Setara: Jika Korupsi, Anggota TNI Harus Tunduk kepada Peradilan Umum!

Nasional761 x Dibaca

Jakarta, Karosatuklik.com – Setara Institute menilai anggota TNI seharusnya tunduk pada peradilan umum jika melakukan korupsi, terkecuali jika melakukan tindak pidana umum. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 65 ayat (2) UU 34/2004 tentang TNI. Presiden Jokowi pun diminta untuk turun tangan.

Dalam kesempatan itu, Setara Institute menilai permintaan maaf yang disampaikan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak atas kerja keras timnya melakukan OTT dan membongkar korupsi di Basarnas menunjukkan KPK tunduk pada intimidasi institusi TNI.

“KPK memilih tunduk pada intimidasi institusi TNI, yang sebenarnya bertentangan dengan prinsip kesamaan di muka hukum sebagaimana amanat konstitusi,” kata Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi dalam keterangannya, Sabtu (29/7/2023).

Hendardi menekankan, OTT dan penetapan tersangka yang dilakukan KPK terhadap anggota TNI, termasuk Kabasarnas, Henri Alfiandi sah dann berdasarkan hukum. Untuk itu, permintaan maaf yang disampaikan Johanis Tanak merupakan puncak dari lemahnya KPK menjalankan tugasnya memberantas korupsi secara independen.

“Peristiwa klarifikasi dan permintaan maaf atas penetapan tersangka anggota TNI, suatu tindakan hukum yang sah dan berdasarkan UU, adalah puncak kelemahan KPK menjaga dan menjalankan fungsinya secara independen,” tegasnya.

Selain itu, polemik OTT Basarnas ini menunjukkan kokohnya supremasi TNI. Meski anggotanya tertangkap tangan melakukan korupsi, korps TNI membela dan KPK melepaskannya. Hendardi meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan DPR turun tangan mengakhiri ketidakadilan dalam penegakan hukum ini.

“Presiden dan DPR tidak bisa membiarkan konflik norma dalam berbagai UU di atas terus menjadi instrumen ketidakadilan yang melembaga,” katanya.

Polemik bermula dari penetapan Henri Alfiandi, Koorsmin Kabasrnas, Letkol Afri Budi Cahyanto, dan sejumlah pihak swasta sebagai tersangka kasus dugaan suap dalam pengadaan barang dan jasa di Basarnas. Penetapan ini dilakukan berdasarkan gelar perkara setelah KPK memeriksa intensif para pihak yang terjaring OTT di Jakarta dan Bekasi, Selasa (25/7/2023).

KPK saat itu menyebut, penetapan mereka sebagai tersangka telah didukung oleh bukti permulaan yang cukup.

Namun, Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak justru menyebut tim penyelidik KPK khilaf dalam menindak Henri dan Letkol Afri yang merupakan anggota TNI aktif terkait penanganan kasus di Basarnas. Johanis Tanak pun menyampaikan permintaan maaf atas kesalahan dari pegawainya tersebut.

Imbas dari polemik penanganan kasus di Basarnas, mencuat kabar Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi sekaligus Direktur Penyidikan (Dirdik) KPK, Brigjen Asep Guntur mundur dari posisinya.

Hendardi menyatakan, keberatan TNI atas suatu proses hukum, tidak seharusnya dilakukan dalam bentuk intimidasi institusi. Dalih anggota TNI tidak tunduk pada peradilan umum adalah argumen usang yang terus digunakan TNI untuk melindungi anggota TNI yang bermasalah dengan hukum.

“Kalaupun TNI tidak sepakat dengan langkah KPK, seharusnya menempuh jalur praperadilan,” katanya.

Hendardi memaparkan, Pasal 65 ayat (2) UU 34/2004 tentang TNI menegaskan yurisdiksi peradilan militer hanyalah untuk jenis tindak pidana militer. Dengan demikian, anggota TNI tunduk pada peradilan umum jika melakukan tindak pidana umum, termasuk korupsi.

Selain itu, katanya, Pasal 42 UU 30/2002 tentang KPK, menegaskan kewenangan KPK melingkupi setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, baik orang yang tunduk pada peradilan umum maupun pada peradilan militer.

“Jadi, tidak ada tafsir lain kecuali bahwa KPK seharusnya tidak menganulir penetapan tersangka tersebut,” katanya.

Lebih jauh, Hendardi mengatakan, UU 31/1997 tentang Peradilan Militer yang mengatur subjek hukum peradilan militer seharusnya batal demi hukum. Hal ini karena UU TNI dan UU KPK telah menegaskan sebaliknya, yakni jika anggota TNI melakukan tindak pidana umum, maka tunduk pada peradilan umum.

“Ketidaksamaan di muka hukum dan privilege hukum bagi anggota TNI harus diakhiri. Presiden dan DPR selama ini terus gagal atau digagalkan untuk menuntaskan reformasi UU Peradilan Militer,” katanya. (BeritaSatu)