Urgensi Mitigasi Risiko Pemilu 2024

Nasional1415 x Dibaca

Opini: Zaenal Abidin

Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia periode 2012-2015

Jakarta, Karosatuklik.com – Menurut data KPU pada 2019, sebanyak 894 petugas penyelenggara pemilu meninggal dunia dan 5.175 orang menderita sakit. Salah satu faktor yang diduga sebagai penyebabnya adalah beban kerja yang cukup besar dan berat. Hal ini tertuang dalam rilis Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada 2019.

Apabila kejadian kematian dan kesakitan di atas benar karena beban kerja yang besar dan berat, hemat penulis semestinya pada Pemilu 2024 telah dapat diantisipasi dengan baik. Apalagi, mekanisme dan pelaksanaan Pemilu 2024 tidak berbeda jauh dengan Pemilu 2019.

HAM Penyelenggara Pemilu

Dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang diterima dengan suara bulat oleh Majelis Umum PBB (10 Desember 1948), dalam artikel nomor 25 menyatakan,”Tiap orang mempunyai hak hidup pada standar yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan mereka, dan keluarga mereka, termasuk hak untuk mendapat makanan, perumahan, dan pelayanan kesehatan.”

Deklarasi di atas berarti bahwa sejak saat itu organisasi negara-negara telah memandang bahwa hidup dan kesehatan sangat berkaitan dengan HAM, termasuk di dalamnya penyelenggara pemilu di Indonesia.

Mereka juga memiliki HAM untuk hidup dan sehat sebagai manusia. Terlebih, karena konstitusi negara Republik Indonesia juga mengatur hak warga negara untuk hidup dan sehat, baik dalam Pembukaan UUD 1945 maupun dalam batang tubuhnya.

Pembukaan UUD 1945 mengatakan,“Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum.” Pada batang tubuhnya, Pasal 28 H ayat (1) menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Selanjutnya, Pasal 28 H ayat (3) menyebutkan, “Hak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.”

Artinya, baik Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang diterima dengan suara bulat oleh Majelis Umum PBB maupun UUD 1945 menghendaki agar hidup dan kesehatan setiap warga negara termasuk penyelenggara pemilu, wajib dilindungi, dimitigasi, dan mendapatkan jaminan sosial.

Mitigasi Risiko Penyelengga Pemilu

Durasi kerja penyelenggara pemilu yang cukup panjang, dimulai sejak Oktober 2023 hingga Desember 2024, dengan pentahapan yang cukup padat membuat petugas peyelenggara pemilu merasa berat.

Berdasarkan data resmi, jumlah anggota KPU sebanyak 2.767, terdiri dari 7 anggota (KPU Pusat), 190 anggota (KPU Provinsi), dan 2.570 anggota (KPU Kota/Kabupaten). Jumlah anggota Sekretariat Jenderal KPU sebanyak 450 orang, 1.755 orang di Sekretariat KPU Provinsi, dan 12.071 orang di Sekretariat KPU Kabupaten/Kota.

Sementara itu, data jumlah badan ad hoc pada 2019 adalah PPK (36.005), PPS (250.200), KPPS (5.666.717), PPLN (556), KPPSLN (12.765), Sekretariat PPK (14.402), Sekretariat PPS (166.800), Sekretariat PPLN (390), Linmas TPS (1.619.200), Pantarlih (810.329), dan Pantralih Luar Negeri (1.200).

Dari data di atas dapat dibayangkan betapa besarnya pengerahan manusia yang akan bertugas menyukseskan penyelenggaraan Pemilu 2024. Apalagi, pemilu tahun depan dilaksanakan secara serentak dengan periode kerja 14 bulan.

Belajar dari kasus kematian dan kesakitan petugas penyelenggara Pemilu 2019, seharusnya membuat kita semua menjadi sadar dan waspada agar kejadian yang sama tidak terjadi lagi, apa pun kemungkinan penyebabnya.

Karena itu, perlu ada mitigasi risiko. Misalnya, dengan terlebih dahulu melakukan penilaian status kesehatan sebelum petugas pemilu itu direkrut atau sebelum bertugas. Penilaian awal ini sangat penting untuk menyaring dan perawatan selanjutnya, baik pada hari H minus satu maupun setelah rekapitulasi suara diumumkan.

Mengapa perlu penilaian status kesehatan sebelum bertugas? Hemat penulis setidaknya ada lima alasan mengapa status kesehatan petugas penyelenggara Pemilu 2024 harus dinilai sebelum bertugas. Pertama, untuk menyeleksi siapa yang mampu dan siapa yang tidak mampu mengemban tugas sebagai petugas pemilu.

Kedua, untuk mengetahui status kesehatan petugas sebelum bekerja. Ketiga, untuk mengatur penempatan di bidang tugas sesuai status kesehatan yang dimilikinya. Keempat, sebagai dasar untuk perawatan berikutnya.

Kelima, apabila terjadi risiko sakit massal seperti pada 2019, maka hasil pemeriksaan awal dan perawatan setelahnya itu dapat menjadi dasar bagi penegak hukum untuk melangkah.

