Kabanjahe, Karosatuklik.com – Kesuburan tanah adalah anugerah tak ternilai bagi warga di Dataran Tinggi Kabupaten Karo. Aneka jenis hortikultura bisa tumbuh. Sayuran dan buah-buahan Karo menghiasi etalase pasar hingga swalayan di kota-kota besar. Beberapa petani sejahtera karenanya, namun ironisnya tidak sedikit juga yang bergelut di lembah kemiskinan, hal ini diperparah lagi dampak pandemi Covid-19.
Jenis dan jumlah hama yang terus meningkat memicu petani bergantung pada pestisida yang harganya terus meroket. Mereka sadar cara tersebut telah merusak kesuburan tanah. Hasil panen pun tak sebagus dahulu akibat rusaknya unsur hara tanah itu. Dilematis memang.
Apalagi di tengah gempuran sengatan pandemi Covid-19 yang sangat terasa dampaknya, yang mengharuskan pertanian tradisional beralih menjadi pertanian modern termasuk cara pemasarannya harus mengikuti trend teknologi informasi yang terus berkembang pesat.
Silih berganti kepemimpinan setiap lima tahun sekali di negeri ini mulai dari presiden, menteri, gubernur hingga bupati demikian juga anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten. Namun nasib petani tetap tidak kunjung membaik, beragam persoalan klasik pertanian tetap tidak memberi solusi konkret mengangkat derajat kehidupan mereka lebih sejahtera.
Tahun 1980-an bisa dibilang tahun keemasan atau kejayaan petani hortikultura dataran tinggi Karo di Sumatera Utara. Ketika itu, sayuran Karo sempat merajai di pasar Singapura dan Malaysia. Namun, memasuki dekade 1990-an hingga sekarang semuanya berubah. Sayuran dari China, Vietnam, dan Thailand pertengahan 1990-an giliran menggamit pasar Singapura.
“Waktu itu kita lalai. Tak menyadari bahwa negara lain bakal mengembangkan yang sama dengan kemasan lebih bagus, harga bersaing, dan kualitas lebih baik,” kata Bupati Karo Cory Seriwaty Sebayang melalui Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Karo, Ir Metehsa Purba, Rabu petang (14/7/2021) di Kabanjahe.
Tergerus Pasar Ekspor
Sekitar 30-an tahun lalu, bahkan, Singapura dan Malaysia sempat menolak ekspor sayuran dari Karo lantaran residu kimia dalam produk hortikultura dinilai terlalu tinggi. Akibatnya, pamor pertanian dataran tinggi Karo meredup. Tergerusnya pasar ekspor membuat jaminan harga produk sayuran petani kian tak jelas. Pedagang besar semaunya sendiri memainkan harga, sebutnya.
Petani kian tak punya daya tawar atas produknya. Pemerintah pun seakan lepas tangan atas problem tata niaga yang membelit warga. Namun, sesungguhnya mereka tak benar-benar tinggal diam.
Di balik keprihatinan, muncul kegundahan dan inovasi. Untuk menyiasati ketidakmenentuan harga, petani tergolong Karo cepat beradaptasi dengan menerapkan sistem tanam tumpang sari. Namun sistem budidaya tumpang sari juga tidak memberi jaminan harga jual memihak petani.
Penanaman secara multikultur tersebut memang membantu petani bertahan di tengah kondisi sulit. Namun risikonya hasil panen tanaman pokok pun tak maksimal karena harus berbagi nutrisi dan kesuburan dengan tanaman lain disamping harga jual yang tak menentu.
Sayangnya, pengenalan teknik budidaya yang efektif dan teknologi produksi baru untuk memecahkan masalah ini belum diterima petani. Masalahnya pun jadi kian rumit seiring fenomena cuaca tak menentu akhir-akhir ini. Pemahaman ragam tanam, kualitas, kesinambungan pasokan, dan kuantitas yang sesuai dengan permintaan pasar juga belum terbangun.
Klasik
Infrastruktur jalan adalah bagian nafas pertanian. Keterbatasan APBD Kabupaten Karo, menjadi masalah klasik lainnya yang masih berlarut-larut. Demikian juga pangsa pasar yang kadang cepat berfluktuatif. Untuk informasi harga saja kadang petani kelabakan mencari informasi.
Pasar Sayuran “Pajak Roga” Berastagi, Pasar Tigapanah dan Kabanjahe yang merupakan sentra penjualan utama produk pertanian di Kabupaten Karo belum mampu hadir sebagai solusi mengangkat pendapatan petani. Selain itu, gudang-gudang penyimpanan yang dilengkapi teknologi pendinginan agar komoditas awet, juga belum terasa manfaatnya bagi petani.
