Jakarta, Karosatuklik.com – Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) menegaskan bahwa pemerintah berkewajiban untuk menanggung semua pembiayaan pasien COVID-19.
Hal ini seperti tertera dalam Undang-Undang Wabah Penyakit Menular.
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes, Abdul Kadir mengatakan bahwa peran BPJS Kesehatan hanya membantu Kemenkes untuk melakukan verifikasi klaim untuk dibayarkan.
“Tidak dibenarkan pada masyarakat membayar atau juga tidak dibenarkan ada rumah sakit yang menarik uang dari pasien COVID-19,” ujarnya dalam diskusi virtual Forum Merdeka Barat 9 dikutip pada Kamis (28/1/2021).
Namun, Abdul Kadir mengatakan bahwa ada beberapa pertimbangan yang mengharuskan pasien dan keluarganya membayar biaya perawatan. Misalnya, keinginan pasien dan keluarga untuk mendapatkan layanan yang lebih sehingga naik kelas.
Misalnya naik kelas dari yang seharusnya ditanggung pemerintah, kemudian minta naik kelas I, VIP, atau Super VIP, tentunya ini ada selisih. Selisih ini yang kadang-kadang dimintakan kepada pasien,” Abdul Kadir menjelaskan.
Obat-Obatan yang Mahal
Selain itu, Abdul Kadir mengatakan bahwa diharapkan semua rumah sakit memberikan pengobatan yang sesuai dengan petunjuk, aturan, dan strategi tata laksana pengobatan yang telah dikeluarkan Kemenkes.
“Cuma kadang-kadang di dalam penanganan-penanganan yang sangat kritis seperti di ICU, kadang-kadang memang diberikan obat-obat yang sangat mahal, ini yang kadang-kadang dimintakan persetujuan pasien,” ujarnya.
“Itu yang kadang-kadang oleh rumah sakit-rumah sakit dimintakan pembayaran kepada pasiennya.”
Meski begitu, terkait dengan aturan, Abdul Kadir menegaskan sekali lagi bahwa pasien COVID-19 menjadi tanggung jawab pemerintah.
“Kita sesuai dengan aturan bahwa seorang pasien COVID-19 itu menjadi tanggung jawab pemerintah. Karena ini yang mengatur adalah perintah dari undang-undang wabah yang memang kita pegang sampai sekarang.”
RS Berharap Obat Mahal Bisa Dibayar Pemerintah
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama RS BUMN Pertamedika Fathema Djan Rachmat mengungkapkan bahwa terdapat beberapa obat-obatan yang harganya sangat mahal seperti monoklonal antibodi yang banyak digunakan dan memberikan hasil yang cukup baik bagi pasien.
“Kami memang meminta kepada Kementerian Kesehatan, sebenarnya kalau obat-obat seperti ini bisa ditambahkan dan dibayar oleh Kementerian Kesehatan mungkin akan sangat baik sekali,” ujarnya.
“Jadi kita tidak perlu meminta persetujuan dari keluarga pasien, ketika pasien meminta diberikan obat-obatan monoklonal antibodi atau inhibitor interleukin 6.”
Fathema mengatakan, obat-obatan semacam itu harganya sangat mahal dan bisa melebihi harga perawatan satu hari. (Liputan6.com)