Oleh: Sutrisno Pangaribuan
Jakarta, Karosatuklik.com – Dinamika politik Indonesia saat ini mengalami kemunduran radikal. Para elit politik nasional semakin menunjukkan kualitas yang semakin buruk. Parpol kini dikuasai oligarki, baik keluarga maupun pemilik modal.
Akibatnya rakyat hanya disuguhi akrobat politik yang tidak bermutu oleh aktor politik yang lama, yang telah berkiprah sejak orde baru. Sementara para aktivis reformasi yang lugu sudah nyaman menikmati fasilitas sebagai staf khusus menteri, komisaris BUMN atau profesi lain di sekitar kekuasaan.
Pemilik modal kini makin leluasa bermain di sekitar kekuasaan dengan terlebih dahulu berhasil membeli pengaruh baik ke Parpol, maupun lewat kekuasaan politik. Saat dimana tidak banyak aktivis yang berhasil meraih kekuasaan politik baik di Parpol maupun kepala daerah.
Jika pun ada aktivis yang punya pengaruh di kekuasaan politik, pasti bukan karena diri sendiri. Pasti dikelilingi oleh kelompok pemodal, baik besar maupun kecil. Atau telah menjadi kaki tangan dari elit politik sejak jadi aktivis.
Manuver Politik Gibran, Prabowo Doyan
Gibran Rakabuming Raka (Gibran) kembali melakukan “manuver politik anak kecil” saat menyambut kedatangan Bakal calon presiden (bacapres) Partai Gerindra, Menteri Pertahanan RI, Prabowo Subianto (Prabowo). Jika pada pertemuan pertama, Gibran menyajikan wedang plus deklarasi dukungan relawan.
Maka pada pertemuan kedua, Prabowo disambut oleh kelompok relawan pendukung Jokowi dan Gibran, ‘Bolone Mase’ setibanya di Bandara Adi Soemarmo, Solo, Jumat (23/6/2023).
Para relawan tersebut kompak mengenakan seragam kaus putih yang sama dan bertuliskan “Bolone Mase” pada bagian depan dan “Relawan Jokowi Swa Praja” di bagian belakang.
Prabowo kembali datang “menghadap Gibran” ke Solo dalam rangka menghadiri acara Harlah ke-63 PMII. Dalam pidatonya di Benteng Vastenburg tersebut, Prabowo memuji kepemimpinan Jokowi yang berhasil membuat Indonesia disegani dunia.
Prabowo mengatakan bahwa salah satu hal yang dikagumi oleh negara lain, adalah bagaimana negara keempat terbesar jumlah penduduk terbanyak di dunia tersebut dapat memelihara keutuhan serta persatuan dan kesatuan. Saat berpidato, Prabowo sempat memanggil Gibran, lalu ketika Gibran mendekat, Prabowo langsung merangkulnya. Kemudian Prabowo mengatakan bahwa Gibran sebagai sosok pemimpin hari ini dan masa depan.
Manuver “Sang Menang” Kaesang
Meski sebelumnya mengaku sebagai anak kecil dalam politik, manuver politik Gibran kini makin moncer. Bahkan adik bungsunya, Kaesang Pangarep (Kaesang), tidak mau ketinggalan. Kaesang bahkan mengajak Prabowo untuk hadir di siniar atau podcast miliknya. Ajakan tersebut disampaikan via video yang diunggah istri Kaesang, Erina Gudono. Dalam video tersebut, Kaesang terlihat mengenakan kaos bergambar Prabowo.
Kaesang juga beberapa kali menggunakan media sosial dan siniar miliknya untuk membahas isu politik. Bahkan Kaesang pernah memandu siniar Podkaesang di YouTube sambil memakai kaus bergambar Prabowo. Kaesang tidak mau tertinggal dari Gibran untuk “menggoda” Prabowo. Jika Gibran menyebut dirinya “ngefans” sama Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), maka Kaesang menyebut dirinya “ngefans” sama Prabowo.
Sebelumya, Kaesang juga ramai diperbincangkan setelah empat baliho raksasa bergambar wajahnya terpasang di seluruh wilayah strategis yang ada di Kota Depok, Jawa Barat. Mulai dari Jalan Margonda Raya, Jalan Tole Iskandar, dan Jalan Arif Rahman Hakim Kemiri Muka, Kecamatan Beji.
Selain baliho terpasang pula 100 buah spanduk dengan bergambar wajah Kaesang Pangarep di jalan-jalan utama di 11 kecamatan. Baliho maupun spanduk yang terbuat dari bahan plastik berukuran 1 x 3 meter bertuliskan PSI Menang, Wali Kota Kaesang.
Pesona Anak Jokowi (Akan) Berlanjut
Meski di tengah polemik terkait proyek “lampu pocong” di kota Medan, Bobby Afif Nasution (Bobby) , menantu Jokowi justru mendapatkan dukungan dari 170 relawan Jokowi dan Bobby untuk maju sebagai balon gubernur Sumatera Utara di Pilkada serentak 2024.
Dukungan relawan tersebut disampaikan pada saat temu ramah dengan Bobby pada Jumat, 26 Mei 2023 lalu, di Kopi Jolo, Jalan Cik Ditiro, Medan. Relawan mengatakan dibawah kepemimpinan Bobby, pembangunan di kota Medan lebih jelas.
Bobby dinilai sebagai walikota yang tegas dan berani. Deklarasi dukungan dan kesetiaan para relawan kepada Bobby, maka pada saat pertemuan juga diikuti dengan launching tagar #IkutBobbyNasution.
