Jelang Peringatan 1 Abad Nahdlatul Ulama, Tetap Netral di Tahun Politik?

Catatan Redaksi1108 x Dibaca

Jakarta, Karosatuklik.com – Nahdlatul Ulama akan memasuki usia 1 Abad dan puncak peringatannya akan digelar di GOR Delta Sidoarjo pada 7 Februari 2023. Bukan hanya sekedar perayaan, organisasi yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari pada 31 Januari 1926 itu tentu akan menjadi salah satu sorotan di tahun politik di Pemilu 2024.

Sebagai sebuah organisasi besar, NU memiliki kekuatan menggerakan massa, yang tentu saja berdampak pada suara bagi para calon yang mendekatinya.

Lihat saja, terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden yang menjabat sebagai Rais Aam PBNU, bisa jadi sebagai gambaran besar bahwa ada keterwakilan NU. Bahkan, hingga hari ini, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, juga tak mau melepas label NU di partainya.

Di luar itu ada nama-nama yang digadang-gadang jadi tokoh di Pemilu 2024, mendekati NU. Sebut saja Menteri BUMN Erick Thohir yang kini menjabat sebagai Ketua Panitia Pengarah (Steering Committee) Peringatan satu abad NU, bahkan sudah menyandang Anggota Kehormatan Banser Ansor NU, diprediksi bisa mendapat dukungan dari para Nahdliyin.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia yang juga akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno memandang wajar jika banyak tokoh mendekati NU, karena organisasi tersebut memang paling berpengaruh bukan hanya soal politik elektoral, tapi juga soal politik kebangsaan.

“Dari segi politik kebangsaan, narasi keagamaan NU itu kan Islam yang moderat, yang tidak menentangkan antara Islam dan Pancasila, tidak mempertentangkan Islam dan demokrasi. Dengan kata lain bahwa paham yang disampaikan, paham yang diamalkan dalam tradisi keagamaan NU adalah Islam moderat. Menghargai pluralisme, toleransi diantara berbagai suku bangsa berbeda-beda, dan itu yang membuat tarikan nafas politiknya selalu memiliki kesamaan narasi besar,” jelas dia kepada Liputan6.com, Selasa (31/1/2023).

Dari sisi politik elektoral, NU memang dikenal paling banyak didekati para calon atau kandidat baik itu di tingkatan Pileg, Pilkada, maupun Pilpres. Basisnya pun tersebar di seluruh wilayah Indonesia bahkan sampai ke pelosok.

“Jadi wajar jika banyak partai dan calon berlomba-lomba mendekati NU, menjadi bagian dari NU, atau merasa dekat dengan NU. Itu menjadi penting, padahal NU tidak berpolitik tapi kesan dekat dengan NU menjadi penting,” ungkap Adi.

Dia menegaskan, pada prinsipnya NU sebenarnya netral dalam urusan politik elektoral, bahkan secara organisasi pun sama.

Di era kepemimpinan KH Yahya Cholil Staquf pun, NU mencoba menjadi rumah besar bagi semua pihak.

“NU kan mengayomi juga rekan yang di PDIP, mengayomi juga yang ada di Golkar, mengayomi juga yang ada di PPP, di NasDem, Demokrat, jadi begitu. Selama ini kan seakan-akan NU menjadi kendaraan politiknya PKB, karena memang melihat sejarahnya, PKB memang lahir dari rahimnya NU, tapi ada upaya dari Gus Yahya untuk menetralisir supaya NU tidak hanya partisan partai politik tertentu,” kata Adi.

Meski demikian, dia menyebut NU akan selalu mendukung calon, dalam hal calon presiden yang tak bertentangan dengan visi dan misi organisasinya.

“Yang dinilai punya tarikan nafas politik kebangsaan yang sama. Kalau ada capres yang dinilai agak ekstrem, dekat dengan kelompok-kelompok radikal, pasti tidak didukung oleh NU karena NU tidak begitu mazhab politiknya. NU itu, ya moderat,” jelas Adi.

“Jadi apapun aliran politiknya, apapun agama dan sukunya, apapun partainya, selama menjunjung toleransi dan pluralisme pasti akan didukung oleh NU. Jadi, dukung itu bukan orang tapi pada nilainya,” sambungnya.

Senada, Direktur Eksekutif Indonesia Political Power, Ikhwan Arif memandang, semakin besar NU. tantangan sosial dan politik juga berbanding lurus. Karena NU memiliki basis massa yang kuat, sehingga tidak heran akan ada pihak yang berusaha mendekati.

“Memang banyak politisi atau partai politik yang dekat dengan NU karena suatu hal yang lumrah ketika ada kader-kader NU sendiri yang merupakan sumber daya utama NU terjun ke dalam politik praktis. Jadi ada benang merah yang memisahkan antara NU dan keterlibatan politisi dalam upaya mengasosiasikan diri dengan NU,” kata dia kepada Liputan6.com, Selasa (31/1/2023).

