UU Cipta Kerja Resmi Berlaku, Karyawan Swasta yang Mendapat Gaji di Bawah Upah Minimum Wajib Menuntut Hak dengan Cara Begini

Headline2900 x Dibaca

Jakarta, Karosatuklik.com – Upah minimum berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada perusahaan tempat bekerja.

Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam Pasal 88E.

Definisi dari upah minimum adalah upah tanpa tunjangan yang telah ditetapkan setiap tahun sebagai jaring pengaman di suatu wilayah.

Hal ini sebagaimana dimuat dalam Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 yang mengatur tentang Pengupahan.

Sehingga upah minimum telah ditentukan oleh pemerintah tersebut merupakan batas bawah dari nilai upah yang harus diterima oleh pekerja.

Maka pengusaha dilarang membayar upah pekerja lebih rendah daripada upah minimum tersebut.

Sebagaimana aturan dalam Pasal 88E ayat 2 UU Cipta Kerja juncto Pasal 23 ayat 3 PP 36 Tahun 2021.

Lalu jika pengusaha membayar upah di bawah dari batas upah minimum yang telah ditentukan.

Maka pengusaha tersebut dianggap melakukan tindak pidana kejahatan.

Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 185 Undang-Undang.

Terkait hal ini Direktur Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Dinar Titus angkat suara.

Menurut Dinar, perusahaan yang memberi gaji pekerja di bawah UMP atau UMK yang ditetapkan bisa dikenai sanksi.

Sanksi tersebut berupa hukuman penjara 1-4 tahun hingga denda mulai dari Rp 100 juta hingga Rp 400 juta.

Jika pekerja mengalami hal tersebut maka ia bisa melaporkan ke Kemenaker atau Dinas Ketenagakerjaan di daerah masing-masing.

Untuk membuat laporan, pekerja harus membawa data-data sebagai bukti pengaduan mengenai upah minimum.

Pengusaha yang Menggaji Buruh di Bawah UMR Diancam 4 Tahun Bui

Upah Minimum Regional (UMR) menjadi patokan minimal bagi pengusaha untuk menggaji karyawannya. Namun bagaimana bila ada pengusaha yang menggaji karyawannya di bawah UMR? Apakah bisa dikenakan delik pidana?

Mengacu kepada ketentuan Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003), yang dimaksud dengan Pengusaha adalah:

  1. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
  2. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
  3. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) dan (b) yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

Kemudian, mengacu kepada ketentuan Pasal 1 Ayat (6) UU 13/2003, yang dimaksud Perusahaan adalah:

  1. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang memperkerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
  2. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Setiap Pengusaha atau Perusahaan yang memperkerjakan seseorang sebagai tenaga kerja, wajib memberikan upah yang sesuai dengan upah minimum yang berlaku, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kota/kabupaten.

Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 81 Angka (25) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang menyisipkan lima pasal diantara ketentuan Pasal 88 dan Pasal 89 UU 13/2003 yakni Pasal 88A, Pasal 88B, Pasal 88C, Pasal 88D, dan Pasal 88E, yang mana dalam Pasal 88C Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 88E dinyatakan:

“Pasal 88C Ayat (1) dan (2) :
(1) Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi.
(2) Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/ kota dengan syarat tertentu.

Pasal 88E :
(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C Ayat (1) dan Ayat (2) berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada perusahaan yang bersangkutan.
(2) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.”

Bagi Pengusaha atau Perusahaan yang melanggar ketentuan Pasal 88E di atas, terdapat sanksi berupa ancaman pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- dan paling banyak Rp. 400.000.000,- sebagaimana ketentuan Pasal Pasal 81 Angka (63) UU Ciptaker yang mengubah ketentuan Pasal 185 UU 13/2003.

Catatan:

Mengacu kepada ketentuan Pasal 51 Ayat (1) UU 13/2003, suatu perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. Menurut pendapat kami, Saudara mempunyai hak untuk menanyakan jenis pekerjaan yang diberikan kepada Saudara oleh perusahaan, apakah untuk waktu tertentu ataukah untuk waktu tidak tertentu.

Menurut ketentuan Pasal 81 Angka (13) UU Ciptaker yang mengubah ketentuan Pasal 57 Ayat (1) UU 13/2003, dinyatakan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.

Sedangkan dalam hal perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan. Hal ini sesuai sebagaimana ketentuan Pasal 63 Ayat (1) UU 13/2003. (R1/AyoBandung/Dtc)

Baca Juga:

  1. Putusan MK Soal UU Ciptaker Dinilai Ambigu, Ini Alasannya
  2. Gubernur Sumut Agus Fatoni Hadiri Rakor Antisipasi Isu PHK dan Persiapan UMP 2025
  3. Demi Ekonomi, Perppu Cipta Kerja Miliki Momentum untuk Disetujui DPR