Korupsi Menggurita, Silih Berganti dan Tumbuh Dimana-mana, Jaksa Agung: Tak Ada Alasan Tidak Terapkan Hukuman Mati Koruptor

Nasional1229 x Dibaca

Jakarta, Karosatuklik.com – Jaksa Agung Burhanuddin mengatakan, aktivis HAM mendapat dukungan dari dunia internasional yang mendorong setiap negara untuk menghapus regulasi hukuman mati. Dengan dalih jika hak hidup merupakan hak mutlak yang tidak dapat dicabut oleh siapa pun kecuali oleh Tuhan.

“Penolakan para aktivis HAM ini tentunya tidak dapat kita terima begitu saja. Sepanjang konstitusi memberikan ruang yuridis dan kejahatan tersebut secara nyata sangat merugikan bangsa dan negara, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menerapakan hukuman mati,” kata Burhanuddin dalam webinar yang digelar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman secara daring, Kamis (18/11/2021).

Burhanuddin mengatakan, perlu disadari bahwa eksistensi ‘hak asasi’ haruslah bergandengan tangan dengan ‘kewajiban asasi’. Dengan kata lain, negara akan senantiasa melindung hak asasi setiap orang. Namun, di satu sisi, orang tersebut juga memiliki kewajiban untuk menghormati hak orang lain.

Lebih lanjut, dia menjelaskan, peletakan pola dasar hukum Pancasila dengan menekankan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban merupakan sebuah keharusan agar tercipta tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. “Dalam Pasal 28 I Ayat (1) UUD 1945, hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun,” katanya.

Namun, dia melanjutkan, jika dilihat dari sistematika penyusunan pasal-pasal yang mengatur tentang perlindungan HAM di dalam UUD 1945, akan tampak adanya suatu pembatasan HAM yang tertuang di pasal penutupnya. Ketentuan dalam Pasal 28 J ayat (1) UUD 1945 telah mewajibkan setiap orang untuk menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Korupsi Menggurita, Silih Berganti dan Tumbuh Dimana-mana, Jaksa Agung: Tak Ada Alasan Tidak Terapkan Hukuman Mati Koruptor

Kemudian dalam pasal penutup HAM, yaitu di Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945, menegaskan jika HAM dapat dibatasi dan bersifat tidak mutlak. “Negara dapat mencabut HAM setiap orang apabila orang tersebut melanggar undang-undang,” kata Burhanddin menegaskan.

Dengan demikian, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 tersebut, penjatuhan sanksi pidana mati untuk koruptor yang selama ini terhalangi oleh persoalan HAM dapat ditegakkan.

Persoalan lain dalam penerapan hukuman mati terhadap koruptor, adanya pandangan yang menghendaki dihapuskannya sanksi pidana mati dengan argumentasi bahwa adanya sanksi pidana mati tidak menurunkan kuantitas kejahatan.

Pandangan tersebut ‘dilawan’ oleh Burhanuddin dengan sebuah pertanyaan serupa secara a contrario, yaitu apabila sanksi pidana mati untuk koruptor dihapuskan, apakah lantas akan terjadi penurunan kuantitas tindak pidana korupsi?”

“Mengingat perkara korupsi belum ada tanda-tanda hilang dan justru semakin meningkat kuantitasnya, maka sudah sepatutnya kita melakukan berbagai macam terobosan hukum sebagai bentuk ikhtiar pemberantasan korupsi,” kata Burhanuddin.

Meski begitu, Burhanuddin menyebutkan, penerapan hukuman mati bagi para koruptor perlu dikaji lebih dalam untuk memberikan efek jera. Selama ini kejaksaan telah melakukan beragam upaya penegakan hukum.

Misalnya, menjatuhkan tuntutan yang berat sesuai tingkat kejahatan, mengubah pola pendekatan dari follow the suspect menjadi follow the money dan follow the asset, serta memiskinkan koruptor.

Namun, ternyata efek jera hanya mengena para terpidana untuk tidak mengulangi kejahatan. Efek jera ini belum sampai ke masyarakat, karena koruptor silih berganti, dan tumbuh di mana-mana.

Sebelumnya, Jaksa Agung menggulirkan wacana hukuman mati terhadap koruptor, berkaca dari dua kasus megakorupsi, yakni pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT ASABRI dan PT Asuransi Jiwasraya. Kedua kasus korupsi tersebut berdampak besar bagi masyarakat luas, terutama pegawai dan anggota asuransi tersebut.

Kerugian negara yang ditimbulkan sangat besar, yakni Rp 16,8 triliun untuk kasus Jiwasraya dan Rp 22,78 triliun di kasus ASABRI. Selain itu, terdapat dua terdakwa yang sama di dua kasus tersebut, yakni Benny Tjockrosaputro dan Heru Hidayat.

Fenomena korupsi menggurita

Burhanuddin mengatakan, gagasan untuk menghukum mati koruptor adalah bentuk manifestasi kegalauan pemberantasan korupsi. “Mengapa ribuan perkara sudah diungkap dan ribuan pelaku korupsi telah dipidana, tetapi justru kualitas dan tingkat kerugian negara justru semakin meningkat,” katanya.

Dia mengatakan, satu hal yang harus direnungkan bersama, ternyata efek jera hanya mengena para terpidana untuk tidak mengulangi kejahatan. Efek jera ini belum sampai ke masyarakat, karena koruptor silih berganti, dan tumbuh dimana-mana.

Menurut Burhanuddin yang mendapat gelar profesor dari Universitas Soedirman tersebut, tujuan dari efek jera adalah agar para pelaku tindak pidana korupsi tidak mengulangi perbuatannya. Hal itu terbukti cukup berhasil dengan sedikitnya koruptor mengulangi perbuatan korupsinya.

Akan tetapi, keberhasilan efek jera bagi koruptor tidak berdampak bagi masyarakat. Hal ini terbukti fenomena korupsi di Indonesia saat ini justru semakin menggurita, akut, dan sistemik, serta pandemi hukum yang telah masuk di setiap lapisan masyarakat.

Warning bagi Koruptor

“Ancaman penjeraan terberat dari perbuatan korupsi adalah hukuman mati. Ke depan perlu melakukan terobosan pemidanaan ini sebagai tonggak pemberantasan korupsi dan sebagai media pembelajaran bagi masyarakat untuk jangan sekali-kali melakukan perbuatan korupsi,” kata Burhanuddin.

Ia mengatakan, pengaruh sanksi pidana bukan semata-mata ditunjukan pada pelaku kejahatan, melainkan juga untuk mempengaruhi norma-norma masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan. “Perlu dipikirkan efek jera yang bagaimana yang dapat menjadi warning bagi masyarakat untuk tidak melakukan perbuatan korupsi,” ujarnya.

Burhanuddin menambahkan, satu insturmen yang patut dipertimbangkan untuk diterapkan dalam insturmen pidana mati yang merupakan jenis pemidanaan yang terberat. “Saya menaruh harapan khususnya bagi para sivitas akademika untuk dapat ikut andil memberikan kajian sumbangsih, saran, solusi ke aparat penegak hukum untuk dapat menerapkan hukuman mati bagi koruptor,” kata Burhanuddin.

“Saya yakin pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia akan semakin baik, tegas, dan terukur. Tentunya harapan bagi kita semua, Indonesia akan bebas dari pandemi hukum yang bernama korupsi ini,” ujarnya. (Antara)

Baca juga: Jaksa Agung Wacanakan Kajian Hukuman Mati Koruptor: KPK Setuju, ICW dan Anggota Komisi III DPR Sebut Bukan Solusi