Jakarta, Karosatuklik.com – Mungkin tak banyak yang tahu, Soeharto sempat marah ketika mendengar adanya skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dia bahkan minta pelakunya dijebloskan ke Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Cerita sepnggal ini, disampaikan mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Panitia Khusus (Pansus) BLBI Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Jakarta, dikutip Rabu (21/6/2023). Dalam rapat ini, diundang pula, pemilik Bank Central Asia (BCA), Budi Hartono. Namun tak bisa hadir karena sedang berada di luar negeri.
Fuad mengaku agak kaget mendapat undangan dari Pansus BLBI DPD. Alasannya, BLBI adalah kasus lama yang ia geluti langsung. Namun tak kunjung selesai hingga saat ini.
“Jujur, saya capek dengan kasus ini. Dari dulu belum tuntas-tuntas. Saya pernah dipanggil Komisi IX DPR (sekarang Komisi XI DPR), pada 9 Februari 2000. Saya menyampaikan bahwa jika tidak ada keseriusan dalam menangani kasus ini, bakalan kandas di tengah jalan. Karena banyak faktor seperti politik, hukum, dan seterunya,” kata Fuad.
Fuad pun mengaku pernah bersurat kepada Presiden Soeharto untuk meminta tindak lanjut laporan dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Dari Rp109 triliun penyaluran BLBI, hampir setengahnya dinikmati 2 bank yakni BDNI dan Bank Danamon. Di mana, BDNI kebagian Rp27,6 triliun dan Bank Danamon sebesar Rp25,8 triliun.
“Namun, berdasarkan laporan tim audit internasional dilaporkan aset setelah pemeriksaan milik BDNI hanya Rp5,9 triliun. Sementara Bank Danamon hanya Rp13,3 triliun. Dari 2 bank itu saja, pemerintah harus menanggung kerugian Rp85 triliun didapatkan dari Rp48,2 triliun ditambah Rp37,3 triliun,” jelas Fuad.
Sejatinya, kata Fuad, skandal BLBI merupakan murni kriminal. Pada saat itu, banyak bank yang melakukan penyimpangan. Memanfaatkan karyawan untuk membobol program BLBI yang sebenarnya bertujuan untuk menyelamatkan likuiditas perbankan. “Sehingga wajar kalau Pak Harto pada saat itu, marah besar mendengar kasus BLBI. Sampai merespons orang itu sebaiknya dikirim ke Nusa Kambangan saja,” papar mantan Dirjen Pajak itu.
.
Dia pun menyoroti beban obligasi rekap BLBI sebesar Rp67 triliun yang menyatakan pemerintah menanggung utang kepada sejumlah bank. Konsep ini, merupakan akal-akalan IMF agar neraca bank tampak positif. Tiap tahun, pemerintah harus menanggung beban bunga 10 persen.
Mendengar penjelasan ini, Ketua Pansus BLBI DPD, Bustami Zainudin menjelaskan, dana BLBI sebesar Rp110 triliun, kini menjadi tanggung jawab satgas BLBI yang dipimpin Rionald Silaban yang menjabat Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
“Pansus BLBI ingin menggali lebih dalam, dan terutama apakah hal tersebut juga berlaku pada bank-bank lainnya yang dalam surat tersebut terdapat 54 bank,” kata Bustami.
Pansus BLBI DPD, menurut Bustami, perlu menggali dana obligasi rekap yang dinikmati BCA pada 2003. Untuk itu, pansus mengundang Budi Hartono selaku pemilik BCA, pasca pemerintah menjualnya ke swasta pada 2003.
“50 persen saham BCA dijual Rp5 triliun. Padahal bank ini pegang obligasi rekap yang nilainya jauh di atas itu. Termasuk juga utang Salim di BCA yang kemudian jadi utang pemerintah. Inilah pentingnya Pak Fuad dan Budi Hartono, kami undang, agar clear semuanya,” papar Bustami.
Dia pun menyayangkan sikap tak kooperatif Budi Hartonodalam merespons undangan Pansus BLBI DPD. “Pak Budi Hartono semestinya menghormati lembaga negara’ Kita baik-baik, ingin menyelesaikan masalah rakyat Indonesia, BLBI dan obligasi rekap. Kita ingin semuanya clear. Seharusnya Pak Budi mendukung kalau memang nasionalis,” papar Bustami. (Inilah.com)
Berita Terkait:
Komentar