Jakarta, Karosatuklik.com – Pemerintah Filipina mengenakan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPs) atau safeguard measures terhadap ekspor mobil Indonesia.
Pengenaan tarif tambahan atau BMTPs itu membebani ekspor mobil Indonesia. Oleh sebab itu, Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi memastikan pemerintah akan berjuang membatalkan pengenaan BMTPs tersebut.
Perlu diketahui, BMTPs adalah tindakan yang diambil pemerintah suatu negara untuk memulihkan kerugian serius atau mencegah ancaman kerugian serius yang diderita oleh industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan jumlah barang impor
Lutfi menegaskan Filipina tak bisa begitu saja mengenakan BMTPs terhadap ekspor Indonesia. Pemberlakuan tarif itu harus didasari bukti yang kuat.
Kami akan terus melakukan berbagai langkah dan upaya agar Indonesia terbebas dari pengenaan BMTPs ini. Pemerintah Filipina seharusnya memiliki bukti kuat sebelum menerapkan pengenaan BMTPs terhadap produk otomotif Indonesia.
“Pengenaan BMTPs tersebut harus didasari bukti empiris yang kuat bahwa industri domestik Filipina mengalami kerugian serius akibat barang impor yang salah satunya berasal dari Indonesia,” ujar Lutfi dalam keterangan resmi Kemendag, Kamis (14/1/2021).
Sebelumnya, penyelidikan safeguard oleh Filipina mulai dilakukan pada 17 Januari 2020 berdasarkan permohonan dari Philippine Metal Workers Alliance (PMA), yaitu serikat pekerja yang anggotanya terdiri dari gabungan pekerja perusahaan otomotif di Filipina.
PMA mengklaim mengalami kerugian serius akibat lonjakan impor otomotif pada periode 2014-2018.
Setelah penyelidikan itu, Kementerian Perdagangan dan Industri (DTI) Filipina selaku otoritas penyelidikan menginformasikan bahwa pengenaan BMTPs akan berlaku selama 200 hari dimulai sejak dikeluarkannya customs order Filipina.
BMPTPs itu memang dikenakan terhadap semua negara yang mengekspor mobil ke Filipina. Dengan keputusan itu, setiap unit mobil penumpang atau passenger cars/vehicles dengan kode HS AHTN 8703 yang diekspor ke Filipina dikenakan tarif PHP 70.000 atau sekitar Rp 20 juta (kurs Rp 291), dan setiap unit kendaraan komersial ringan (light commercial vehicles) dengan kode HS AHTN 8704 dikenakan tarif PHP 110.00 atau sekitar Rp 32 juta. Tarif itu dibebani dalam bentuk cash bond.
Namun, mobil penumpang yang diekspor ke Filipina dalam bentuk completely knocked-down; semi knocked-down; kendaraan bekas; serta kendaraan untuk tujuan khusus seperti ambulans, kendaraan jenazah, kendaraan listrik, dan kendaraan mewah dengan harga di atas US$ 25 ribu (free on board) dikecualikan dalam pengenaan BMTPs. Selain itu, Indonesia juga dikecualikan/tidak menjadi subjek BMTPS untuk produk kendaraan kendaraan komersial ringan.
Menurut Lutfi, pengenaan BMTPs ini harus ditinjau ulang. Ia mengatakan, apabila ada lonjakan impor yang cukup besar di Filipina bisa saja disebabkan oleh hal lain.
“Saya harap penggunaan instrumen tindakan pengamanan dan pengenaan BMTPs harus dipertimbangkan secara matang, karena instrumen ini pada dasarnya hanya dapat digunakan sebagai tindakan pengamanan darurat (emergency measures) pada lonjakan impor yang diakibatkan hal-hal yang tidak terduga (unforeseen development) dan mengakibatkan kerugian serius pada industri domestik,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Didi Sumedi mengatakan, pemerintah Indonesia sudah mengambil langkah terhadap kebijakan pemerintah Filipina.
“Pemerintah Indonesia sudah mengambil langkah dan akan tetap menyampaikan keberatannya pada berbagai forum atas pengenaan BMTPs oleh Filipina tersebut. Kami telah menyampaikan keberatan dan pembelaan tersebut secara formal,” tegas Didi.
Menurutnya, argumen yang digunakan otoritas Filipina dalam pengenaan BMTPs ini sangat lemah dan tidak sejalan dengan kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Hal tersebut dapat menjadi poin pertimbangan otoritas Filipina untuk meninjau ulang penyelidikan safeguard yang saat ini masih berlangsung.
“Diharapkan penyelidikan ini dihentikan dan bea masuk tindakan pengamanan/safeguard measure yang bersifat definitif tidak dikenakan Filipina,” pungkas Didi. (Dtc)