Aksi “cari muka” Parpol kepada Jokowi terus berlanjut melalui pengumuman hasil “rembuk rakyat Jakarta” ala PSI. Hasilnya, putra sulung Jokowi, Gibran menempati urutan pertama dengan persentase 26,13 persen. Bahkan Ketua PSI, Giring Ganesha langsung meminta izin kepada Gibran agar fotonya dipasang di billboard di Jakarta.
Namun permintaan tersebut langsung ditolak Gibran. Sikap Gibran menolak ini berbanding terbalik dengan sang adik, Kaesang yang gambar wajahnya telah dijajakan PSI di Depok. Gibran menyebut bahwa PSI memang hobi pasang baliho, namun Gibran menyebut fotonya terlalu “jelek” takut mengganggu orang di jalan, sehingga permintaan Giring ditolak.
Dinamika Elit Politik Berantakan
Adanya tuduhan yang menyebut Jokowi memiliki kesamaan dengan Soeharto, mantan mertua Prabowo dalam hal “pengendalian” Parpol didasari pada lemahnya posisi tawar Parpol terhadap Jokowi. Jika pada masa orde baru pengendalian Parpol dengan tangan besi, kini Parpol ditertibkan dengan kursi menteri. Puncaknya, saat Prabowo akhirnya bersedia menjadi anak buah Jokowi.
Sebagai presiden dengan latar belakang pengusaha, Jokowi paham mengelola hubungannya dengan Parpol. Jokowi memberi ruang untuk fasilitasi ambisi dan orientasi para elit Parpol. Meski semua ketua umum Parpol ditugaskan oleh kongres, munas masing-masing untuk menjadi presiden, ditawari menteri juga bersedia. Kepiawaian Jokowi terus berlanjut dengan “endorse capres”, akibatnya para Pimpinan Parpol terbuai, dan menyerahkan “kepalanya” kepada Jokowi.
Konsolidasi semua Parpol akhirnya berantakan. Selain hanya karena alasan pragmatis dan oportunis, semua tergantung kepada arahan dan petunjuk Jokowi. Sehingga setiap kata atau kalimat Jokowi terkait Pemilu akan dibahas oleh ahli politik hingga ahli semantik. Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) tidak tentu arah, Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) tak kunjung lamaran hingga saling ancam, dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) tak kunjung ke pelaminan. Semua masih menunggu kemana hati Jokowi akan berlabuh.
Bahkan elit politik non Parpol, relawan Jokowi juga mengalami hal serupa. Mereka memilih setia dan tegak lurus terhadap keputusan Jokowi. Kelompok relawan yang hendak menekan Parpol melalui rangkaian musyawarah rakyat tidak berdaya dan akhirnya menyerah, menunggu arah dan petunjuk Jokowi. Kelompok relawan yang semula membusungkan dada saat “roadshow politik” ke sejumlah Pimpinan Parpol pun kini hanya mampu menjadi ahli tafsir terhadap pesan- pesan simbolk Jokowi.
Revolusi Mental Masih Relevan 2024
Salah satu isu menarik dan memiliki pengaruh besar yang ditawarkan Jokowi 2014 adalah “revolusi mental”. Ide besar ini tidak berjalan sama sekali karena faktanya kelompok elit yang seharusnya jadi mitra strategis dan kritis Jokowi memilih manut dan tertib. Kecuali para mantan menteri yang dipecat Jokowi, dan sisa-sisa pendukung Prabowo yang konsisten “melawan” Jokowi.
Akibatnya dinamika politik Indonesia sangat kering dari perdebatan, pertengkaran ide, gagasan, dan program politik yang berkualitas. Kelompok pro Jokowi hanya karena mendapat kursi menteri, sedang kelompok oposisi hanya karena tidak pernah di “endorse Jokowi”. Mentalitas para elit justru makin rusak dan mengalami kemunduran, sebab sekutu politik hanya sebagai pemuja dan pembela, sedang seteru politik hanya mampu merengek dan bersungut- sungut.
Kongres Rakyat Nasional (Kornas) sebagai rekan juang politik Jokowi sejak 2014 dan telah memutuskan berjuang bersama Ganjar Pranowo sejak 2022 meyakini bahwa ide besar Jokowi tentang “revolusi mental” harus dilanjutkan dan direvitalisasi sesuai kebutuhan bangsa saat ini.
Revolusi mental sesungguhnya harus selalu mengiringi perjalanan bangsa Indonesia dan mengacu pada potongan lirik lagu kebangsaan Indonesia Raya, pada bagian “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”. Maka setiap presiden wajib memiliki program pembangunan manusia yang konkrit. Sehingga tujuan dan cita- cita bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dapat diwujudkan.
Kornas akan berjuang dan bergerak untuk mewujudkan demokrasi Indonesia yang makin berkualitas melalui kampanye terus menerus tentang anti politik identitas dan politik uang. Mengajak rakyat untuk menolak dan melawan politik uang dengan cara tidak memilih capres, caleg, paslon di pilkada yang menggunakan politik identitas, eksploitasi ikatan-ikatan primordial, politisi SARA, dan politik uang.
Saatnya rakyat memberi pelajaran kepada para perusak demokrasi Indonesia dengan menyatakan haram memilih siapapun pelaku politisi identitas dan politik uang. (Sutrisno Pangaribuan, Aktivis Reformasi Yang Tidak Populer, Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas).
Komentar