Audit Total Tata Kelola Pupuk Bersubsidi!

Catatan Redaksi808 x Dibaca

Jakarta, Karosatuklik.com – Lasiran hanya bisa pasrah. Petani dari Desa Sadang, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah itu kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi. Kesulitan ini membawa dampak negatif, termasuk pada tanaman padi yang mulai membusuk akibat keterlambatan pemupukan.

“Telat abuk-nya (pupuk), telat airnya. Kartu Tani menunggu Januari, belum bisa digunakan. Saya enggak tahu, katanya kuota sudah habis,” ungkap Lasiran saat ditemui di lahan pertanian padi Desa Sadang, beberapa waktu lalu.

Lasiran menjelaskan bahwa kuota pupuk subsidi terbatas dan tidak cukup untuk 1 tahun. Dia harus menunggu pembaruan kuota pupuk pada Januari 2024. Harga pupuk nonsubsidi yang tinggi tak sanggup dibeli.

Kendala serupa dirasakan Saifudin, petani warga Desa Bulupasar, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Ia mengeluhkan mahalnya harga pupuk nonsubsidi pada saat jatah pupuk bersubsidi miliknya habis.

“Pokoknya di kios-kios, pupuk nonsubsidi banyak sekali, sedangkan subsidinya nanti baru bisa dapat 2024. Sekarang jatah pupuk bersubsidi sudah habis,” kata Saifuddin saat ditemui, Rabu (15/11/2023).

Saifudin menyebut, pemberian jatah pupuk bersubsidi tidak sebanding dengan kebutuhan pupuk tanaman di sawah. Misalnya, sawah miliknya seluas 3.500 meter persegi membutuhkan rata-rata lima sak pupuk atau 250 kilogram per bulan. Persoalanya, Saifudin hanya mendapat jatah pupuk bersubsidi 260 kilogram selama setahun.

Ia terpaksa menggunakan pupuk nonsubsidi dengan harga yang jauh lebih mahal. Sebagai pembanding, harga pupuk bersubsidi dibeli Saifudin dengan harga Rp 112.500 per sak berisi 50 kilogram, sedangkan pupuk nonsubsidi dibeli dengan harga Rp 250.000-Rp 350.000 per sak hanya berisi 25 kilogram.

Masalah pupuk juga dirasakan petani di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Harga pupuk bersubsidi yang lebih terjangkau dibandingkan pupuk nonsubsidi membuatnya sulit didapat petani karena adanya pembatasan jumlah pembelian. Kendala ini membuat para petani kesulitan merawat tanaman, mengeluarkan dana perawatan lebih besar, dan terpaksa beralih ke pupuk nonsubsidi dengan harga lebih tinggi.

Anwar, seorang petani di Desa Gandurejo, Temanggung, mengeluhkan sulit mendapatkan pupuk subsidi. Aturan pembatasan jumlah pembelian dan Kartu Tani semakin mempersulit petani karena harus menggunakan pupuk nonsubsidi dengan harga lebih tinggi yang mencapai Rp 335.000 per 50 kilogram.

“Sudah 1,5 tahun mengajukan Kartu Tani, tetapi belum juga jadi. Mau tidak mau membeli pupuk nonsubsidi,” kata Anwar.

Samino, petani lain di wilayah tersebut juga merasakan kendala serupa. Samino mengatakan pembatasan kuota membuat kebutuhan pupuk tidak tercukupi, dengan hanya mendapatkan 1,5 kuintal.

“Selama ini yang saya rasakan bertani sangat sulit, terasa merugikan petani. Kebutuhan pupuk yang dianjurkan harus mencukupi, sedangkan dari jumlah pupuk subsidi yang tersedia kuotanya dibatasi,” ungkapnya.

Permasalahan pupuk bersubsidi telah berlangsung sejak beberapa tahun lalu. Pupuk merupakan unsur vital dalam sistem pertanian, sehingga ketersediaannya bagi petani penting untuk menjaga produktivitas sektor pertanian dan stabilitas pangan.

Malaadministrasi

Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyebut birokrasi berbelit menjadi penyebab kendala penyaluran pupuk bersubsidi. Hal ini diperparah dengan data petani yang seharusnya menerima pupuk bersubsidi juga tidak sesuai.

“Prosesnya panjang, dimulai dari kelembagaan petani sendiri. Petani harus menjadi anggota kelompok tani, dan ada proses di tingkat kelompok tani serta administratif dari kelompok tani ke Kementerian Pertanian, PT Pupuk Indonesia, hingga ke lembaga penyalur pupuk. Ini sangat panjang,” ungkap Henry saat diwawancarai Beritasatu.com secara daring.

