BPJS Watch: Skema Gotong Royong di Program JKN Mudahkan Pembiayaan Kesehatan

Kesehatan401 x Dibaca

Jakarta, Karosatuklik.com – Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah banyak dirasakan manfaatnya bagi rakyat Indonesia. Bagi Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, dengan skema gotong royong yang diadopsi, pembiayaan kesehatan bagi masyarakat Indonesia pun semakin mudah dilaksanakan.

Dirinya menjelaskan bagi yang mampu akan membayar iurannya sendiri, bagi pekerja penerima upah (pekerja formal) maka iuran JKN dibayar secara gotong royong antara pekerja (mengiur 1 persen) dan pemberi kerja (mengiur 4 persen), dan bagi yang tidak mampu maka Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah akan membayar iuran JKN.

“Tentunya dengan gotong royong membayar iuran maka biaya pelayanan kesehatan akan mampu ditanggung, sehingga seluruh masyarakat yang sakit akan tertolong. Demikian juga gotong royong akan mendukung proses preventif dan promotive sehingga seluruh rakyat dapat melakukan pencegahan penyakit dan hidup sehat,” jelasnya.

Timboel juga mengatakan bahwa sistem gotong royong dalam program JKN ini merupakan antitesis dari sistem pembiayaan Kesehatan masa lalu yang dikelola secara segmented dan terpisah-pisah, sehingga ada diskriminasi bagi masyarakat miskin.

“Pembiayaan pelayanan Kesehatan Pekerja PNS dikelola PT ASKES, pekerja formal di PT Jamsostek atau asuransi swasta, TNI-Polri oleh RS TNI-Polri, sementara rakyat miskin oleh program Jamkesmas dan Jamkesda,” katanya.

Prinsip Gotong Royong Sangat Tepat

Dalam memastikan pelayanan medis seluruh rakyat sama, tidak terjadi diskriminasi, serta menghapus praktek korupsi maka pelaksanaan program JKN dengan mengacu pada 9 prinsip. Bagi Timboel, salah satu prinsip tersebut adalah gotong royong yang merupakan suatu hal tepat.

“Tentunya saat ini peserta JKN dapat menggunakan KTP yang berbasis NIK untuk mendapatkan pelayanan di faskes, tanpa harus membawa kartu KIS JKN lagi. Demikian juga untuk pelayanan Kesehatan tertentu seperti hemodialisa, peserta dapat menggunakan sidik jari, tanpa lagi harus memakai KTP atau Kartu KIS,” jelasnya.

Menurut Timboel, hal itu merupakan sebuah proses penyederhanaan akses peserta untuk mendapatkan layanan Kesehatan di faskes, dan proses ini terus dikembangkan untuk mendukung efisiensi biaya. Dengan proses ini, ke depan tidak perlu lagi membuat kartu KIS, karena dengan NIK saja sudah bisa dilayani.

“Jadi bila Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) meminta agar Pemerintah menanggung seluruh iuran JKN rakyat, maka prinsip gotong royong tidak terjadi. Hal ini akan bergantung sekali pada kemampuan fiskal Pemerintah yang akan berdampak pada defisit pembiyaan JKN,” paparnya.

Timboel menegaskan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sudah sangat tepat membiayai iuran JKN bagi masyarakat miskin sebagai Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), sesuai amanat Pasal 14 dan Pasal 17 UU SJSN.

“Saat ini memang ada masyarakat miskin yang dinonaktifkan kepesertaan JKN-nya oleh Kementerian Sosial dan Dinas Sosial, dan oleh karenanya seharusnya DKR meminta agar Kementerian sosial dan Dinas Sosial berkomunikasi langsung dengan masyarakat miskin ketika ingin mereview kepesertaan PBI-nya,” jelasnya.

“Bila sudah mampu maka harus diarahkan sebagai peserta mandiri, namun bila masih belum mampu iurannya terus ditanggung Pemerintah,” imbuh Timboel.

Prinsip Portabilitas

Timboel menjelaskan bahwa salah satu prinsip SJSN yang menaungi Program JKN adalah portabilitas, yaitu peserta JKN dapat dilayani di seluruh NKRI, sehingga tidak perlu khawatir bila peserta JKN sedang berada di luar tempat domisilinya.

“Prinsip SJSN lainnya adalah akuntalitas, keterbukaan dan dana iuran adalah dana amanat, memastikan seluruh penerimaan dan pembiayaan Kesehatan dalam program JKN diaudit secara terbuka oleh lembagau audit negara,” ujarnya.

Timboel mengatakan bahwa ada pemikiran DKR yang menginginkan BPJS Kesehatan di bawah Menteri Kesehatan sehingga Menteri Kesehatan bisa mengatur BPJS Kesehatan, hal itu bertentangan dengan amanat Pasal 7 ayat (1) UU SJSN yang mengamanatkan BPJS adalah badan hukum publik, yang mengelola Program JKN dengan independen dan profesional.

“Pelaksanaan program JKN yang dicampuri langsung oleh Menteri Kesehatan justru akan merugikan peserta JKN dan akan berpotensi terjadinya defisit pembiayaan JKN karena iuran masyarakat (dana amanat) berpotensi digunakan untuk membiayai program Pemerintah yang seharusnya dibiayai APBN dan APBD,” tegasnya.

“Selama ini pengelolaan JKN sudah baik, dan tidak ada terindikasi korupsi. Oleh karenanya, pelaksanaan JKN oleh BPJS Kesehatan harus terus diperkuat sehingga seluruh rakyat mendapatkan layakan yang semakin baik di program JKN,” tambah Timboel.

Dirinya mengatakan bahwa penting adanya dukungan Kementerian/Lembaga lain, seperti yang diamanatkan Inpres No. 1 tahun 2022 tentang optimalisasi program JKN. Timboel pun mengatakan bahwa Presiden harus mengevaluasi komitmen dukung kementerian/Lembaga lain yang diamanatkan Inpres No. 1 tahun 2022. (Liputan6.com)

Komentar