“Apalagi di tahun politik suatu hal yang wajar terjadi meskipun NU secara terang-terangan netral dan tidak terlibat dalam politik praktis, justru politisi sendiri yang akan mendekatkan diri, palagi politisi itu sendiri bagian dari organ NU,” sambungnya.

Arif menegaskan, selama ini NU selalu menunjukkan netralitasnya dalam menghadapi konstelasi pemilu, akan tetapi sulit dihindari ketika darah NU sendiri mengalir di beberapa organisasi politik atau partai politik.

“Sejauh ini kita hanya bisa melihat netralitasnya NU secara kelembagaan meskipun darah NU itu sendiri tersebar luas di beberapa partai politik atau organisasi sosial politik yang mempunyai pengaruh besar dalam konstelasi Pemilu 2024,” jelas dia.

Menurutnya, NU harus bisa menempatkan diri dalam menghadapi pemilu di 2024 karena begitu besarnya organisasi NU secara kuantitas bisa saja di mobilisasi secara tersembunyi oleh politisi untuk mendulang suara di kantong-kantong pemilih NU.

“Inilah yang merupakan faktor utama NU selalu menjadi incaran organisasi politik seperti partai politik dalam merebut suara NU namun perolehan suara akan tersebar luas dalam porsi masing-masing kekuatan NU di berbagai daerah. Apabila darah NU-nya kuat akan berdampak besar dalam perolehan suara sebaliknya apabila darah NU nya lemah akan berpengaruh juga dalam perolehan suara,” tegas Arif.

Kembali ke Jalur

Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago memandang, saat ini adalah tahun keemasan bagi NU, sehingga wajar jika ada tarik menarik kepentingan untuk mendapatkan efek elektoral.

“NU mempunyai bargaining yang kuat dan luar biasa. Punya kesejarahan yang panjang,” jelas dia, Selasa (31/1/2023).

Meski tak bisa lepas dari politik, kata Pangi, NU harus menunjukan entitasnya sebagai organisasi sosial ketimbang menjadi kendaraan politik elektoral dan kepentingan pragmatisme.

“Saya pikir NU bisa netral. Bisa saja, dalam arti tidak menjadi secara kepengurusan dan lembaga, NU tidak memutuskan mendukung siapapun, bagus sebetulnya,” kata dia.

Namun, jika ada kader-kader NU yang secara pribadi mendukung, itu susah juga. Karena itu, diharapkan NU yang rawan dijadikan komoditas politik bisa menolak tawaran dan tidak mau terjebak ke agenda politik pragmatis dan transaksional

“Baiknya NU kembali lagi ke trayek rute lama yakni dengan memperkuat kembali khitah NU 1926. Jadi walaupun NU punya sejarah sebagai organisasi Islam yang Punya DNA Politik namun sesuai dengan anjuran Ketua PBNU Gus Yahya agar NU tidak lagi terlibat agenda politik pragmatis. Apalagi katanya Gus Yahya enggak mau lagi turun ke gelanggang politik pragmatis dan transaksional,” pungkasnya.

Berjalan Sebagaimana Mestinya

Ketua PBNU Ahmad Fahrur Rozi atau Gus Fahrur mengatakan, meski 1 Abad NU beririsan dengan tahun politik, dia menegaskan lembaganya tidak akan kemana-mana.

“NU tetap konsen sebagai organisasi sosial keagamaan. Artinya kita menarik garis yang lurus tentang komitmen organisasi ini, supaya tidak tercerai-berai, dukung-mendukung dalam kontestasi pilkada atau pilpres, pileg. Ketua umum PBNU sudah menyatakan NU tak boleh ditarik kemana-mana. NU akan fokus pelayaan masyarakat, jemaah dan kerja sosial,” kata dia kepada Liputan6.com, Selasa (31/1/2023).

Gus Fahrur menegaskan, meski banyak warga NU di partai politik, itu bukan berarti bisa menarik secara kelembagannya untuk terjun ke politik elektoral.

“Anak-anak NU itu dipersilahkan (masuk) berbagai partai. Yang penting dia tak menyeret lembaga NU di kampanye, baik itu pileg maupun pilpres. NU enggak boleh dibawa. Kalau ada orang berkiprah di politik, dia harus bawa dirinya sendiri,” ungkap dia.

Menurut Gus Fahrur, ini bentuk komitmen PBNU. Bahwa, pihaknya sudah punya garis lurus dan harus dihormati semua pihak.

“Kita berkomitmen untuk tidak membawa NU ke mana-mana. NU harus tetap di relnya, ibarat kereta api tidak boleh dibajak. Sudah punya garis lurus, sudah punya landasan dan gerak. momen-momen politik itu hanya boleh dilakukan person-person,” jelas dia.

Dia menegaskan, 1 Abad NU ini adalah momentum untuk melakukan penguatan organisasi, baik ke dalam maupun ke luar. Dan menjadi momentum melakukan konsolidasi.

“Kita harus berbuat untuk negara. Mengawal keberagaman, menjaga perdamaian dunia, dan juga memajukan bangsa. Dan ini termausk penguatan terhadap organisasi kita,” jelas Gus Fahrur.

