Jogja, Karosatuklik.com – Malioboro adalah nama jalan di Jogja paling terkenal, asal-usulnya bisa dilacak sejak jauh-jauh hari dan punya banyak versi.
Versi pertama, Malioboro berasal dari kata Jawa Maliho yang berartu berubahlah untuk menjadi dan Boro yang berasal dari kata Ngumbara, artinya melakukan perjalanan.
Dalam konteks itu Malioboro merupakan sebuah petunjuk agar seseorang dalam hidupnya senantiasa berjalan di jalan kebajikan, memilih ajaran wali sebagai sumber dari kebajikan.
Versi lain, ada sebagian orang yang mencocokkan nama Malioboro dengan dengan keberadaan gedung yang dibangun Belanda yang bernama Marlborough (gedung DPRD DIY). Kata Marlborough itulah yang kemudian pelan-pelan dilafalkan menjadi Malioboro.
Sementara, sejarawan Peter Carey menyebut Malioboro dengan istilah The Garland Bearing Street atau jalan penuh untaian bunga, karena dulunya ruas jalan ini penuh pohon bunga.
Frasa itu berasal dari bahasa bahasa Sansekerta, yakni malya yang berarti karangan bunga dan bhara yang berarti menyajikan.
Malyabhara ditemukan dalam Ramayana versi Jawa dari abad ke-9 dan ke-10, di buku Adiparwa dan Wirathaparwa. Nama tersebut juga dijumpai dalam buku Parthawijaya dari abad ke-14 dan dimunculkan kembali dalam Dharmasunya yang ditulis di Kartasura pada tahun 1714.
Beberapa sejarawan meyakini, kata “Malyabhara” menginspirasi Sultan Hamengku Buwono I, menamai wilayahnya.
Malioboro belakangan dikenal sebagai sebagai pusat perdagangan. Banyak orang yang menggantungkan hidup di sepenggal jalan ini.
“Pertama kali bikin warung di Malioboro sebetulnya abdi dalem Patih Danureja [sekitar abad ke-18]. Mungkin ada izin ke abdi dalemnya untuk membuka usaha di situ. Kemudian abdi dalem tandan para penarik pajak [beretnis keturunan Tionghoa] Pasar Beringharjo juga membuat aktivitas perdagangan,” kata Budayawan Jogja, Ahmad Charis Zubair, saat berbincang dengan Harian Jogja, Senin (17/1/2022).
Sejak pertengahan atau jelang akhir abad ke-18 saat itu sudah ada perniagaan di kawasan Malioboro.
Patih Danurejo memberikan izin kepada abdi dalem untuk membuka warung di kawasan tersebut. Kemudian pedagang di Malioboro berkembang setelah Perang Diponegoro dan terus meningkat kuantitasnya pada awal abad ke-20.
Kini Malioboro tumbuh sebagai jantung kota Jogja dan pusat perekonomian, pusat pemerintahan di DIY.
Keberadaan pedagang kaki lima (PKL) di Malioboro juga sudah ada sejak setelah kemerdekaan RI atau medio 1970-an. Bermunculannya pedagang ini didasari akan pemahaman masyarakat bahwa Malioboro adalah pusat perekonomian atau pasar. Siapa saja datang untuk berniaga.
Di sisi lain, tidak semua orang memiliki lahan dan toko di Malioboro. Mereke terpaksa memanfaatkan sejumlah ruang sempit di sepanjang Malioboro dengan membuat lapak.
“Saya kira ini sudah ada sejak 1970-an, dari dulu bukan hanya penduduk Jogja yang jadi PKL,” ujar Ahmad.
Keberadaan pedagang di Malioboro ini menjadi ciri khas tersendiri, bahkan popularitasnya mengalahkan nilai filosofi yang terkandung di dalam Malioboro sebagai sumbu filosofi. Namun, penataan kawasan sebaiknya saling menguntungkan.
Antara toko dan PKL ini harus saling bergandengan, simbiosis mutualisme karena beda segmentasi. Penataan memang keharusan tetapi jangan sampai menutup jalan nafkah bagi siapa pun untuk berniaga di Malioboro,” katanya.
Pusat Politik
Selain menjadi pusat ekonomi, Malioboro sejak dahulu juga sudah menjadi rebutan dari sisi politik. Malioboro menjadi medan persaingan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan kolonial Belanda.
Di masa lalu Malioboro merupakan jalan utama untuk menuju Alun-Alun Utara untuk ke Kraton lewat Pagelaran. Sejak dibangun pada 1756 jalur jalan itu sudah cukup penting, sehingga bisa disebut sebagai jalan ke pusat kota, saat itu Kraton Ngayogyakarta.
Secara fisik, Malioboro merupakan penggal dari Tugu hingga Pangurakan, yang di dalamnya ada Jalan Marga Utama, Jalan Marga Mulya dan Titik Nol Kilometer.
Namun, pemahaman masyarakat semua penggal yang ada di kawasan itu disebut dengan Malioboro. Karena ada fungsi simbolik dan pragmatis sebagai jalan masuk ke Kraton, saat itu Belanda yang memengaruhi dinamika jalan tersebut.
Belanda membangun rumah residen atau Loji Kebon yang saat ini merupakan Gedung Agung Istana Negara. Kemudian Reksoboyo yang menjadi markas tentara Kraton disaingi Belanda dengan Benteng Vredeburg.
Di jalur itu juga ada Pusat Pemerintahan Kraton yang dikelola Patih Danurejo atau sekarang disebut Kompleks Kepatihan. Lagi-lagi karena konflik kepentingan, Belanda membangun Gedung Marlborough yang saat ini adalah Gedung DPRD DIY.
“Di situ kita bisa melihat ada konflik kepentingan, menggambarkan kepentingan antara Kasultanan dengan kolonial Belanda ketika itu,” ucap Charis Zubair.
Karena banyak kepentingan itulah, di Malioboro bisa melihat berbagai jenis bangunan, mulai dari dominan Eropa, China hingga dominan Jawa.
Alasan strategis dan sarat nilai itulah menjadikan Malioboro memiliki peran penting, baik di masa lalu maupun sekarang. (R1/Harianjogja.com)
Baca juga:
2. Jokowi Bagikan Bantuan Tunai Rp1,2 juta bagi PKL di Malioboro