Jakarta, Karosatuklik.com – Ancaman inflasi tinggi terus membayangi perekonomian di tengah kondisi ekonomi global. Malah ada prediksi terjadinya hiperinflasi di Indonesia. Hanya saja kebijakan pemerintah terlihat aneh dan ironis. Ingin menekan inflasi malah mengeluarkan kebijakan yang bisa memicu inflasi lebih tinggi. Salah satunya menaikkan harga BBM.
Pemerintah sebelumnya memproyeksikan laju inflasi tahun ini bisa mencapai kisaran 3,5 sampai 4,5 persen. Hal ini sebagai respons atas tingginya harga komoditas global yang merembet ke banyak aspek, dan masih akan berlanjut hingga semester II-2022.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, dampak tekanan eksternal mulai terasa di Indonesia pada akhir kuartal II-2022 dan masih akan berlanjut, sehingga inflasi berisiko berada di atas rentang sasaran awal. Adapun perkiraan laju inflasi 2022, dari semula tiga plus minus satu persen atau dua sampai empat persen. “Dengan mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, laju inflasi pada 2022 diperkirakan mencapai kisaran 3,5 sampai 4,5 persen,” ujarnya.
Sementara Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memperkirakan tekanan inflasi akan terus mengalami peningkatan ke depan. Hingga akhir 2022, inflasi diperkirakan akan mendekati level 5 persen. Sementara pada tahun depan, Perry mengatakan tingkat inflasi juga berisiko melebihi level 4 persen, seiring dengan ketidakpastian global yang masih sangat tinggi.
“Inflasi inti dan ekspetasi inflasi diprakirakan berisiko meningkat akibat kenaikan harga BBM nonsubsidi dan inflasi kelompok volatile food, serta semakin menguatnya tekanan inflasi dari sisi permintaan,” kata Perry Warjiyo, dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Rabu (31/8/2022).
Prediksi inilah yang menjadi dasar keputusan peningkatan suku bunga acuan alias BI 7-Days Reverse Repo Rate (BI-7DRR) dari 3,5 persen menjadi 3,75 persen pada Agustus 2022. “Inflasi nanti juga akan sangat dipengaruhi bagaimana kebijakan fiskal berkaitan dengan penyediaan subsidi untuk berbagai hal,” imbuh Perry.
Prediksi inflasi akan melaju sangat tinggi dikemukakan Ketua Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo. Ia menyebut bahwa terdapat risiko terjadinya hiperinflasi di Indonesia pada September 2022, yakni laju inflasi mencapai 12 persen.
“Pada bulan Agustus inflasi diprediksi akan meningkat pada kisaran 5 hingga 6 persen. Bahkan pada bulan September 2022, kita diprediksi akan menghadapi ancaman hiperinflasi, dengan angka inflasi pada kisaran 10 hingga 12 persen,” ujar Bambang Soesatyo beberapa hari sebelum pengumuman kenaikan harga BBM.
Hiperinflasi adalah ketika harga barang dan jasa naik lebih dari 50 persen dalam sebulan. Laju kenaikan inflasi yang disertai lonjakan harga pangan dan energi akan menjadi beban berat bagi masyarakat. Padahal, masyarakat baru saja bangkit dari pandemi COVID-19. “Kenaikan inflasi dapat menjadi ancaman bagi perekonomian nasional,” tambahnya.
Inflasi bisa disebut musuh perekonomian apalagi bila naiknya tajam dan terus berfluktuasi. Negara manapun akan sangat khawatir dengan inflasi tinggi. Menurut data, akhir-akhir ini inflasi di banyak negara telah melonjak ke level tertinggi multi-tahun, didorong oleh rebound dalam aktivitas ekonomi dan gangguan rantai pasokan.
Di Inggris, misalnya, angka yang dirilis belum lama ini menunjukkan bahwa harga naik pada tingkat tercepat dalam 40 tahun. Inflasi tahunan melonjak menjadi 9 persen di bulan April, naik dari 7 persen di bulan Maret. Sementara inflasi inti Singapura naik ke level tertinggi 10 tahun 2,9 persen year on year (yoy) di bulan Maret karena harga makanan dan jasa yang lebih tinggi.
Trading Economics menyebut ada 10 negara memiliki tingkat inflasi tertinggi di dunia. Yakni Turki tingkat inflasi 69,9 persen secara tahunan, Argentina (55,1 persen), Rusia (16,7 persen), Brasil (12,13 persen), Belanda (9,6 persen), Spanyol (8,4 persen), Amerika Serikat (8,3 persen) Meksiko (7,68 persen), Jerman (7,4 persen), dan Inggris Raya (7 persen).
