BI Diramal Masih Tahan Bunga Acuan, Tunggu Harga BBM Naik?

Nasional789 x Dibaca

Jakarta, Karosatuklik.com – Ekspektasi pasar terhadap kenaikan Bank Indonesia 7 Day Reverse Repo Rate (BI 7-DRR) menurun. Bila pada Juli ada ekspektasi besar akan kenaikan suku bunga, maka pada Agustus ekspektasi pasar kembali mengarah kepada stay.

Gubernur Perry Warjiyo dan anggota Anggota Dewan Gubernur lain dijadwalkan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) Agustus 2022 pada hari ini dan besok (22-23 Agustus 2022). Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menunjukkan sebagian besar lembaga/institusi memproyeksikan BI akan mempertahankan suku bunga acuan di 3,5%.

Dari 15 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus tersebut, 13 memproyeksi BI akan mempertahankan suku bunga acuan di 3,50%. Dua lainnya memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga sebesar 25 bps menjadi 3,75% pada bulan ini.

Kondisi ini jauh berbeda pada bulan lalu di mana konsensus pasar terbelah sama kuat. Pada Juli, dari 14 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus tersebut, tujuh memproyeksi BI akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 3,75% pada bulan ini. Sementara tujuh lainnya memperkirakan BI tetap mempertahankan BI 7-DRR sebesar 3,5%.

Suku bunga acuan sebesar 3,5% sudah berlaku sejak Februari 2021 atau 18 bulan terakhir.

Ekonom Bank Danamon Irman Faiz mengatakan inflasi inti dan stabilitas rupiah masih terkendali. Kondisi ini menjadi modal bagi BI dalam mempertahankan suku bunga acuan pada bulan ini.

“Data inflasi inti dan pergerakan rupiah cenderung masih dalam appetite BI,” tutur Irman, kepada CNBC Indonesia.

Inflasi inti pada Juli tercatat 0,28% (month to month/mtm) dan 2,86% (year on year/yoy). Inflasi inti tahunan sebenarnya sudah merangkak naik dari 1,84% pada Januari menjadi 2,86% pada Juli.

Namun, dalam beberapa kesempatan Perry selalu menegaskan jika inflasi inti masih terkendali di sasaran BI 2-4%.

Sementara itu, inflasi umum pada Juli menembus 0,64 % (month on month/MoM), melesat dibandingkan yang tercatat pada Juni yakni 0,61%. Secara tahunan (year on year/yoy), inflasi pada Juli terbang ke angka 4,94%. Catatan tersebut adalah yang tertinggi sejak Oktober 2015.

Ekonom BNI Sekuritas Damhuri Nasution mengatakan ekspektasi inflasi akan menurun ke depan sejalan dengan melandainya harga komoditas di pasar global serta membaiknya rantai pasok global.

“Kurs rupiah yang masih relatif kuat dibandingkan dengan negara tetangga serta perlunya stimulus moneter untuk mendukung pertumbuhan ekonomi ke depan, maka BI masih akan tetap mempertahankan suku bunga acuan,” tutur Damhuri, kepada CNBC Indonesia.

Perlunya peran BI dalam menjaga pertumbuhan inilah yang beberapa kali ditegaskan Perry. Ekonomi Indonesia tumbuh 5,44% (yoy) pada Kuartal II-2022, jauh di atas proyeksi pasar dan BI.

Namun, Perry secara tegas mengatakan bahwa ekonomi Indonesia belum sepenuhnya pulih. BI juga tidak akan membiarkan masyarakat yang tidak mampu untuk berjuang sendirian melawan dampak kenaikan harga.

“Rakyat baru semego. Baru bisa makan enak dantravellingsetelah Ramadan karena Covid-19. Ini sudah sehat, sedang semego,sedang enak-enaknya makan tetapi belum pulih benar,” tutur Perry pada Kick Off Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan, Rabu (10/8/2022).

Kendati BI menegaskan sikapnya untuk menjaga pertumbuhan, mayoritas ekonom melihat sangat sulit bagi BI untuk mempertahankan kenaikan suku bunga acuan hingga akhir tahun. Sebagian ekonom memperkirakan BI akan mulai menaikkan suku bunga acuan pada September mendatang.

Menurut mereka, tren kenaikan suku bunga acuan di tingkat global akan membuat aset berdenominasi rupiah tertekan jika suku bunga tetap dipertahankan hingga akhir tahun.

Sebagai catatan, bank sentral Amerika Serikat (AS) the Federal Reserve (the Fed) sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 225 bps pada tahun ini. The Fed kemungkinan akan menaikkan suku bunga lagi pada September.

Bank sentral Eropa, Inggris, dan Australia juga sudah mengerek suku bunga acuan mereka.

Irman Faiz mengatakan kenaikan suku bunga BI akan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah terkait energi. Jika pemerintah menaikkan harga Pertalite maka hal tersebut bisa mengubah arah kebijakan BI.

“Kemungkinan bulan depan BI baru menyesuaikan jika inflasi inti naik d atas 3% atau Pertalite jadi dinaikkan oleh pemerintah,” ujarnya.

Seperti diketahui, pemerintah saat ini tengah mengkaji berbagai opsi untuk menjaga pasokan BBM bersubsidi. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menjelaskan pemerintah tengah menyusun skema penyesuaian harga untuk mengurangi beban subsidi.

“Pemerintah masih menghitung beberapa skenario penyesuaian subsidi dan kompensasi energi dengan memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat. tapi untuk diketahui harga BBM di Indonesia relatif lebih murah dibanding mayoritas negara di dunia,” kata Luhut dalam keterangan resmi, (21/8/2022).

Pertalite merupakan BBM yang paling banyak digunakan masyarakat Indonesia. Konsumsi Pertalite pada 23,29 juta Kl sementara Pertamax sebanyak 5,71 juta kl pada 2021. Harga Pertalite kini dijual Rp 7.650/liter dan dikabarkan akan dinaikkan menjadi Rp 10.000/liter.

Secara historis, kenaikan BBM akan memberikan dampak lanjutan yang cukup besar mulai dari kenaikan harga transportasi hingga ongkos produksi. Kondisi ini akan melambungkan inflasi.

Dalam hitungan Maybank Indonesia, setiap kenaikan 10% harga BBM maka ada tambahan inflasi sebesar 0,7%. Domino efek berikutnya dari kenaikan harga BBM adalah membuat daya beli turun dan pada gilirannya pertumbuhan ekonomi akan melambat.

“Kalau terjadi kenaikkan harga BBM yang tinggi maka Bank Indonesia diperkirakan juga akan menaikkan suku bunga acuan untuk menahan lonjakan inflasi,” tutur ekonom Bank Maybank Indonesia Juniman. (Sumber: Tim Riset CNBC Indonesia)