Akademisi dari Jurusan Komunikasi Universitas Medan Area (UMA), Ara Auza, memberi penjelasan soal kata ketua itu. Ara awalnya menyebut, sejauh ini belum ada kajian khusus tentang bahasa Medan di ruang lingkup ilmu komunikasi. Namun, kata ketua ini bisa dikaitkan dengan bahasa Medan.
“Sepertinya belum ada kajian khusus tentang bahasa Medan di ruang lingkup ilmu komunikasi. Akan tetapi, mungkin ada secara bahasa. Bahasa Medan sudah memiliki kamus. Secara komunikasi, bahasa dipelajari sebagai sebuah lambang dan simbol dalam menyampaikan pesan. Simbol dan lambang ini biasa disebut tanda dan penanda,” sebut Ara kepada detikSumut, Minggu (22/5/2022).
Kemudian, Ara pun menjelaskan soal kata ketua. Menurutnya, kata ketua itu bermakna orang yang memiliki pengaruh. Selain itu, kata ketua itu sebagai pesan persahabatan dan lain sebagainya.
“Berkaitan dengan frasa ketua di Kota Medan sebagai tanda memiliki makna orang yang memiliki pengaruh. Akan tetapi, secara penanda, frasa ketua memiliki banyak makna bisa pesan persahabatan, menunjukkan keakraban, kehangatan dan penghormatan,” ujar Ara.
“Akan tetapi, penanda ini secara khusus hanya dapat dimaknai warga Medan. Frasa ketua di daerah lain sebagai penanda tidak bisa dimaknai sama. Begitu secara pesan komunikasi,” tambah Ara.
Selanjutnya, Ara membahas soal Medan disebut ‘kota ketua’. Kata itu muncul diperkirakan pada tahun 2000-an.
Selanjutnya, Ara membahas soal Medan disebut ‘kota ketua’. Kata itu muncul diperkirakan pada tahun 2000-an.
Kala itu, Medan dikelilingi oleh banyak tokoh-tokoh berpengaruh yang berasal dari organisasi kemasyarakatan (ormas). Dia menduga, kota ketua berasal dari adanya pimpinan ormas yang berpengaruh di Medan dan berbekas hingga sekarang.
“Kota ketua mungkin identik dengan awal tahun 2000-an. Pada masa itu Medan memiliki tokoh-tokoh berpengaruh yang berasal dari ketua ormas. Bisa jadi frasa kota ketua berasal dari adanya pimpinan ormas tersebut yang memiliki pengaruh di Kota Medan dan berbekas sampai hari ini. Dan ini jamak terjadi di daerah lain misal Banten dengan jawara, Jakarta dengan FBR. Dan kota-kota lainnya,” sebut Ara.
Dengan bergesernya waktu, kata ketua yang melekat pada tokoh-tokoh itu pun bergeser. Sekarang, kata Ara, frasa ketua tumbuh berkembang di kalangan warga tanpa mengenal status sosial.
“Iya, sekarang mengalami pengembangan makna dia. Kalau dulu identik dengan ketua ormas. Hari ini lebih memasyarakat persahabatan, kehangatan, kekeluargaan bahkan penyanjungan dan penghormatan,” ujar Ara. (Dtc)