Jakarta, Karosatuklik.com – Tahun ini, pemerintah menargetkan investasi masuk Rp1.400 triliun. Semuanya menjadi mudah kalau ada kepastian hukum. Khususnya sektor perkebunan yang selama ini sering dibenturkan dengan kawasan hutan.
Akademisi Universitas Al Azhar, Dr Sadino mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No 34/PUU-IX/2011, menyatakan, apabila ada hak-hak perorangan seperti SHM, HGU, HGB dan hak lainnya yang diklaim masuk kawasan hutan, maka kewajiban pemerintah untuk mengeluarkannya dari kawasan hutan. Agar tidak menimbulkan kerugian di masyarakat.
Artinya, apabila ada SHM, HGU, HGB dan hak lainnya yang diberikan berdasarkan peraturan daerah (perda), adalah sah menurut hukum. Karena dijamin dan dilindungi oleh UU Pokok Agraria (PA.
“Jika diketemukan kebun sawit rakyat atau perusahaan yang sudah memiliki hak atas tanah tidak dalam kategori melanggar hukum. Maka konsep penyelesaiannya adalah pengeluaran kebun sawit tanpa syarat. Dan bukan seperti yang terjadi saat ini harus mengajukan pelepasan kawasan hutan, dan dibebani PNBP,” kata Sadino, Jakarta, Jumat (27/1/2/2023).
Menurut Sadino, bagi yang sudah ada hak atas tanah, istilah penyelesaian kebun sawit dalam kawasan hutan, adalah tidak tepat. Yang tepat, kawasan hutan yang masuk dalam kebun sawit, sesuai kaidah dan norma hukum, sebagaimana keputusan MK Nomor 34/PUU-IX/ 2011.
Beleid itu, merubah kewenangan menteri LHK agar pelaksanaan penetapan suatu kawasan menjadi kawasan hutan yang mengacu kepada pasal 4 ayat (3) UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, tetap memperhatikan hak atas tanah yang diberikan sesuai peraturan perundang-undangan. Sejak 2012, pasal 4 ayat (3) dinyatakan tidak berlaku dan tidak mengikat. Putusan MK berlaku sejak tanggal diputuskan yang bersifaf final.
“Penyelesaian ini telah diatur dalam pasal 110A UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK) dan Perppu Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Harus menuju ke sana. Karena hanya menekankan persyaratan izin lokasi atau izin usaha perkebunan. Tapi pada tahap implementasi tidak sesuai dengan semangat dan tujuan UU CK dan Perppu Cipta Kerja,” kata Sadino.
Dalam menjalankan UU CK, kata dia, klasifikasi hak atas tanah harus diperhatikan agar tidak menyebabkan timbulnya konflik baru dalam system usaha di Indonesia. Terutama dalam insentif lahan sebagai bagian insentif kegiatan investasi.
Jika produk yang diberikan oleh negara seperti hak atas tanah, tidak dilindungi maka akan terjadi sengketa hukum yang membuat tidak terlindunginya investasi. Produk negara akan diuji melalui sengketa di pengadilan, baik terkait hak keperdataan, maupun sengketa hukum administrasi.
“Penyelesaian pemenuhan perizinan adalah bagi yang belum lengkap izinnya, jika kebun sawit yang sudah diberikan Hak Atas Tanah diperlakukan sama dengan izin tentu tidak benar dan melanggar hak konstitusi warga negara,” jelasnya.
Dalam hukum administrasi, lanjutnya, dikenal adanya asas hukum presumtio iustae causa yang bermakna ‘setiap putusan tata usaha negara adalah sah sampai ada putusan pengadilan, atau pejabat yang berwenang membatalkannya’, tentu SK penunjukan kawasan hutan, termasuk SK penetapan kawasan hutan yang dikeluarkan menteri kehutanan, tidak serta merta menghilangkan hak atas tanah.
Pelaksanaan penegakan hukum dan penyelesaian kebun sawit seperti di Riau sudah seharusnya mendasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan memperhatikan asas-asas hukum dalam hukum administrasi, terkait hak atas tanah dan perizinan. Kalau hak atas tanah dan izin yang diberikan sudah sesuai dengan tata ruang, maka istilah yang tepat digunakan adalah “penyelesaian kawasan hutan yang masuk dalam kebun sawit”.