Beragam persoalan pelik ini hingga sekarang belum tertangani dengan baik, ironis memang. Tapi begitulah faktanya dilapangan yang dihadapi petani. Soal etos kerja, jangan ditanya, ulet dan gigih, namun harga yang anjlok ketika panen raya, petani tidak memiliki daya tawar, selain pasrah.
Banyak jenis komoditas yang dihasilkan petani – petani tangguh dari dataran tinggi Kabupaten Karo diakui kualitasnya. Salah satu misalnya, kopi Karo.
Mendunia Tapi Petani Merana
Cerita soal kopi Karo, yang perlahan mulai menggeser komoditas jeruk yang lama bertahan sebagai tanaman primadona petani Karo memang tidak ada habisnya. Namun beberapa bulan belakangan harga yang terus anjlok, membuat petani semakin merana.
Di daerah ini, kopi arabika yang lebih dikenal dengan kopi ateng dan kopi sigalar utang diakui sebagai salah satu kopi terbaik di dunia, tapi faktanya petani mengeluhkan rendahnya harga jual kopi. Penurunan harga jual kopi semakin dirasakan dampaknya, mengingat pandemi Covid-19 dan bencana vulkanik Gunung Sinabung belum lagi usai,
Hal itu diungkapkan petani kopi arabika dari Kecamatan Naman Teran, Sahta Sitepu (54) dan H Pinem (48), Rabu siang (14/07/2020) di Desa Naman Teran.kepada karosatuklik.com.
Coba bayangkan, lanjutnya lagi, bagaimana menderitanya petani kopi, dengan harga jual sangat murah. Chery Rp 4000 – 6000 per Kg. Kalau sudah dikupas Rp16.000/Kg. Harga kopi dalam bentuk gabah sudah lama bertahan di level rendah.
Menurut dia, harga sekarang memang jauh menurun dibanding harga normal yang bisa mencapai Rp 25.000 – 30.000 per kilogram. “Ini sungguh memberatkan petani, hal itu diperparah lagi dengan rendahnya harga jual tanaman tumpang sari dengan kopi yakni komoditi wortel dan kubis,” keluhnya.
“Bahkan kita boleh berbangga karena kopi asal daerah pegunungan Kabupaten Karo, bisa ditemukan di 28 ribu gerai Starbucks di seluruh dunia dan menjadi yang paling digemari, tapi kenapa harga jual gabah kopi milik petani tidak kunjung naik,” katanya.
Bahkan, pemilik gerai kopi terbaik di dunia, Starbucks, memiliki 5 lokasi Starbucks Farmers Support Center (FSC) di dunia, satu satunya di Indonesia, dibuat di Berastagi, setelah Kolombia, Cina, Kosta Rika, dan Meksiko.
“Tadinya petani kopi berharap, dengan adanya FSC Starbucks di Berastagi, harga jual semakin membaik dan bisa meningkatkan kesejahteraan petani kopi. Lagipula seharusnya, disaat tingginya permintaan tidak ada alasan harga jual kopi rendah,” tuturnya.
Lagi-lagi peran dan campur tangan pemerintah minim memperhatikan nasib petani, kesannya antara pemerintah dan petani jalan sendiri-sendiri. Belum terlihat aksi konkret meningkatkan kesejahteraan petani. Keluh kesah petani kopi tidak jauh beda dengan petani wortel Karo saat ini yang grafik harga jual terus menurun.
100 Hari Kepemimpinan Bupati dan Wakil Bupati Karo
Langkah inovatif dan strategis pemerintah sangat ditunggu, bukan sekadar mendorong produktivitas, bukan sekedar lips sevice atau seremoni, tetapi juga membuka lagi celah pasar bagi petani sayuran di Kabupaten Karo yang masih memelihara semangat untuk bangkit kembali merebut masa keemasan di tengah pandemi Covid-19.
Tidak ada yang tidak mungkin jika semua stakeholder Pemkab Karo berjibaku menelurkan program pro petani diperkuat lagi dengan politik anggaran (APBD) yang memihak petani. Tulisan Redaksi Karosatuklik.com ini bagian catatan kritik konstruktif 100 hari kepemimpinan Bupati Karo Cory Seriwaty Sebayang dan Wakil Bupati Theopilus Ginting yang masih didominasi kegiatan seremoni.(R1)