John L Situmorang : Putusan Pengadilan Merampok Hak H Danih

Berita3962 Dilihat

Jakarta, Karosatuklik.com – Sungguh ironis nasib yang dialami H. Danih akibat tidak paham tentang hukum maka dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang mengerti hukum.

Melalui Pendamping Hukumya, John L Situmorang dari Kantor Hukum John L Situmorang & Partner Jakarta, yang juga tim hukum karosatuklik.com, Jumat (09/10/2020) Pukul 18.30, menceritakan peristiwa hukum yang bisa dipetik hikmahnya. Tahun 1971, H Danih pernah memberikan surat kuasa menjual tanah kepada oknum anggota Polri, Agoes Mukti dihadapan notaris.

Setahun kemudian, tanah tidak terjual oleh Agoes Mukti dan pada bulan Mei tahun 1972, Agoes Mukti membuat pembatalan surat kuasa jual di hadapan Lurah Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur dan meminta uang sebanyak Rp 150 ribu sebagai uang jasa karena sudah setahun memasarkan tanah H, Danih walaupun tidak bisa terjual.

Nah, disinilah pelajaran berharga itu bisa dipetik, akibat ketidaktahuan tentang hukum. Berawal saat surat kuasa jual dihadapan notaris tidak ikut serta ditarik dari Agoes Mukti dan Agoes Mukti juga tidak menyerahkannya/mengembalikan, ungkapnya.

Setelah pembatalan surat kuasa oleh Agoe Mukti, pada tanggal 02 Juni 1972 klien kami (H.Danih) menjual sendiri tanahnya kepada H. Rohadi dengan Akta Jual Beli (AJB) dihadapan PPAT/Camat Jatinegara secara langsung dan tunai dengan saksi-saksi diantaranya Lurah Pondok Kelapa sendiri.

Secara administrasi bukti-bukti kepemilikan tanah, berupa girik dan bukti-bukti lainnya yang berhubungan dengan tanah tersebut diserahkan kepada H. Rohadi. Otomatis H. Rohadi menguasai fisik tanah setelah terjadi transaksi jual beli, ucapnya.

Enam belas (16) tahun kemudian, tepatnya tahun 1986 baru timbul masalah karena Sri Herawati Arifin melakukan Gugatan kepada klien kami sebagai tergugat I dan Agoes Mukti sebagai tergungat II serta H. Rohadi sebagai tergugat III.

Dengan adanya gugatan itu, klien kami pun mencari tahu mengapa bisa timbul gugatan. Ternyata diluar sepengetahuan H. Danih, Agoes Mukti menjual tanah klien kami pada tangga 06 Agustus 1972 kepada Sri Herawati Arifin dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dihadapan notaris (dua bulan setelah klien kami menjual tanahnya kepada H. Rohadi ternyata Agoes Mukti menjual tanah klien kami kepada Sri Herawati).

Agoes Mukti menjual tanah klien kami kepada Sri Herawati Arifin tidak dilengkapi dokumen apa pun atas kepemilikan tanah.

Di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, klien kami telah menjelaskan bahwa dirinya tidak pernah menjual tanah kepada penggugat, bahkan klien kami tidak pernah mengenal penggugat. “Masa penggugat mau membeli tanah tanpa kenal pemilik tanah padahal klien kami tinggal di tanah yang di jual,” terangnya.

Klien kami pun mempertanyakan kalau memang penggugat memiliki bukti-bukti atas tanah itu. Ternyata penggugat hanya memiliki PPJB saja. Meskipun penggugat tidak memiliki bukti-bukti sahih selain PPJB tetapi PN Jakarta Timur tetap saja memenangkan Penggugat/Sri Herawati Arifin dengan amar putusan agar penggugat dan tergugat I dan tergugat II bersama-sama melakukan Akta Jual Beli (AJB) dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), sebutnya.

Tentu amar putusan itu, tidak mungkin dilakukan klien kami, karena amar putusan sama saja perintah merampok hak klien kami dan sekaligus merampok hak H. Rohadi, serta penistaan terhadap pejabat negara/pemerintah yakni Camat Jatinegara sebagai PPAT.

Karena tidak terima Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur, klien kami banding ke Pengadilan Tinggi. “Sayangnya, hasilnya juga sama, menguatkan putusan PN Jakarta Timur, Kasasi ke Mahkamah Agung hasilnya juga sama menguatkan Putusan PN Jakarta Timur, upaya PK hasilnya juga sama, menguatkan Putusan PN Jakarta Timur,” kata John L Situmorang.

Tidak Mau Berkhianat Demi Sesuatu

Namun ada yang menarik dan menjadi pembelajaran berharga yang bisa dipetik hikmahnya diri klien kami, kata dia. “Meskipun beliau hanya rakyat biasa yang buta hukum, tetapi dia tidak mau disogok apalagi berhianat demi mendapatkan sesuatu,” tuturnya.

Sampai dia meninggal atau setelah 49 tahun berlalu, klien kami pun tidak pernah mau membuat AJB dengan Sri Herawati Arifin karena klien kami berperinsip, biarpun langit runtuh, kebenaran harus ditegakkan.

Adagium itu menggambarkan dua (2) hal, yakni pertama, kesewenangan penguasa dalam memberlakukan titah para raja atau kaisar di zaman Romawi kuno. Dalam arti, apa pun keputusan yang dibuat penguasa harus dilaksanakan meskipun tidak berkeadilan.

Kedua, pepatah ini bermakna bahwa segenting apa pun situasi yang sedang terjadi, keadilan harus ditegakkan. Keadilan di atas segala-galanya. Tidak ada alasan untuk berbuat tak adil.

Semakin besar tanggungjawab kita, maka semakin besar pula bobot kita.
Amanah menuntut kesejatian, balk esensi maupun prosesnya. Etos amanah lahir dari dialektika dan refleksi batin tatkala kenyataan buruk diadu dengan tuntutan moral dan idealisme. (R1)