Jakarta, Karosatuklik.com – Angka golput atau tidak memilih di Pulau Jawa hampir mencapai 50 persen. Apa alasan mereka tidak memilih pada Pilkada kali ini?
Pilkada 2024 telah dilaksanakan secara serempak pada Rabu, 27 November lalu. Berdasarkan hasil quick count yang dilakukan oleh Litbang Kompas, Provinsi DKI Jakarta mencatatkan tingkat partisipasi pemilih yang rendah.
Angka golput di Jakarta diketahui mencapai 42,07 persen, membuat provinsi ini sebagai provinsi dengan tingkat golput tertinggi di Pulau Jawa.
Angka ini disusul dengan Jawa Barat dengan 33,66 persen golput, Jawa Timur sebesar 30,15 persen, dan Jawa Tengah sebesar 26,44 persen.
Samsul Arifin selaku Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) mengatakan, hasil data ini menunjukkan jika meskipun Pulau Jawa merupakan wilayah dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia, tingkat partisipasi pemilih di beberapa provinsi utama di wilayah ini masih menjadi tantangan.
Penyebab Angka Golput Pilkada di Pulau Jawa Tinggi
Menurut Ari, ada beberapa penyebab angka golput di pulau padat penduduk ini tergolong tinggi, seperti kurangnya kepercayaan terhadap proses politik, kendala teknis dalam pemungutan suara, hingga kurangnya informasi yang diterima oleh pemilih terkait pentingnya partisipasi dalam pemilu.
Selain itu, sebagian masyarakat cenderung bersikap skeptis terhadap proses pemilihan itu sendiri. Proses tersebut kerap dianggap jauh dari nilai-nilai kejujuran, transparansi, dan integritas.
“Dalam pandangan mereka, berbagai dugaan kecurangan, manipulasi, dan ketidakadilan dalam penyelenggaraan pemilu telah menciptakan persepsi negatif yang mendalam,” tegasnya dalam laman UM Surabaya.
Kata Ari, pandangan ini mencerminkan ketidakpercayaan yang signifikan terhadap sistem demokrasi, di mana idealnya suara rakyat menjadi penentu utama.
“Ketidakpercayaan ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kurangnya keterbukaan dalam proses penghitungan suara, isu-isu terkait politik uang, atau intervensi kekuatan tertentu yang dianggap merusak independensi pemilu,” tegas Ari lagi.
Praktik Politik Uang
Ari juga mengungkapkan salah satu faktor utama yang memperparah rendahnya partisipasi pemilih adalah praktik politik uang. Menurutnya, fenomena ini telah menjadi masalah yang sulit untuk diatasi karena telah mengakar dalam budaya politik di berbagai daerah.
“Politik uang tidak hanya menciptakan ketergantungan, tetapi juga merusak nilai-nilai demokrasi, di mana suara rakyat seharusnya menjadi murni dan bebas dari pengaruh materi,” katanya.
Kata Ari, masih banyak masyarakat yang akhirnya enggan datang ke tempat pemungutan suara (TPS) jika tidak ada iming-iming uang atau hadiah tertentu. Mereka merasa jika partisipasi mereka tidak berarti apa-apa tanpa adanya kompensasi langsung.
“Suara rakyat yang seharusnya menjadi instrumen demokrasi justru tereduksi menjadi sekadar komoditas yang bisa diperjualbelikan,” tegasnya.
Fenomena ini memunculkan keprihatinan akan semakin menurunnya partisipasi publik dalam menentukan arah kebijakan negara, terutama di wilayah kota seperti Jakarta.
“Sehingga perlu dilakukan evaluasi menyeluruh, baik dari sisi teknis penyelenggaraan pemilu maupun pendekatan sosialisasi kepada masyarakat, agar tingkat partisipasi pemilih di masa mendatang dapat meningkat secara signifikan,” pungkasnya. (Dtc)
Komentar