Oleh: Sutrisno Pangaribuan Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas) dan Suparmanto Pangaribuan Presidium Anti Begal Demokrasi Indonesia (ABDI)
Jakarta, Karosatuklik.com – Beberapa waktu yang lalu, terjadi perdebatan sengit antara kelompok pro sistem pemilu terbuka dan pro sistem pemilu tertutup. Salah satu materi yang dibahas tentang liberalisasi demokrasi menjelang Pemilu 2024.
Kelompok pro sistem tertutup menuduh sistem terbuka menyuburkan praktik politik uang secara massif melibatkan masyarakat. Sebaliknya pro terbuka menuduh sistem pemilu tertutup sengaja dirancang agar praktik politik uang berlangsung eksklusif, hanya dinikmati segelintir orang sebagai elit parpol.
Darurat Praktik Politik Uang
Keinginan memenangkan kompetisi demokrasi memaksa para peserta pemilu menggunakan politik uang untuk memengaruhi hasil Pemilu. Sementara pihak lain, hanya akan mengaku kalah dengan alasan kurang uang, logistik, atau “peluru”. Akibatnya, para kontestan hanya sibuk memamerkan “isi tas” daripada “isi kepala, dan kapasitas”. Sehingga ide, gagasan, dan program politik para kontestan kering, dan kosong dari kebutuhan dan kepentingan rakyat.
Pengaruh politik uang ternyata tidak hanya mengalir ke pemilih, namun juga ke oknum penyelenggara dan pengawas Pemilu. Aliran yang sama juga sampai ke oknum penyelenggara pemerintahan yang tidak mau ketinggalan. Para oknum abdi negara juga ikut bermain, baik dari tingkat desa/ kelurahan, kecamatan hingga tingkat pusat. Sehingga hampir semua peserta Pemilu selalu akan mencari cara “berteman akrab” dengan oknum penyelenggara dan pengawas Pemilu, serta oknum penyelenggara pemerintahan di semua tingkatan.
Keberadaan Bawaslu RI secara berjenjang dari tingkat pusat hinga TPS, baik permanen, maupun adhoc sejatinya dirancang dan dibentuk untuk mengawasi penyelenggaraan dan penyelenggara Pemilu. Namun ternyata lembaga negara ini juga tidak berdaya menghadapi “serangan fajar”.
Praktik politik uang sangat terbuka, dilakukan melalui tokoh formal dan non formal di masyarakat. Bahkan setiap kali menjelang Pemilu, baik Pileg, Pilpres, Pilkada, dan Pilkades, akan ada aksi pengumpulan data para pemilih oleh para tim sukses. Data pemilih tersebut akan ditukar dengan uang, sembako, atau bentuk lainnya. Pemberian uang dapat diberi dengan lunas maupun bertahap.
Di dalam Bawaslu yang hakikatnya sebagai lembaga dalam mengawasi penyelenggara dan penyelenggaran pemilu, juga terdapat oknum yang terlibat praktik politik uang. Bahkan tidak sedikit oknum yang berakhir disidang dalam sidang dugaan pelanggaran kode etik oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Lemahnya kewenangan penindakan dijadikan kambing hitam atas massifnya politik uang. Praktik politik uang dianggap hanya dapat ditindak oleh sentra penegakan hukum terpadu (Gakkumdu). Sementara Gakkumdu sendiri baru akan bertindak jika ada laporan dan pengaduan.
Terbaru, saat ini sedang berlangsung seleksi penyelenggara pemilu untuk mengisi struktur dan formasi penyelenggara dan pengawas pemilu tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Proses seleksi yang dilakukan oleh tim seleksi yang dibentuk secara nasional disinyalir kuat dipengaruhi oleh parpol melalu oknum anggota Komisi II DPR RI. Proses rekrutmen tim seleksi tidak transparan, bahkan cenderung didasari pada afiliasi politik terhadap parpol, ormas, OKP, dan organisasi kemahasiswaan.
