Jakarta, Karosatuklik.com — Bagi sebagian orang, antibiotik adalah obat mujarab yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Banyak orang masih salah kaprah saat mengonsumsi antibiotik.
Padahal, penggunaan antibiotik harus ekstra hati-hati agar tak terjadi resistensi obat.
Resistensi obat bisa menyebabkan penyakit semakin parah, bahkan sulit disembuhkan karena tak mempan dengan penggunaan antibiotik.
Maka dari itu, pemberian antibiotik tak bisa sembarangan dan harus sesuai dengan resep dokter. Minum antibiotik juga tak bisa sesuka hati.
Berikut beberapa kebiasaan keliru minum antibiotik yang sebaiknya dihindari.
1. Tidak berkomunikasi dengan dokter
Banyak antibiotik yang bisa dengan mudah didapat di apotek tanpa resep dokter. Padahal, konsumsi antibiotik harus sesuai petunjuk dokter.
Antibiotik adalah obat yang ditujukan hanya untuk mengatasi atau mencegah infeksi penyakit akibat bakteri. Sementara penyakit bisa disebabkan oleh virus, bakteri, dan jamur.
Dibutuhkan perawatan medis dan diagnosis dokter untuk memastikan penyebab penyakit. Oleh sebab itu, antibiotik tak bisa diresepkan sendiri. Jika keliru, penyakit Anda mungkin tak bakal sembuh dan justru memburuk.
“Dalam penggunaan antibiotik ini perlu ada dengan resep dokter karena ini adalah wewenang seorang dokter,” kata dokter spesialis penyakit dalam konsultan penyakit tropik dan infeksi RSUD Dr. Soetomo, Erwin Astha Triyono dalam diskusi virtual bersama Pfizer, Kamis (10/6).
2. Menyimpan sisa antibiotik
Biasanya antibiotik diresepkan untuk dikonsumsi selama 3-5 hari, bergantung pada keparahan dan jenis penyakit. Namun, terkadang seseorang sudah merasa sembuh dan sehat hanya dalam dua hari setelah minum antibiotik.
Alhasil, antibiotik tidak dihabiskan dan disimpan untuk ‘jaga-jaga’ kalau kembali terkena penyakit yang serupa.
Kebiasaan ini jelas salah karena antibiotik harus dihabiskan meski Anda sudah merasa lebih baik, atau bahkan sudah sembuh.
“Kalau dapat antibiotik dari dokter, maka dokter sudah ‘menghitung’ penyakit ini, dokter sudah meresepkan antibiotik dalam jumlah cukup sehingga bakterinya mati. Makanya harus diminum dalam jumlah tuntas, tidak boleh disimpan,” kata Medical Director Pfizer Indonesia, dokter Handoko Santoso.
3. Mengobati sendiri
Handoko juga mengatakan, banyak orang Indonesia yang cenderung mengobati penyakitnya sendiri dengan antibiotik.
Terkadang, seseorang menyimpan nama merek antibiotik yang pernah diresepkan padanya ketika sakit berobat ke dokter. Kemudian, ketika sakit kembali dengan gejala serupa, ia mengonsumsi antibiotik yang sama dengan yang diresepkan.
Jangan mengobati sendiri hanya karena gejala penyakitnya sama, terus pakai antibiotik yang sama. Kebiasaan seperti itu yang salah,” ucap Handoko.
4. Minum antibiotik sembarang waktu
Obat antibiotik Anda mungkin diresepkan untuk diminum tiga kali sehari. Anda memang meminumnya tiga kali sehari, tapi tidak beraturan waktu. Kebiasaan keliru ini yang sering juga dijumpai di masyarakat.
Antibiotik idealnya diminum di waktu yang sama, tidak terlambat atau terlalu dini. Dokter biasanya meresepkan antibiotik diminum tiga kali sehari dengan selang waktu 6 jam.
Jika antibiotik diresepkan diminum setiap enam jam sekali, tiga kali sehari, maka atur jam minum obat Anda pada waktu yang sama setiap harinya. Misalnya minum pada pukul 9 pagi, 3 sore, dan pukul 9 malam. Ulang jadwal tersebut setiap harinya hingga antibiotik yang diresepkan habis.
Anda bisa memastikan pada dokter yang meresepkan antibiotik atau apoteker untuk memastikan selang waktu terbaik ketika minum obat.
5. Diminum dengan susu
Ada beberapa antibiotik yang sebaiknya tidak diminum dengan susu. Kandungan dalam susu bisa jadi menghambat kerja antibiotik.
“Ada beberapa jenis antibiotik yang terhambat kerjanya kalau diminum dengan susu,” kata Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kemenkes, Imran Agus Nurali.
Imran mengatakan, beberapa makanan atau tindakan Anda bisa membantu kerja antibiotik agar maksimal.
Misalnya, seperti minum antibiotik di saat perut kosong, atau di saat perut terisi. Minum langsung dengan air putih, atau dibuat bubuk dan dilarutkan.
Konsultasikan hal tersebut dengan dokter atau apoteker agar antibiotik bekerja optimal. (cnnindonesia.com)