“Dengan demikian penyelesaian kebun sawit dalam UU CK ada 2 jenis yaitu, penyelesaian kebun sawit dalam kawasan hutan, dan penyelesaian kawasan hutan dalam kebun sawit.,” katanya.
Sadino menegaskan, memasukkan hak atas tanah, seperti SHM, HGU, HGB dan hak lainnya dalam Kawasan Hutan seperti Keputusan Menteri Kehutanan adalah secara sewenang-wenang dan bertentangan dengan prinsip yang diamanatkan putusan MK No 34/PUU-IX/2011 yang secara tegas mengakui perlindungan hukum terhadap hak atas tanah meskipun dimasukkan dan diklaim sebagai kawasan hutan.
“Saat ini pemda dan masyarakat khawatir akan dilakukan kriminalisasi oleh penegak hukum atas terbitnya keputusan menteri LHK yang secara sewenang-wenang. Padahal bertentangan dengan pertimbangan Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 tanggal 21 Februari 2012 yang melindungi dan mengakui hak-hak atas tanah untuk dikeluarkan dari kawasan hutan,” jelasnya.
Sadino menjelaskan, bagi perusahaan, yang telah memperoleh izin dari bupati, dan bukan termasuk kawasan hutan, tentunya tidak perlu permohonan pelepasan kawasan hutan. Kecualim berdasarkan perda berstatus kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi.
“Seringkali disamaratakan perusahaan harus mempunyai izin pelepasan kawasan hutan, padahal kalau sumber perizinannya dari Perda dan statusnya bukan kawasan hutan ya tidak diperlukan pelepasan kawasan,” tegasnya.
Ketidaksinkronan tata ruang, jelas Sadino, membuat kepastian kawasan hutan menjadi tidak jelas. Begitu pula kepastian pembangunan umum, seperti sarana-prasarana, saat ini banyak dimasukkan dalam Peta Kawasan Hutan.
Seperti perkampungan, perkantoran, kebun rakyat, fasilitas umum seperti tempat ibadah, sekolah dan lainnya. “Hal tersebut diakibatkan oleh kebijakan yang tidak baik, terutama terkait pemberian penyelesaian permasalahan di lapangan akibat ego sectoral,” jelasnya.
Padahal, kata Sadino, perizinan di bidang perkebunan menjadi wewenang penuh bupati dengan arahan lokasi dan pertimbangan teknis dari ATR/BPN kabupaten dan dinas kehutanan. “Perda biasanya sebagai pedoman bagi ATR/BPN.
Dalam izin lokasi bukan kawasan hutan, maka seringkali Hak Atas Tanah (SHM dan HGU) bisa dapat diproses dan lahir Hak AtasTanah. Sebaliknya ada juga wilayah yang memperhatikan Peta Kawasan Hutan, khususnya yang berstatus Hutan produksi yang dapat dikonversi maka harus mengurus pelepasan Kawasan hutan lagi ke Kementerian yang membidangi Kehutanan,” katanya.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Profesor Budi Mulyanto menambahkan, dasar dari penetapan kawasan hutan adalah pengukuhan, dan bukan penunjukan seperti selama ini diterapkan. “Konsep penunjukan yang selama ini diberlakukan, punya persoalan, yakni terlihat legal tapi tidak legitimate atau pengakuan sangat rendah dari masyarakat,” katanya.
Prof Budi mengatakan, tata batas adalah proses hukum dan bukan proses teknis oleh karena itu batas harus ditentukan dan disepakati oleh pihak-pihak yang berbatasan dengan menerapkan azas contradictiore delimitatie. “Persoalan tata batas selalu tidak tuntas, karena dalam praktiknya terdapat dualisme kebijakan pertanahan di Indonesia,” tegasnya.
Di dalam kawasan hutan legalitas pemanfaatan tanah ada melalui izin dari KLHK. Sedangkan di luar kawasan hutan atau yang disebut dengan Area Peruntukan Lain (APL) administrasi dan penguasaan tanah menjadi kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Fakta ini berimplikasi pada munculnya berbagai aturan dan regulasi bidang pertanahan di dalam dan luar kawasan hutan, termasuk masalah kepastian hukum pengakuan penguasaan tanah oleh masyarakat, khususnya masyarakat adat yang telah lama bermukim di wilayah tersebut,” pungkasnya. (Inilah.com)
Komentar