Menurut Henry, birokrasi yang berbelit berpotensi menyebabkan malaadministrasi dan menghambat penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani yang seharusnya mendapatkannya. Risiko malaadministrasi muncul karena banyaknya pihak yang terlibat dalam proses tersebut.

“Sangat banyak pihak yang berkepentingan terhadap pupuk ini, dan itulah yang menyebabkan malaadministrasi,” tambahnya.

Henry juga menyoroti masalah data petani penerima pupuk bersubsidi yang belum jelas. SPI mencatat bahwa data PT Pupuk Indonesia yang mencapai 14,5 juta petani belum sesuai dengan kondisi lapangan. Data tersebut hanya mencakup jumlah petani tanaman pangan, sementara petani hortikultura atau perkebunan tidak tercakup.

“Pendataan ini menjadi masalah, apakah hanya petani tanaman pangan atau mencakup petani hortikultura dan perkebunan. Hal ini membuat data kurang jelas dan tidak lengkap, serta mengabaikan kepentingan petani lain yang membutuhkan pupuk,” jelas Henry.

Senada dengan SPI, Wakil Ketua Dewan Pembina Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Rahmat Pambudi menilai penyaluran pupuk subsidi belum optimal karena masih terdapat kelangkaan di lapangan. Keluhan dari banyak petani yang tidak mendapatkan pupuk subsidi menunjukkan perlunya perubahan dalam tata kelola pupuk.

“Rekomendasinya sederhana saja, sekarang dihitung saja berapa kebutuhan pupuk, terutama bagi petani kecil yang membutuhkan subsidi. Semua petani yang membutuhkan pupuk harus diberikan,” kata Rahmat.

Ia menyamakan kebutuhan pupuk dengan bahan bakar bagi mobil. Tanpa pupuk, petani tidak dapat memproduksi hasil pertaniannya.

“Jadi semua kebutuhan pertanian Indonesia harus disediakan pupuknya. Sekarang tinggal bagaimana kita menetapkan kebutuhan pupuk itu, karena setiap tanaman membutuhkan pupuk yang berbeda. Bukan hanya jenis, tetapi setiap umur tanaman saja berbeda-beda kebutuhannya,” jelas Rahmat.

Ia menyarankan untuk menetapkan jumlah kebutuhan pupuk untuk seluruh petani di Indonesia terlebih dahulu. Setelah itu, baru dibagikan dan disubsidi untuk tanaman-tanaman tertentu, khususnya padi.

“Program untuk menetapkan kebutuhan pupuk berdasarkan komoditas tanaman, petani, dan hasilnya untuk apa, tentunya ini perlu kajian yang mendalam, tetapi sebenarnya bisa dilakukan,” pungkasnya.

Penyederhanaan Regulasi

Masalah distribusi pupuk bersubsidi yang berkepanjangan menjadi perhatian serius pemerintah. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam beberapa kesempatan telah menegaskan pentingnya menjaga ketersediaan pupuk untuk mendukung produktivitas pertanian dan stabilitas pangan.

Kementerian Pertanian mengakui peran krusial pupuk sebagai komponen utama dalam pertanian. Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, menjelaskan bahwa pihaknya sedang berupaya menyederhanakan regulasi distribusi pupuk bersubsidi agar dapat lebih merata di seluruh petani.

Amran mengungkapkan bahwa sekitar 16% petani masih belum mendapatkan pupuk bersubsidi karena kendala Kartu Tani yang menjadi syarat untuk menerima bantuan pupuk dari pemerintah.

“Masalahnya sekarang adalah ada petani kita tidak mampu mengakses Kartu Tani. Akibatnya mereka tidak dapat memproses dan tidak dapat pupuk. Nah, ini biasa digunakan oleh pihak ketiga, kemudian dia jual lebih tinggi,” kata Amran dalam keterangannya di gedung Kementerian Pertanian beberapa waktu lalu.

Untuk mengatasi masalah ini, Amran menjelaskan bahwa Kementerian Pertanian akan mempermudah regulasi distribusi pupuk bersubsidi, terutama bagi petani yang belum memiliki Kartu Tani. Sebagai opsi penyederhanaan, Amran menyarankan bahwa petani dapat menggunakan KTP atau terdaftar dalam kelompok tani untuk mendapatkan pupuk bersubsidi.