Ancaman inflasi tinggi juga menjadi kekhawatiran serius dari pemerintah Indonesia. Pemerintah tak henti-hentinya mengobarkan ‘peperangan terhadap ancaman inflasi tinggi’. Hanya saja kebijakan menekan inflasi tinggi sepertinya terlupakan. Terlihat dari beberapa kebijakan yang malah tak sejalan dengan rencana menekan laju inflasi. Salah satunya dengan menaikkan harga BBM.
Kebijakan Kontraproduktif
Sebelum menaikkan harga BBM, pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan kontraproduktif dengan upaya menekan laju inflasi tinggi yakni menaikkan harga tiket pesawat.
Kementerian Perhubungan, pada 4 Agustus 2022, mengeluarkan Keputusan Menteri Perhubungan (KMP) Nomor 142 tahun 2022 tentang Besaran Biaya Tambahan (Surcharge) Yang Disebabkan Adanya Fluktuasi Bahan Bakar (Fuel Surcharge) Tarif Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri. Ini artinya harga tiket pesawat naik seiring restu Kemenhub ini.
Alasan yang mendasari langkah ini adalah untuk meredam dampak dari fluktuasi harga avtur yang menjadi komponen biaya operasional dengan proporsi terbesar bagi maskapai. Padahal sebelumnya tepatnya pada April 2022, Kemenhub sebenarnya sudah menaikkan biaya tambahan dari ketentuan yakni lewat Keputusan Menteri Perhubungan No. 68/2022 pada 18 April 2022.
Kebijakan ini kemudian mendapat perhatian dari Presiden Joko Widodo sehingga kemudian memerintahkan Menhub dan Menteri BUMN menurunkan harga tarif pesawat agar lebih terjangkau. Kedua pembantu presiden itu pun berusaha keras menurunkan kembali harga tiketnya dengan beragam strategi.
Kebijakan lainnya adalah kenaikan tarif ojek online (ojol). Menhub pada saat bersamaan dengan keluarnya biaya tambahan pada tiket pesawat, pada 4 Agustus 2022 juga mengeluarkan keputusan kenaikan tarif ojol. Banyaknya tekanan, kesiapan dan protes termasuk dari pengamat yang mengingatkan dampaknya terhadap inflasi, pelaksanaan keputusan itu pun ditunda bahkan hingga dua kali.
Kenaikan Harga BBM
Sebenarnya laju inflasi tinggi sudah mulai tertahan. Harga beberapa komoditas utama sudah mulai stabil pada bulan Agustus seperti bawang merah, cabai merah, cabai rawit, minyak goreng, dan daging ayam ras. Terlihat dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Agustus 2022 (month to month/mtm) mengalami deflasi 0,21 persen.
“Meski demikian, laju inflasi secara tahunan sudah menembus 4,69 persen,” kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono, Kamis (2/8/2022). Margo mencatat telur ayam ras dan beras menjadi sumber inflasi yang cukup tinggi terhadap inflasi dalam kelompok makanan-minuman dan rokok filter kretek. Dia mengatakan secara tahunan inflasi Agustus 2022 mencapai 4,69 persen dan secara tahun kalender 3,63 persen.
Hanya saja, kemudian muncul kebijakan terbaru yang kontraproduktif dengan upaya untuk menekan laju inflasi, yakni kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi.
Harga terbaru BBM bersubsidi dan non-subsidi itu mulai berlaku pada Sabtu (3/9/2022) pukul 14.30 WIB. Harga Pertalite naik dari sebelumnya Rp7.650 per liter menjadi Rp10.000 per liter, Solar subsidi naik dari sebelumnya Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter, dan Pertamax naik dari Rp 12.500 per liter menjadi Rp14.500 per liter.
Jelas kebijakan yang dikeluarkan di siang hari bolong ini menuai banyak kecaman. Multiplier efek dari kenaikan harga BBM ini akan luar biasa besar. Tentu saja tekanan terhadap inflasi akan makin besar. Padahal pemerintah sudah gembor-gembor berkomitmen menekan ancaman inflasi tinggi.
Alasan kebijakan ini katanya untuk mengurangi subsidi BBM yang terus membengkak dan menjadi beban berat APBN. Namun mau tak mau kebijakan ini akan berdampak besar bagi laju inflasi. Analis PT Bank Permata Josua Pardede menyebut inflasi akan berada di kisaran 6 persen hingga 7 persen pada akhir tahun ini setelah pemerintah menaikkan harga BBM.