Demikian pula apabila terjadi kematian, hasil penilaian kesehatan tersebut dapat dijadikan petunjuk awal, meski tetap harus menunggu pemeriksaan autopsi guna memastikan sebab kematiannya.

Penyebab kesakitan dan kematian menjadi sangat penting bukan saja untuk kepentingan penegakan hukum, tetapi juga agar masyarakat tidak menduga-duga sendiri. Hal ini juga bisa menjadi bahan evaluasi pada penyelenggaraan pemilu lima tahun berikutnya.

Jaminan Sosial

Durasi kerja yang lama, tetapi padat dan cukup krusial pada Pemilu 2024 sangat memungkinkan terjadinya risiko yang tidak diinginkan sebagaimana Pemilu 2019. Sekalipun riskio tersebut sudah berusaha dimitigasi, misalnya dengan penilaian kesehatan dan perawatan kesehatan lainnya, tetapi bukan berarti sudah terbebas dari risiko.

Pertanyaannya, sudahkah negara hadir dalam memberikan jaminan sosial kepada para petugas penyelenggara pemilu ini? Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.

Di dalam jaminan sosial nasional, terdapat program jaminan kesehatan yang dikeloka oleh BPJS Kesehatan. Ada pula empat program jaminan ketenagakerjaan yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan. Walau kemungkinan besar petugas penyelenggara pemilu yang direkrut telah terdaftar dan menjadi perserta aktif Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), tentu tetap perlu ada penyesuaian.

Penyesuaian yang dimaksud adalah untuk petugas penyelenggara pemilu selama ini merupakan peserta mandiri. Karena ia menjadi petugas penyelenggara pemilu, maka seharusnya status berubah menjadi penerima kerja. Pemberi kerjanya adalah negara dalam hal ini pemerintah.

Karena itu, seharusnya pemerintah mengambil alih pembayaran iuran jaminan kesehatannya. Apabila kebetulan ia sudah berkeluarga, maka pemerintah pun wajib membayarkan anggota keluarganya tersebut.

Pertanyaan berikut adalah bagaimana dengan jaminan ketenagakerjaan? Menurut penulis, setidaknya pemerintah memberinya jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian kepada petugas penyelenggara pemilu.

Jaminan kecelakaan kerja sangat penting, sebab potensi terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja bagi petugas penyelenggara pemilu sangat tinggi. Jaminan kecelakaan kerja adalah perlindungan atas risiko kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja berupa perawatan, santunan, dan tunjangan menjadi disabilitas.

Petugas penyelenggara pemilu pun berisko mengalami kematian oleh berbagai sebab. Karena itu, mereka memerlukan pula jaminan kematian. Jaminan kematian adalah manfaat uang tunai perlindungan atas risiko kematian yang diberikan BPJS Ketenagakerjaan kepada ahli waris ketika peserta meninggal dunia akibat kecelakaan kerja maupun sakit.

Jaminan kematian ini sangat penting bagi keluarga yang ditinggalkan, sebab sering kali kematian tidaklah murah dan menjadi beban bagi keluarga. Biaya ambulans untuk membawa jenazah dari rumah sakit ke rumah dan/atau tempat peristirahatan terakhir tidak selalu gratis. Belum lagi, bagi yang membutuhkan sewa rumah duka dan kremasi, juga biaya pemakaman yang setiap tahunnya terus bertambah.

Jaminan sosial bagi petugas penyelenggara pemilu sangat penting. Alasan keterbatasan anggaran seharusnya tidak menjadi penghalang bagi penyelenggara pemilu untuk mendapatkan haknya. Penyelenggara pemilu berhak mmendapatkan jaminan sosial sebagaimana yang telah diuraikan di atas.

Catatan Akhir

Kematian dan sakit tidak boleh hanya diukur dengan sebuah angka. Tidak ada pemilu yang seharga nyawa dan sakit. Apalagi, peran warga negara tersebut untuk membantu negara dalam melaksanakan pemilu harus diapresiasi dan dilindungi sebagaimana pemenuhan hak asasi manusia.

Negara harus hadir untuk memberikan perlindungan sosial berupa jaminan sosial kepada mereka. Penyelenggara pemilu minimal mendapatkan JKN, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian. Karena itu, apabila petugas penyelenggara pemilu atau keluarganya sakit, maka ia tidak perlu mengeluarkan uang dari sakunya sendiri.

Demikian pula apabila terjadi kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja yang berakhir dengan disabilitas, maka anggota keluarga tidak perlu terbebani sebab sudah ada BPJS Ketenagakerjaan yang membiayainya.

BPJS Ketenagakerjaan menanggung biaya pengobatan dan perawatan, rehabilitasi, pengangkutan/transportasi dari tempat kecelakaan ke rumah sakit, dan satunan disabilitas.

Hal yang sama juga berlaku jika meninggal dunia, maka BPJS Ketenagakerjaan akan membayar jaminan kematian. Wallahualam bissawab. (Sumber: BeritaSatu)