Jakarta, Karosatuklik.com – Kriminologi FISIP Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Adrianus Meliala mengatakan, polisi memiliki hak diskresi untuk mencapai tujuan hukum yang lebih bermanfaat ketimbang menetapkan status tersangka kepada korban pembegalan, Amaq Sinta (AS), pria asal Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Diskresi Kepolisian yang dimaksud adalah alasan penghapus tindak pidana yaitu membela diri sebagaimana diatur dalam Pasal 49 KUHP.
“Kepolisian sebenarnya berniat baik karena melakukan pentersangkaan formalitas guna mendapatkan kepastian hukum. Masalahnya, kepastian hukum tidak harus melalui cara itu. Kepolisian dan hak diskresinya dapat memakai cara lain untuk mencapai tujuan hukum yang lebih bermanfaat,” ujar Adrianus Meliala, saat dihubungi Beritasatu.com, Sabtu (16/4/2022).
Dia menilai, alasan penyidik Polres Lombok Tengah menetapkan tersangka kepada korban begal AS dikarenakan, lebih kepada pribadi-pribadi yang konservatif, kaku atau tidak berani mengambil terobosan.
“Hikmahnya adalah kita melihat ada kekurangan dalam peradilan pidana terkait penetapan pengadilan ini. Masa, harus mentersangkakan terlebih dahulu? Maka perlu ada jalan lain,” imbuhnya.
Sebelumnya, penyidik Polres Lombok Tengah menjerat AS dengan Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan. Lalu, Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang Penganiayaan. Perbuatan AS dikaitkan dengan Pasal 49 ayat (1) KUHP tentang Pembelaan Terpaksa yang menyatakan, AS tidak dapat dipidana.
Polres Lombok Tengah menyatakan, penerapan Pasal 49 KUHP merupakan kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan memutuskan.
Padahal, kata Adrianus, penyidik bisa menentukan pemenuhan Pasal 49 KUHP tanpa harus menunggu putusan pengadilan.
“Pemenuhan Pasal 49 KUHP bisa dilakukan oleh penyidik selaku pejabat fungsional penyidikan dan diperkuat oleh kepala Kepolisian wilayah selaku pimpinan struktural, tanpa menunggu putusan pengadilan,” katanya. (BeritaSatu)