“Jika pemerintah menaikkan Pertalite menjadi Rp10.000, Solar menjadi Rp6.800, dan Pertamax menjadi Rp14.500, maka ada tambahan inflasi sekitar 2,2 persen. Dengan demikian, hingga akhir tahun ini, inflasi diperkirakan akan berkisar 6-7 persen,” kata Josua.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Muhammad Faisal juga menjelaskan setiap kenaikan harga BBM 10 persen akan berkontribusi pada inflasi sebesar 1,2 persen. Dengan harga Pertalite yang dibanderol Rp10.000 per liter maka ada kenaikan 30,72 persen. Sedangkan Solar yang dibanderol Rp6.800 per liter mengalami kenaikan 32,04 persen.
“Dengan kenaikan harga BBM tersebut maka akan mendorong inflasi ke 3,5 persen kurang lebihnya. Belum lagi pemerintah juga menaikan harga Pertamax 19 persen yang turut berkontribusi pada kenaikan inflasi. Secara year on year, diprediksi inflasi menyentuh angka 7-9 persen inflasi,” ujar Faisal.
Sementara ekonom Mandiri Office of Chief Economist Bank Mandiri Faisal Rachman memaparkan, harga Pertalite yang naik 30,72 persen dari Rp7.650 menjadi Rp10.000 dan Pertamax naik sebesar 16 persen dari Rp12.500 menjadi Rp 14.500 per liter tersebut secara total akan menyumbang inflasi sebesar 1,35 percent point (ppt). Sedangkan kenaikan harga Solar sebesar 32,04 persen akan berkontribusi sebesar 0,17 ppt pada tingkat inflasi.
“Angka proyeksi ini sudah memperhitungkan first round impact atau dampak kenaikan harga ketiga jenis BBM tersebut secara langsung dan second round impact atau dampak lanjutan pada inflasi itu,” ujar Faisal.
Dampak lanjutan pada inflasi itu, jelas Faisal, adalah seperti naiknya harga jasa transportasi, distribusi, hingga kenaikan sebagian harga barang dan jasa lainnya pula. “Dengan demikian, inflasi pada akhir 2022 kami prediksi akan berada pada kisaran 6,27 persen, atau lebih tinggi dari angka proyeksi awal kami yang sebesar 4,60 persen. Sedangkan inflasi inti kami proyeksi akan berada di sekitar 4,35 persen pada akhir 2022,” ungkap Faisal.
Sedangkan analis Makroekonomi Bank Danamon Indonesia Irman Faiz memperkirakan, inflasi pada akhir tahun ini akan melejit dan belum akan berhenti sampai setidaknya paruh pertama tahun 2023. “Akhir tahun 2022 inflasi umum bisa ke 6,1 persen yoy. Kemudian inflasi akan terus meningkat dan puncaknya pada kuartal II-2022, kami perkirakan inflasi bisa mencapai 7,4 persen yoy,” tutur Faiz. Sementara inflasi inti pada tahun 2022 akan berada di level 5 persen yoy.
Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat menilai kebijakan penyesuaian harga BBM bersubsidi dilakukan pada waktu yang tidak tepat. Hal ini karena akan berdampak pada kenaikan harga berbagai bahan pangan dan kebutuhan masyarakat lainnya.
Ia menyebut kebijakan tidak populis ini berisiko menyebabkan stagflasi, sebagai rambatan efek dari kenaikan berbagai harga. Bahkan, Achmad mengkhawatirkan terjadinya PHK besar-besaran yang akan sangat memberatkan kehidupan rakyat.
Stagflasi adalah peristiwa ekonomi di mana tingkat inflasi tinggi akibat lonjakan harga barang, tingkat pertumbuhan ekonomi melambat, dan pengangguran tetap tinggi. Kombinasi yang tidak menguntungkan seperti ini sangat ditakuti dan dapat menjadi dilema bagi pemerintah.
Yang pasti, tekanan terhadap inflasi tinggi akan semakin menjadi-jadi pascakeluarnya kebijakan menaikkan harga BBM subsidi. Segala komitmen dan gembar-gembor strategi pemerintah selama ini untuk menekan inflasi gugur sudah. Ancaman stabilitas pertumbuhan ekonomi yang mencoba pulih dari situasi pandemi makin menganga.
Gara-gara kebijakanya sendiri yang ironi dalam menangani inflasi ini, makin berat usaha pemerintah. Apalagi ancaman lonjakan harga komoditas di dunia belum berhenti, sementara stabilitas harga dan pasokan bahan pokok di dalam negeri masih belum bisa dibilang terkendali. (R1/Inilah.com)
Komentar