Jakarta, Karosatuklik.com – Praktik premanisme dan pungutan liar (pungli) di pelabuhan jadi sorotan publik. Hal ini bermula dari perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo readyviewed untuk menindak preman dan pelaku pungutan liar di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, karena kerap mengganggu supir truk.
Bagi masyarakat, pekerja, dan pengusaha di sektor pelabuhan, instruksi ini bukan suatu hal baru.
Seperti itulah, informasi yang disampaikan Ketua Umum Keamanan dan Keselamatan Indonesia (Kamselindo) Kyatmaja Lookman.
Menurutnya sudah jadi rahasia umum, premanisme dan pungli di pelabuhan berlangsung menahun.
Dan kalaupun diberantas, ‘penyakit’ itu selalu muncul lagi dan lagi karena tak ada konsistensi dalam pemberantasannya.
Karena itulah, Kyatmaja mengatakan fenomena ini sudah seperti dejavu alias sesuatu yang berulang bagi para pengusaha truk dan logistik.
Ia berharap pemberantasan yang dilakukan sekarang tak seperti yang sudah lalu sehingga praktik premanisme dan pungli di pelabuhan bisa benar-benar bersih.
Selain pemberantasan preman dan pungli, agar masalah serupa tak terjadi, ia juga meminta para pemangku kepentingan yang terkait arus kontainer untuk memperbaiki sistem.
“Harus dilakukan secara konsisten penindakannya. Misal menggunakan teknologi (digitalisasi), agar tidak ada celah untuk kompromi, melama-lamakan (antrian) dan lainnya,” kata Kyatmaja kepada CNNIndonesia.com, Selasa (15/6).
Ia mengakui nominal pungutan liar yang dilakukan oknum tak bertanggung jawab kecil.
Meski demikian, karena sering diminta, nominal jadi membesar sehingga lama kelamaan juga membebani pengusaha.
Pasalnya, pungli membuat pengusaha harus merogoh kocek lebih dalam untuk menambah pengeluaran ‘uang jalan’ kepada supir.
“Akhirnya kami diminta pengemudi karena uang jalannya kurang. Nah uang jalan kurang ini akhirnya kami minta dan bebankan ke konsumen. Tapi di keadaan sekarang jadi serba sulit karena pengiriman kan sedang turun. Kalau ada yang seperti ini, otomatis posisi pengusaha truk yang terjepit,” ungkapnya.
Karena membebankan ‘uang jalan’ ke konsumen otomatis biaya pengiriman jadi meningkat.
Padahal, masyarakat pastinya ingin ongkos kirim alias ongkir murah, dan bahkan gratis seperti saat mereka berbelanja di e-commerce.
“Kalau biaya logistiknya mahal, ya investasi jadi males dilakukan di Indonesia. Tapi, berulang kali disoroti, kok masalah mahalnya biaya logistik tetap saja,” imbuhnya.
Dari fenomena ini, Kyatmaja ingin pemerintah kali ini benar-benar serius dan memangkas habis aksi pungli supaya ke depan tidak ‘mati satu, tumbuh seribu’, seperti yang sudah-sudah.
Ia memberi masukan agar segala layanan transaksi dilakukan menggunakan sistem digital.
“Jadi first come, first serve. Kalau ada prioritas karena memberi (pungli), ya ini yang merusak tatanan tadi,” ucapnya.
Segendang sepenarian, Ekonom Indef Tauhid Ahmad mengatakan pemberantasan preman dan pelaku pungutan liar memang harus dilakukan pemerintah.
Sebab, kejadian kecil dan tak mengenakkan di pelabuhan ini bisa memberi dampak luas pada iklim bisnis dan investasi Indonesia, termasuk peringkat kemudahan berusaha atau daya saing (Ease of Doing Business/EoDB).
“Ini masalah yang tergambar jelas di peringkat EoDB kita; pelayanan pelabuhan kita lemah. Seperti apa yang terjadi di Tanjung Priok, ini kadang ketat, kadang kendor. Ini terjadi mungkin bukan karena kapasitas terbatas saja, tapi memang banyak pihak yang memanfaatkan. Tapi suka tidak suka, ini mencerminkan daya saing kita yang lemah, belum lagi beban biaya logistik yang tinggi meski sudah direformasi dari dulu,” ujar Tauhid.
Kendati sudah berlarut-larut, tapi kerikil bagi daya saing dan iklim investasi tanah air ini tetap harus dibenahi. Cara utama adalah pengawasan yang rutin, konsisten, tegas, dan menyeluruh.
“Harus langsung ditindak, jangan sampai pelaku bisnis atau pengusaha tunggu lapor dulu ke presiden. Karena kalau sampai terjadi, berarti selama ini sistem di lapangan tidak bekerja. Apa itu sistem keamanannya, pengawasannya, pendataannya yang bikin antrian panjang. Itu semua harus di-reform,” tuturnya.
Selain itu, manfaatkanlah digitalisasi agar celah pungli semakin sempit, bahkan benar-benar tertutup. Yang tak boleh ketinggalan adalah evaluasi dari satu kebijakan ke kebijakan lainnya.
Tauhid mewanti-wanti, kalau masalah ini tidak segera dibereskan, ia khawatir dampaknya akan semakin luas dan terasa ke perekonomian nasional. Kenapa begitu?
Karena pertama, pungli dan premanisme yang subur akan terus meningkatkan biaya logistik di dalam negeri. Bila biaya terlalu tinggi, maka aktivitas ekspor dan impor jadi mahal.
Dampaknya, investor ogah menanamkan investasi di Indonesia. Apalagi, kejadian biaya logistik tinggi ini sejatinya bukan hanya terjadi di Tanjung Priok, tapi sudah mendarah daging ke pelabuhan lain di Indonesia.
Termasuk daerah yang terpencil dan susah dijangkau. Itu membuat pengusaha dibebani biaya kelogistikannya tinggi karena susah dijangkau, ditambah lagi dengan pungli.
Kedua, ini menjadi catatan bagi pemerintah karena sejak dulu tak bisa mereformasi masalah ini. Padahal, segudang kebijakan sudah disiapkan, begitu pula dengan anggaran reformasi yang digelontorkan dari keuangan negara.
Ketiga, ada ketimpangan infrastruktur yang juga bakal jadi pertimbangan investor saat mengalirkan modalnya ke dalam negeri. Ketimpangan ini tercermin dari belum cakapnya satu pelabuhan memberi layanan kelogistikan yang cepat.
“Maka dari sisi kapasitas, sumber daya manusianya, sistemnya, dan lainnya, harus segera diperbaiki,” imbuhnya.
Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga mengingatkan pemerintah tentang pentingnya manfaat memberantas pungli di pelabuhan. Sebab, hal ini ternyata menjadi faktor yang menentukan peringkat daya saing Indonesia (EoDB) dan aliran investasi untuk menopang target pertumbuhan ekonomi ke depan.
Menurutnya, reformasi yang sudah dilakukan untuk meningkatkan investasi bakal jadi percuma bila kerikil seperti pungli tidak ikut dibenahi.
“Karena menjadi hidden cost dari suatu usaha dan menjadi pertimbangan investor ketika ingin berinvestasi di suatu negara. Ditambah lagi, ada indikator EoDB di mana di dalamnya ada salah satu penilaian mengenai aspek korupsi dan hukum, sudah pasti pungli menjadi sesuatu yang bernilai buruk dari indikator ini,” pungkasnya. (cnnindonesia.com)