Selain itu, dia menegaskan, akan terus memperkuat basis NU, serta membangun jaringan di daerah.

“Ini dalam rangka untuk memperkuat NU lebih baik lagi,” tukasnya.

Hal ini diamini oleh tokoh senior NU KH Masdar Farid Mas’udi menegaskan, PBNU sedari dulu sudah bersikap netral dan tak akan pernah berubah.

“Pada prinsipnya tentang hal itu, NU mengambil netral,” jelas dia.

KH Masdar pun mengingatkan, bahwa NU bukanlah partai politik. Karena itu, pihaknya fokus pada keagamaan dan masalah sosial.

“NU bukan organisasi atau partai politik. NU adalah organisasi sosial keagamaan,” pungkasnya.

Saling Klaim

Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jazilul Fawaid menyampaikan, PBNU berperan besar tidak hanya bagi bangsa Indonesia melaikan juga bagi lahirnya PKB.

Oleh karena itu ia menilai antara PBNU dan PKB tidak bisa dipisahkan.

“Jangan ingkari sejarah, PBNU lah yang membidani lahirnya PKB. Memisahkan NU dan PKB itu sama dengan melawan sejarah, mustahil,” kata Jazilul saat dikonfirmasi Liputan6.com, Selasa (31/2023).

Di usia PBNU yang kian matang, PKB berharap PBNU tetap menjaga komitmen kebangsaan dan PKB akan tetap berkomitmen pada PBNU juga.

“Dan dalam usia satu Abad NU, PKB akan tetap berkomitmen berkhidmah pada NU sampai kapanpun. Sebab itu tanggung jawab sejarah kelahiran PKB,” jelas dia.

Terkait netralitas PBNU di Pemilu 2024, lanjut Jazilul, ia justru menduga ada oknum penyusup di PBNU saat ini yang bertujuan mendukung suatu kelompok tertentu, namun ia tidak menyebutkan nama penyusup tersebut.

“Nah, Justru yang perlu diwaspadai saat ini, disinyalir adanya penyusup ditubuh PBNU, yang bermain untuk kepentingan kelompok tertentu,” pungkasnya.

Meski demikian, Wakil Ketua PPP Arsul Sani menyatakan peran besar NU bagi bangsa tidak terbantahkan.

“NU ormas Islam terbesar di tanah air telah memberikan sumbangsih yang luar biasa pada bangsa ini bahkan sejak sebelum kita merdeka. Kemudian jika kita bicara peran setelah kemerdekaan, tak seorangpun bisa membantah NU adalah ormas Islam penjaga keutuhan 4 konsensus bernegara ini (Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika),” kata Arsul pada Liputan6.com, Selasa (31/1/2023).

PPP menilai PBNU berhasil merekatkan elemen bangsa dan menjaga keberagaman.

“Yang menggambarkan kemajemukan bangsa ini shg bangsa ini tdk terpecah belah lewat ajaran Islam moderat juga peran menjaga bangsa dan negara ini dari ancaman kelompok radikal yang cenderung intoleran,” ungkapnya.

Terkait NU yang kerap disandingkan dengan PKB, Arsul menegaskan NU bukan hanya PKB saja, melainkan partai lain yang bernafas NU seperti PPP.

“Dalam konteks politik, kaitan NU itu bukan hanya dengan PKB saja. Bahkan puluhan tahun sebelumnya ketika NU tidak lagi menjalankan perannya secara langsung sebagau parpol, maka NU-lah yang justru berperan dan terkait dengan PPP. NU adalah pendiri dengan saham terbesar di PPP,” kata dia.

“Jadi kalau kemudian peran politik NU itu hanya dikaitkan satu partai saja, yakni PKB, maka itu sama saja mengerdilkan kebesaran dan kekuatan NU. Faktanya pun warga NU yang nota bene berjumlah lebih dari 100 juta di negara ini, sedang pemilih PKB tidak sampai 15 juta, itu artinya malah mayoritas warga NU yang punya hak pilih lebih tersebar di berbagai partai termasuk di PPP,” sambungnya.

Terkait netralitas NU di tahun politik, PPP berharap bisa menjga jarak dengan parpol atau kekuatan politik tertentu.

“Netralitas NU itu seyogianya dimaknai sbg sikap organisasi yang menjaga jarak yang relatif sama dengan semua kekuatan politik serta memberikan kebebasan dan keleluasaan kepada kaum Nahdhiyin untuk bergabung di kekuatan politik manapun sepanjang kekuatan politik itu bukan kelompok yang jauh dari Islam ahlus sunnah wal jamaah,” kata Arsul.

Wakil Ketua MPR itu mengakui NU sangat rawan dipolitisasi, namun ia yakin pimpinan PBNU saat ini mampu menjaga sikap.

“NU memang bisa jadi rawan dipolitisasi. Tapi saya melihat PBNU saat ini dibawah duet Rais Aam KH Miftahul Akhyar dan Ketum PBNU KH Yahya Staquf akan bisa mengelola politisasi NU itu dengan baik,” pungkasnya. (R1/Liputan6.com)