“Kita harus kreatif, bisa saja (gunakan) KTP, yang penting dia masuk kelompok tani, kemudian kita bisa beri pupuk yang terpenting dia petani, dia berhak dapat pupuk,” tambah Amran.

Amran menyatakan bahwa saat ini Kementerian Pertanian bersama pihak terkait sedang melakukan pembahasan guna menemukan solusi atas permasalahan distribusi pupuk bersubsidi. Amran optimistis bahwa tahap pembahasan tersebut akan selesai dalam waktu dekat.

“Insyaallah kita akan selesaikan. Kita kaji, mungkin satu sampai dua minggu selesai, solusinya ada,” tutup Amran.

Audit Total

Anggota Komisi IV DPR, Daniel Johan menekankan urgensi pemerintah untuk melakukan audit total terhadap tata kelola distribusi pupuk bersubsidi. Daniel menyoroti masalah data dan potensi penyelewengan pupuk bersubsidi akibat malaadministrasi yang dianggapnya perlu segera ditangani.

“Audit penting agar data yang ada benar-benar terkini dan sesuai dengan kondisi lapangan. Dalam konteks pupuk subsidi, penentuan nilai kebutuhan harus sesuai dengan RDKK (rencana definitif kebutuhan kelompok). Kita perlu memastikan apakah RDKK sudah sesuai dengan kebutuhan petani, atau mungkin ada yang belum tercakup atau sudah tidak relevan,” jelas Daniel.

Mengenai masalah data, Daniel menyarankan pemerintah untuk mengalokasikan anggaran lebih kepada Badan Pusat Statistik (BPS) untuk melakukan sensus pertanian secara menyeluruh dan berkala. Sensus pertanian ini dianggap sebagai langkah awal untuk mengatasi kendala dalam distribusi pupuk subsidi.

“Dukungan untuk peningkatan anggaran BPS perlu diberikan, sehingga data yang dihasilkan tidak hanya bermanfaat untuk petani, tetapi juga untuk pembangunan nasional secara keseluruhan,” ujar Daniel.

Selain masalah data, Daniel juga mencermati potensi risiko malaadministrasi dalam penyaluran pupuk bersubsidi. Ia menyebut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perlu melakukan audit menyeluruh terhadap PT Pupuk Indonesia untuk mencegah potensi penyelewengan.

“Perlu dilakukan audit oleh BPK dan pihak terkait untuk membuktikan atau menelusuri isu ini. Tindakan konkret harus diambil untuk mengungkap kebenaran,” kata Daniel.

Daniel juga mendorong penambahan anggaran pemerintah untuk pupuk bersubsidi. Dia menilai anggaran saat ini belum mencukupi kebutuhan petani secara menyeluruh. Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan sejak 2020 subsidi pupuk mengalami penurunan. Pada 2020, anggaran untuk subsidi pupuk mencapai Rp 34,2 triliun, sementara pada 2023, pemerintah hanya mengalokasikan Rp 25,3 triliun.

“Harus ditambah dana untuk memastikan produksi, karena tanpa penambahan dana, produksi petani bisa menurun. Jika tidak ada penambahan anggaran, petani tidak mampu membeli pupuk. Akhirnya, petani tidak menggunakan pupuk, produksi bisa turun dan harga konsumen meningkat,” ungkapnya.

Subsidi Tunai

Pengamat pertanian yang juga guru besar Universitas Gadjah Mada, Subejo mengusulkan pemberian subsidi diberikan langsung ke petani berupa dana langsung tunai. Melalui subsidi langsung, petani dapat memilih pupuk dengan kualitas serupa meskipun dari produsen swasta. Hal ini nantinya akan tercipta kompetisi pasar pupuk.

“Nanti kalau misalnya perusahaan pupuk pemerintah dan perusahaan pupuk swasta memproduksi barang yang sejenis, kalau memang kualitasnya saling bersaing, kan petani akan memilih yang mana yang kualitasnya baik, bisa tepat waktu, tidak harus menunggu datangnya pupuk karena memiliki berbagai alternatif,” kata Subejo.

Hal senada diungkapkan guru besar IPB University Dwi Andreas Santosa. Ia menyebut subsidi pupuk melalui sistem direct payment (pembayaran langsung) kepada petani dapat memberikan fleksibilitas kepada petani dalam memperoleh pupuk sesuai kebutuhan mereka.

“Kami mengusulkan agar pupuk bersubsidi diberikan melalui direct payment, yaitu pembayaran langsung kepada petani. Artinya, petani menerima uang tunai, dan harga pupuk disesuaikan dengan harga pasar,” ungkapnya.

