Jakarta, Karosatuklik.com – Militer Myanmar pada Senin (1/2) mencopot 24 menteri dan menunjuk 11 penggantinya merebut kekuasaan dalam aksi kudeta.
Menyadur Channel News Asia, Selasa (2/2/2021) pernyataan tersebut diumumkan melalui Myawadday TV yang dikelola oleh pihak militer.
Mereka juga merubah kebijakan bidang keuangan, kesehatan, informasi, urusan luar negeri, pertahanan, perbatasan dan dalam negeri.
Militer mengkudeta pemerintah sipil pada Senin (1/2), menahan Aung San Suu Kyi bersama dengan para pemimpin lain dari partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Pihak militer mengatakan melakukan penahanan dalam sebuah operasi yang dilakukan pada dini hari sebagai tanggapan atas klaim “kecurangan pemilu” mereka.
Pihak militer menyerahkan kekuasaan kepada panglima militer Jenderal Min Aung Hlaing dan memberlakukan keadaan darurat selama satu tahun, menurut pernyataan di stasiun TV milik militer.
Meringkas pertemuan pemerintahan baru, militer mengatakan Min Aung Hlaing berjanji untuk mempraktikkan “sistem demokrasi multi-partai yang berkembang dengan disiplin yang tulus”.
Min Aung Hlaing juga menjanjikan pemilihan yang bebas dan adil dan penyerahan kekuasaan kepada partai pemenang, katanya, tanpa memberikan keterangan waktu.
Partai Aung San Suu Kyi telah meminta masyarakat untuk melakukan aksi protes atas kudeta yang dilakukan pihak militer.
Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint dan para pemimpin NLD lainnya “ditahan” pada Senin dini hari, juru bicara NLD Myo Nyunt mengatakan kepada Reuters melalui telepon.
Sebuah video yang diposting di Facebook oleh seorang anggota parlemen tampaknya menunjukkan penangkapan anggota parlemen di daerah Pa Pa Han.
Dalam video tersebut, seorang pria memohon kepada orang yang berpakaian militer. Pria tersebut juga tampak menggendong seorang anak kecil.
Para jenderal mengambil langkah ekstrem beberapa jam sebelum parlemen dijadwalkan duduk untuk pertama kalinya sejak kemenangan NLD dalam pemilihan 8 November, yang dipandang sebagai referendum terhadap pemerintahan demokratis baru Aung Suu Kyi. (suara.com)