Jakarta, Karosatuklik.com – Film “Yuni” menyentil kita kembali pada perenungan dan pertanyaan mengenai definisi perempuan sebagaimana kata-kata yang dilontarkan Simone de Beauvoir pada abad ke-20: “Seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuan, tetapi menjadi perempuan. (One is not born a woman, but becomes one).”
Pertanyaan tentang apa itu “menjadi” perempuan rupanya masih menjadi keresahan hingga masa sekarang. Pendefinisian perempuan yang acapkali dilekatkan dengan “kodrat dapur kasur sumur”, entah bagaimana masih saja langgeng dalam masyarakat sosial.
Padahal, definisi itu sesungguhnya bentuk pengekangan pada diri dan tubuh perempuan.
Permasalahan yang dihadapi Yuni (diperankan oleh Arawinda Kirana) serta “Yuni-Yuni” yang lain di dalam film ini begitu nyata dan dekat sehingga setidaknya mampu menampar kita yang pernah menelan realita pil pahit itu.
Bagi orang-orang dengan privilese tertentu, barangkali memilih antara melanjutkan pendidikan atau menikah bukanlah masalah besar. Tetapi bagi Yuni yang hidup dan tumbuh di dalam kultur patriarki yang kental, ditambah tengah berada dalam fase kebingungan usia remaja, membuat keputusan terkait dua hal tersebut bukan perkara mudah.
Kebingungan khas remaja terepresentasi jelas dari bagaimana Yuni berkali-kali bertanya dan meminta pendapat orang tuanya terkait dua pilihan yang akan berdampak besar pada masa depannya.
Hati kecil Yuni sesungguhnya menolak konsep pernikahan muda tanpa kematangan, tetapi ia sulit untuk menghindari tekanan lingkungan di sekitarnya yang mengamini “kodrat dapur kasur sumur” dan mitos pada diri perempuan.
Dengan mata lensa yang jujur tanpa mengelak, film ini turut merangkum bagaimana Yuni secara perlahan-lahan belajar tentang “menjadi” perempuan melalui pengalaman Tika (Anne Yasmine), seorang teman sebayanya yang baru saja melahirkan anak tetapi dihadapkan pada sikap ketidakpedulian suaminya dan realita keterbatasan ekonomi keluarga.
Yuni juga belajar melalui pengalaman Suci (Asmara Abigail), seorang perempuan muda yang menyandang status janda dan pernah mengalami keguguran kandungan saat hamil di usia remaja, tetapi akhirnya mencoba untuk menjalani hidup dengan berdaya dan penuh semangat.
Pertanyaan tentang apa itu “menjadi” perempuan sesungguhnya tidak berhenti pada definisi perempuan dalam konteks jenis kelamin. Oleh sebab menjadi perempuan telah dikonstruksi oleh kultur dan sosial, ia mampu berkembang dalam diskursus yang menjadi satu-kesatuan, yakni gender dan seksualitas.
Maka tak heran jika Kamila Andini memutuskan untuk menyempilkan isu gender dan seksualitas dalam film “Yuni”. Menariknya, “Yuni” menampilkan permasalahan tersebut tanpa terasa terbebani dengan pesan progresif yang berat dan konsisten memotret dengan jujur.
“Di titik itu, saya juga sadar tidak hanya perempuan yang ingin diterima di masyarakatnya yang menjadi korban dari patriarki, banyak juga laki-laki atau teman-teman dengan orientasi seksual yang berbeda juga mengalami hal yang sama,” kata Kamila saat menghadiri screening film di Jakarta beberapa waktu lalu.
Oleh sebab itu, Yuni secara tidak langsung juga belajar tentang apa itu menjadi perempuan ketika bertemu dengan Teh Asih (Mian Tiara) yang memilih untuk menyembunyikan orientasi seksual dan perubahan rupa penampilan dari orang tuanya.
Yuni juga secara tidak sengaja mengetahui Pak Damar (Dimas Aditya) yang memiliki orientasi seksual berbeda. Bedanya dengan Teh Asih, Pak Damar memilih untuk mengelak dan tunduk pada konstruksi sosial.
“Kalau kita lihat di filmnya, menurut saya ironis sekali, bagaimana Yuni dan pak Damar mereka membutuhkan satu sama lain untuk survive. Buat saya, sangat menyedihkan. Seharusnya mereka tidak membutuhkan institusi perkawinan hanya untuk menjadi dirinya sendiri,” sambung Kamila.
Dalam kerangka isu seksualitas, film ini mampu membungkus pesan-pesan menampar dengan sederhana sekaligus eksplisit. Beberapa adegan dan dialog membuat penonton sadar bahwa isu yang masih dianggap tabu dalam masyarakat konservatif ini menjadi begitu krusial.
Adegan saat Yuni bersama teman-temannya bermalas-malasan di atas rumput dan obrolan keingintahuan mereka mengenai seks dan orgasme, sebetulnya menyentil kesadaran bahwa sudah semestinya remaja mendapatkan pendidikan seksualitas yang komprehensif.
Dipicu oleh kekhawatiran peningkatan kasus kehamilan di luar nikah, bukannya memberi edukasi seksualitas, pihak sekolah malah berencana untuk melakukan tes keperawanan kepada seluruh siswa perempuan. Isu seksualitas semacam itu tergambar dengan jelas di dalam film, menanggalkan sebuah ironi.
Patut disayangkan, orang dewasa dan tenaga pendidik semestinya mau berdiskusi bersama mereka dengan pemikiran terbuka tanpa perlu merasa malu dan tidak melulu menempatkan isu seksualitas dalam framing yang bersifat aib.
Isu perempuan, gender, dan seksualitas menjadi isu universal yang dekat dengan pengalaman personal orang-orang di berbagai belahan dunia. Kamila sendiri mengakui, film “Yuni” telah beresonansi dengan orang-orang dari berbagai negara yang notabene tidak memiliki kedekatan lokalitas seperti yang ditampilkan di dalam film.
Barangkali itulah letak keistimewaan film “Yuni”, gaung suaranya sudah terdengar ke mana-mana.
Sang sutradara sendiri menyebut film “Yuni” sarat dengan perenungan untuk menjemput kebebasan, dalam artian membebaskan pilihan-pilihan di setiap perjalanan hidup manusia dan membebaskan suara-suara yang selama ini terperangkap.
Dengan menyuguhkan isu-isu sensitif seperti itu, film ini tak lantas menuding tentang siapa yang benar atau siapa yang bersalah. Gaung kebebasan bersuara film “Yuni” justru membuka dialog pada ruang-ruang yang masih terkunci rapat tentang apa itu “sebagai” perempuan dan “menjadi” perempuan. (Antara)