“Dengan demikian produsen pupuk akan berupaya maksimal untuk menyediakan pupuk dengan harga yang sesuai bagi petani, sehingga ketersediaan pupuk akan terjamin saat petani membutuhkannya,” tambah Dwi.

Dwi menekankan perlunya pendataan yang akurat untuk mengetahui petani mana yang paling membutuhkan pupuk bersubsidi pada saat ini.

“Pemerintah sedang berusaha keras untuk meminimalisasi masalah-masalah terkait data ini. Sebab, dengan adanya peralihan subsidi pupuk ke direct payment, data ini menjadi sangat krusial. Meski tidak menjamin keakuratan data penerima subsidi hingga 100%, setidaknya data tersebut harus memenuhi kriteria dan tingkat ketepatan yang memadai, sehingga sebagian besar masyarakat atau petani yang berhak mendapatkan subsidi bisa menerimanya,” kata Dwi.

Tanggung Jawab PT Pupuk Indonesia

Sebagai badan usaha milik negara (BUMN) yang mendapat mandat untuk memproduksi dan mendistribusikan pupuk bersubsidi, PT Pupuk Indonesia (Persero) justru membukukan peningkatan laba signifikan di tengah belum optimalnya distribusi pupuk kepada petani.

Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, pada 2020 PT Pupuk Indonesia mencatatkan pendapatan Rp 71,87 triliun dengan laba sekitar Rp 2,3 triliun. Tahun berikutnya, terjadi peningkatan signifikan dengan pendapatan mencapai Rp 78,6 triliun dan laba Rp 5,13 triliun. Pada 2022, PT Pupuk Indonesia kembali mencatatkan peningkatan pendapatan mencapai Rp 103,8 triliun dan laba Rp 18,51 triliun.

SVP Sekretaris PT Pupuk Indonesia, Wijaya Laksana menjelaskan bahwa laba yang diperoleh tidak hanya berasal dari produk pupuk, melainkan juga dari penetrasi pasar internasional dengan produk nonpupuk, seperti amonia.

“Kinerja perusahaan pada 2022 memang cukup baik, salah satu penyebabnya adalah kemampuan kami menguasai pasar internasional, terutama pada produk nonpupuk, seperti amonia,” kata Wijaya saat melakukan media visit ke B-Universe, Jumat (17/11/2023).

Ia juga menjelaskan PT Pupuk Indonesia menjadi salah satu dari 10 besar perusahaan pupuk terbesar di dunia. Keberhasilan perusahaan memenuhi kebutuhan regional untuk produk amonia dan urea menjadi salah satu faktor utama yang mendukung kinerja positif ini.

“Kami juga memenuhi kebutuhan regional untuk produk, seperti amonia dan juga urea. Jadi itu mungkin salah satu faktor penyebab baiknya kinerja perusahaan pada 2022,” tambah Wijaya.

PT Pupuk Indonesia juga memastikan ketersediaan pupuk subsidi sebanyak 1,4 juta ton untuk mendukung petani memasuki musim tanam. Wijaya Laksana menyatakan bahwa jumlah tersebut lebih dari tiga kali lipat dari ketentuan pemerintah.

“Kami sudah menyiapkan stok pupuk subsidi sebanyak 1,4 juta ton, lebih tiga kali lipat dari ketentuan pemerintah, untuk memastikan kebutuhan petani tercukupi selama musim tanam,” ujar Wijaya.

Ia menekankan komitmen PT Pupuk Indonesia dalam menyalurkan pupuk subsidi sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam hal ini, perusahaan juga diawasi secara langsung oleh Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3) dalam pelaksanaannya.

Stok pupuk bersubsidi yang mencapai 1.453.132 ton terdiri dari pupuk urea sebanyak 986.551 ton dan NPK sebanyak 466.582 ton. Dengan jumlah ini, PT Pupuk Indonesia telah memenuhi ketentuan minimum yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian.

Petani yang dapat menebus stok pupuk tersebut adalah petani yang terdaftar di e-Alokasi atau sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 10 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian. (Sumber: BeritaSatu.com)

Baca Juga:

  1. Penyaluran Pupuk Subsidi Karut-marut, SPI Usulkan BLT Saja
  2. Ancaman Penjara dari Amran Jika Ada Oknum yang Selewengkan Distribusi Pupuk
  3. Rp 30 Triliun Per Tahun Subsidi Pupuk, Kenapa Petani Sulit Dapat Pupuk?