Jakarta, Karosatuklik.com – Aktivitas ekonomi bawah tanah, atau underground economy semakin merajalela di Indonesia. Bila menggunakan asumsi hasil penelitian ahli dari Universitas Indonesia, nilainya cukup fantastis, sekitar Rp1.968 triliun.
Angka fantastis itu diperoleh dari kisaran maksimum persentase nilai aktivitas underground economy hasil riset yang dilakukan Kharisma & Khoirunurrofik (2019). Hasil riset pada periode penelitian 2007 – 2017 menyimpulkan, nilai underground economy di Indonesia berkisar antara 3,8-11,6% dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dengan rata-rata 8% per provinsi per tahun.
Nilai Rp1.968 triliun adalah 11,6% dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB) harga berlaku Indonesia pada 2021. Rasio ini tidak jauh berbeda dengan estimasi Badan Pusat Statistik yang menyebut persentase-nya antara 8.3-10% dari PDB. Secara konsep dan perhitungan antara PDB dan PDRB sama, hanya beda cakupan wilayahnya saja.
Menurut Feige (1990) ada empat aktivitas underground economy. Illegal economy, aktivitas yang melanggar hukum, misalnya hasil korupsi, transaksi narkoba, pencurian, pembajakan, penyelundupan, perdagangan manusia hingga pelacuran. Unreported economy, pendapatan yang tidak dilaporkan kepada otoritas pajak, untuk menghindari membayar pajak.
Unrecorded economy, pendapatan yang seharusnya tercatat dalam statistik pemerintah namun tidak tercatat. Informal economy, yaitu pendapatan pelaku ekonomi informal yang tak berizin, seperti usaha kecil mikro. Dari keempatnya, aktivitas informal ekonomi nilainya paling besar.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Rabu (28/12/2022) melaporkan transaksi keuangan mencurigakan selama 2022 mencapai 1.215 laporan dengan nilai Rp 183,8 triliun. Ini adalah rekaman sampai November lalu, yang bersumber dari 1.544 transaksi mencurigakan.
Informasi tersebut diperoleh dari 3.990 informan yang mayoritas adalah penyedia saja keuangan. Rinciannya 3.158 dari bank, 821 dari non bank dan 11 dari pihak lainnya. Sebagian dana diketahui adalah hasil pencucian uang yang berasal dari tindak pidana korupsi dan narkotika, atau masuk kategori illegal economy. Nilainya mencapai Rp 81,3 triliun dari 275 transaksi mencurigakan.
“Risiko terbesar sumber dana pencucian uang masih diisi oleh tindak pidana korupsi dan narkotika,” ujar Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana dalam konferensi pers.
Disamping itu, PPATK mengungkapkan ada tren pelaku kasus pornografi anak dan perdagangan manusia menggunakan teknologi digital dalam transaksinya, termasuk mobile banking dan e-wallet. Nilainya mencapai Rp 114,26 miliar, yang banyak menggunakan e-wallet, seperti Gopay, Ovo dan Dana. Baik kasus besar hasil korupsi, narkoba, dan pornografi kesemuanya merupakan aktivitas illegal economy atau black economy.
Berdasarkan penelusuran CNBC Indonesia Research, tren penggunaan teknologi digital turut andil besar pada perkembangan aktivitas black economy, khususnya prostitusi dan pornografi. Pada umumnya, pelaku menggunakan media sosial, utamanya seperti Twitter aplikasi pesan Mi Chat yang relatif minim sensor dibandingkan dengan aplikasi lainnya.
Aplikasi-aplikasi tersebut menjadi semacam etalase untuk menjajakan jasa dan barang, menggunakan akun alter atau anonim untuk kemudian melakukan transaksi secara luring, atau virtual menggunakan aplikasi pendukung seperti telegram, whatsapp hingga trakteer.
Sebagai contoh, untuk menjadi member sebuah grup yang menjual konten Not Safe for Work (NSFW) atau tidak senonoh pelanggan harus membayar fee langganan antara Rp50.000 hingga Rp100.000. Beberapa grup penyedia bahkan ada yang mampu menarik lebih dari 10 ribu pelanggan.
Sementara untuk prostitusi, penelitian Juditha (2021) menunjukkan bahwa secara umum tarif atau harga yang ditawarkan oleh penyedia jasa seks komersial melalui media sosial dikisaran antara Rp500 ribu hingga Rp5 juta untuk paket ‘open BO’ (booking order) short time hingga long time. Sedangkan untuk jenis jasaVCS (video call sex) dan SC/PC (sex call/phone sex) dikisaran Rp100 ribu hingga Rp300 ribu.
Menurut Widowaty (2019) Indonesia merupakan negara dengan jumlah lokalisasi pekerja seks komersial terbanyak di dunia dengan pekerja yang berjumlah sampai 40 ribuan orang.
Kementerian Sosial pada tahun 2013 mencatat ada 168 lokalisasi di 24 provinsi dengan ribuan pekerja. Setelah era media sosial datang, dan penutupan lokalisasi-lokalisasi, terjadi pergeseran transaksi dari semula luring menjadi daring.
Adanya infrasturktur pendukung baik aplikasi maupun sistem pembayaran membuat bisnis esek-esek ini merajalela, tak terkendali. Kondisi ini jauh berbeda dengan satu dekade lalu, dimana bisnis seperti ini hanya difasilitasi oleh forum-forum dewasa di internet yang sulit diakses, dan penawaran offline seperti lokalisasi pelacuran dan VCD bajakan.
Sementara itu, unreported economy tak kalah besar nilainya. Saat masih menjabat, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti pernah mengungkapkan, unreported fishing di Indonesia mencapai 60% dari total produk perikanan Indonesia. Itu diketahui dari adanya selisih data neraca perdagangan dengan mitra dagang, misalnya impor produk perikanan Hong Kong dari Indonesia mencapai Rp15 triliun, sementara di dalam negeri hanya tercatat seperempatnya saja.
Persentase Sektor Informal Terhadap PDB (PPP)
Dari empat kategori aktivitas underground economy, sektor informal boleh dibilang paling dominan. Aktivitas perekonomian Indonesia yang didominasi sektor seperti usaha kecil mikro (UMK) telah membuktikan diri pada waktu krisis ekonomi 1997/1998 yang rupanya mampu menopang ekonomi bangsa. Namun, keberadaan mereka tidak tercatat, dan tidak memberikan sumbangan bagi penerimaan negara.
Sektor informal atau yang juga kerap dilabeli sebagai shadow economy ini menurut Quarterly Informal Economy Survey (QIES) oleh World Economics yang berbasis di London, nilainya cukup besar di Indonesia. Diperkirakan mencapai 22,7% dari PDB berdasarkan tingkat daya beli atau PPP. Meskipun, bila dibandingkan dengan negara tetangga lebih baik.
Ada banyak faktor yang memicu tumbuh berkembangnya underground economy di sebuah negara. Diantaranya, penegakan hukum yang lemah, kondisi ekonomi yang sulit, gaya hidup hedonisme, rendahnya literasi keuangan, hingga sistem perpajakan yang rumit.
Dengan besarnya nilai underground economy tersebut, dapat dibilang perekonomian Indonesia sebetulnya jauh lebih besar dari angka resmi yang dilansir pemerintah.
Keberadaan aktivitas ekonomi terabaikan ini, sekaligus menjelaskan mengapa dalam kondisi krisis sekalipun, perekonomian tetaplah berjalan. Dalam banyak hal, menjelaskan pula perekonomian Indonesia kadang seperti auto pilot, atau minim peran regulator. (Tim Riset CNBC Indonesia)
Komentar