Para timsel diduga melakukan seleksi berdasarkan hasil identifikasi afiliasi para calon terhadap asosiasi- asosiasi tersebut. Selain itu, proses seleksi juga diduga menggunakan transaksi politik berupa pemberian hadiah atau janji, baik berupa uang, barang, bentuk lainnya, dan, atau komitmen “mengamankan suara” dalam pemilu.
Dalam kondisi darurat tersebut, parpol seharusnya menjadi satu-satunya pihak yang paling bertanggung jawab atas “politik uang”. Karena sutradara, aktor, dan pelakunya; yakni caleg, capres/ cawapres, dan cakada/ cawakada adalah bagian dari Parpol. Namun alih-alih mau mengaku bersalah, Parpol justru menuduh rakyat penyebab dan penerima manfaatnya. Akhirnya hingga saat ini, tidak ada satu pun parpol yang berani secara terbuka, mengaku bersalah dan meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia.
Praktik politik uang sesungguhnya sama berbahayanya dengan politik identitas. Politisasi suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) serta eksploitasi ikatan-ikatan primordial lainnya merendahkan harkat dan martabat manusia.
Demikian juga dengan praktik suap untuk memengaruhi hasil Pemilu, baik kepada oknum penyelenggara, pengawas dan pemilih, dan oknum pemerintah adalah tindakan buruk terhadap manusia merdeka. Para pelakunya seharusnya dapat dijerat dengan tuduhan pelanggaran HAM. Sebab adanya upaya sistematis memengaruhi hasil Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil seharusnya masuk kategori pelanggaran HAM.
Ulama Harus Keluarkan Fatwa Haram
Jika negara melalui pemerintah dan alat negara lainnya, beserta penyelenggara, dan pengawas Pemilu tidak berdaya menghadapinya, maka ulama dan pemimpin agama harus turun tangan. Ulama dan pemimpin agama harus menjadi suluh penerang bagi kegelapan praktik politik uang.
Maka Kongres Rakyat Nasional (Kornas) sebagai wadah berhimpun dan berjuang rakyat dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia bersama Anti Begal Demokrasi Indonesia (ABDI) sebagai gerakan rakyat anti politik uang dalam demokrasi Indonesia menyampaikan pandangan dan sikap sebagai berikut:
Pertama, bahwa saatnya Indonesia menyatakan perang terhadap musuh demokrasi, berupa politik uang, begal demokrasi, eksploitasi SARA dan ikatan- ikatan primordial yang merusak kualitas Pemilu Indonesia.
Kedua, bahwa negara diminta untuk memfasilitasi kelompok ulama semua agama dan penganut aliran kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa dalam aksi dan sosialisasi melawan politik uang dalam pemilu. Fasilitasi dalam bentuk dukungan dana, aset, dan akses harus disediakan oleh pemerintah untuk mendukung para ulama.
Ketiga, bahwa sebagai lembaga penjaga moral bangsa, ulama dan pemimpin agama MUI, PBNU, PP Muhammadiyah, PGI, KWI, PHDI, WALUBI, MATAKIN dan perwakilan penganut aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa diminta segera menerbitkan “fatwa haram” dan larangan pemberian dan penerimaan uang dalam Pemilu.
Keempat, bahwa ulama dan pemimpin agama diminta juga untuk menerbitkan “fatwa haram memilih” peserta pemilu yakni, Parpol (caleg), calon perseorangan, pasangan calon presiden / wakil presiden, kepala/ wakil kepala daerah. Pelaku politik uang sebagai begal demokrasi harus mendapat sanksi moral, haram untuk dipilih.
Kornas dan ABDI meyakini bahwa penerbitan fatwa haram dari ulama dan pemimpin agama, akan membantu kita memperbaiki kualitas Pemilu. Jika para pelaku kejahatan Pemilu tidak takut penjara, mereka mungkin masih takut jika tidak masuk surga. ®