah tahanan (rutan) adalah penanganan masalah kelebihan kapasitas.

Per 7 September, misalnya, jumlah penghuni Lapas Tangerang mencapai 2.072 orang. Sementara, kapasitasnya 600 orang. Alhasil, lapas ini kelebihan penghuni alias overkapasitas 1.472 orang atau 245,3 persen.

Hal serupa terjadi di lapas-lapas lainnya. Berdasarkan data Sistem Database Pemasyarakatan Kemkumham, jika bukan karena belum melaporkan kapasitas hunian, lapas di seluruh provinsi mengalami over kapasitas.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengungkapkan 50 persen penghuni lapas di Indonesia adalah narapidana kasus narkotika.

Ma’ruf Bajammal pun menyebut proses hukum kasus narkotika selama ini berorientasi pada pidana penjara.

“Itu satu poin yang kemudian menggambarkan betapa buruknya kebijakan terkait dengan peradilan pidana terpadu kita dalam konteks tindak pidana narkotika itu, yang mana disinyalir bahwa banyaknya itu justru pengguna dan pecandu,” tuturnya.

Padahal, kata Ma’ruf ada kebijakan rehabilitasi terhadap pengguna narkoba yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Namun, ia menilai kebijakan rehabilitasi di Indonesia ini hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu saja yang bisa dikatakan memiliki sebuah privilege.

Karenanya, menurut Ma’ruf persoalan over kapasitas lapas di Indonesia, tak cukup dengan sekedar menambah jumlah gedung semata.

“Tapi lebih kepada hal yang esensial bagaimana aparat penegak hukum ini satu perspektif terkait orientasi dalam penanganan suatu perkara,” ucap Ma’ruf.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai narapidana pun memilik hak untuk mendapatkan ruang yang layak.

“Para tahanan dan terpidana kerap ditempatkan dalam penjara yang sesak dan mengancam hidup dan kesehatan mereka. Mereka juga manusia yang berhak atas kondisi penjara yang layak dan hak atas kesehatan,” ungkap dia, dikutip dari Antara.

“Tempat penahanan harus menyediakan ruang, penerangan, udara, dan ventilasi yang memadai,” tambah Usman.

Tak sekadar minta maaf, pemerintah pun diminta untuk menangani masalah kapasitas lapas tersebut dengan mengubah orientasi politik kebijakan dalam menangani kejahatan ringan, termasuk kasus narkoba.

Usman pun mendorong pembebasan pihak yang seharusnya tidak pernah ditahan, seperti tahanan hati nurani dan orang yang ditahan atas dasar pasal-pasal karet UU ITE.

“Penahanan dan pemenjaraan orang hanya karena mengekspresikan pendapatnya secara damai tidak dapat dibenarkan dalam situasi apa pun, terlebih lagi dalam situasi di mana ada over kapasitas lapas yang membahayakan kesehatan, bahkan nyawa tahanan, terutama pada masa pandemi seperti saat ini,” cetusnya.

Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina menyebut kelebihan kapasitas atau overcrowding disebabkan oleh sistem peradilan pidana yang sangat bergantung dengan penggunaan pidana penjara sebagai hukuman utama. Padahal, kata dia, banyak hukuman altenatif lain.

“Pidana penjara 52 kali lebih sering digunakan oleh Jaksa dan Hakim dari pada bentuk pidana lain,” kata dia.

Ia mencontohkannya dengan pengguna narkotika yang seharusnya tak dikenakan pidana penjara, namun rehabilitasi.

“Mayoritas penghuni Rutan dan Lapas berasal dari tindak pidana narkotika, dengan 28.241 WBP (warga binaan pemasyarakatan) total di seluruh Indonesia,” ucap dia.

Selain itu, ungkapnya, polisi, jaksa, dan hakim terkesan tidak terlalu peduli dengan kondisi Lapas.

“Polisi, Jaksa, dan Hakim harus didorong untuk memiliki perhatian pada kondisi Lapas, bisa dimulai dengan mendorong penggunaan alternatif pemidanaan non pemenjaraan,” jelas dia.

Dalam KUHP, sanksi pidana selain penjara di antaranya adalah denda, pidana mati, pencabutan hak tertentu seperti hak dipilih dalam pemilu. Sementara, dalam rancangan KUHP, draf terbaru menyertakan pidana alternatif lain seperti kerja sosial. (cnnindonesia.com)